Selasa, 25 November 2014

Pendidik Merengkuh CintaNya

dokumentasi /kit


Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja menaiki takhta
Jika hari ini Presiden sebuah Negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.
-Usman Awang 1979

 
Siapa yang kita sebut sebagai guru? Ia yang kita sudah kenali sejak kecil memberikan pekerjaan pekerjaan rumah untuk dikerjakan, esok ketika ada yang tidak mengerjakan, siap – siap lah menerima hukuman. Guru adalah sosok yang juga menjelaskan banyak hal menarik sejak kecil, menanamkan nilai – nilai kebaikan entah membantu teman atau mempertahankan kejujuran. Guru memiliki banyak warna , dan macam – macam rupanya. Ada yang teduh, ada yang riang penuh canda, ada yang gelap murung dan tegas, ada yang tak pernah tersenyum kecuali saat pengambilan rapot saja. Itu semua adalah sebuah identitas yang disematkan untuk orang – orang yang berdiri di depan kelas memegang kapur atau spidol atau buku absen dan peluit (jika olahraga). Mereka adalah guru. Selalu di depan kelas, akan berjalan ke belakang kelas sesekali hanya jika sedang ulangan.

Beranjak besar, pemahaman sosok guru kian berubah, ia bisa hadir dari bermacam – macam rupa dan bentuk. Ia adalah juga seorang nenek keriput tua dengan senyum gigi ompong terindah yang mengajarkan untuk terus berbuat baik dan ingat pada Allah, ia sudah tiada dapat ditemui di bumi, kecuali dalam hati. Guru juga adalah seorang ibu rumah tangga penjaja buku perpustakaan keliling. Guru juga adalah seorang nelayan yang teguh menanamkan ajaran mencintai, berkomunikasi, berkawan dengan alam pada anaknya, hal yang belum bisa didapatkan di sekolah formal. Guru juga adalah ibu atau bapakmu ketika ia diam dan marah untuk kau yang pulang terlambat, terlalu larut, atau lupa membalas pesan singkat. Teman yang menangis di hadapanmu karena ketakutan telah membantu memalsukan tandatangan juga kemudian menjelma menjadi guru. Jika definisi guru adalah pendidik nilai – nilai kebaikan dalam kehidupan, maka setiap makhluk berpotensi untuk menjadi guru. Rasulullah juga disebut sebagai Muallimul awwal fil islam, tanpa pernah ada satupun lembaga kenegaraan yang menyematkan identitas tersebut pada beliau. Sesungguhnya identitas sebagai pendidik sungguh semestinya berjalan apa adanya, alami, tanpa di reka – reka apalagi sertifikasi dan lainnya. 

Yang akan saya ceritakan dalam kisah yang satu ini adalah guru yang memiliki legitimasi identitas untuk menyandang predikat sebagai guru sekolah. Guru sekolah tentu berbeda dengan guru kehidupan. Untuk menjadi guru sekolah, seseorang harus memiliki dan melalui persyaratan – persyaratan tertentu. Sesuai dengan peraturan yang digulirkan pemerintah. 

Dukacita kerap menyelimuti profesi guru ketika media mengabarkan beragam hal fakta buruk yang terjadi. Hal ini tentu akan mempengaruhi citra seorang guru di mata masyarakat. Karena sudah kita ketahui bahwa media berperan besar sebagai jendela informasi yang dipercaya sangat amat akurat untuk diserap dan merupakan dominasi dari kebenaran. Mulianya profesi keguruan tergerus dengan sangat hebat terutama ketika masa – masa Ujian Nasional hendak diselenggarakan. Kecurangan yang berlangsung secara sistemik dan melibatkan banyak lini dalam system pendidikan kita tentu saja membuat guru sebagai sosok pertama yang akan disorot dan diinterogasi pertanyaan masyarakat.

Berdasarkan sajak Usman Awang di atas, guru adalah pusat kemuliaan dan kebermanfaatan bermula. Sajak tersebut menyampaikan betapa kegiatan mendidik seorang guru adalah awal pembuka dan penentu masuknya ilmu ke dalam orang - orang dengan beragam profesi lainnya yang disebutkan di atas saat kanak - kanak. Pada 1979 kira – kira Indonesia memang sedang mempersiapkan seluruh anak negeri untuk mampu mengenal tanda baca latin. Istilah pemberantasan buta huruf semestinya tidak digunakan pada zaman repelita tersebut. Karena meskipun tidak berkenalan dengan huruf latin, sesungguhnya masyarkat lama telah mengenal huruf arab melayu.

Dalam perkembangan dunia pendidikan modern di Indonesia, jika dikaitkan dengan sajak di atas sosok guru kekinian justru mengeluh jika ada satu orang muridnya yang berbeda dari anak – anak seusianya, belum mau dan mampu membaca atau berhitung dengan lancar. Segala gagasan tentang mulianya profesi guru tergerus bahkan terlupakan oleh para praktisinya. Setiap kemuliaan kemudian dianggap sudah semestinya mendapatkan peng’harga’an. Harga yang benar – benar diartikan  secara literal berupa naiknya gaji guru ditambah tunjangan – tunjangan yang menggiurkan bagi guru PNS. Sehingga pendidik memang menjadi profesi incaran namun orientasinya menjadi terbelokkan dari yang banyak orang harapkan: materi dan kesejahteraan, bukannya kemuliaan karena pahala dan cinta terhadap ilmu. Baru – baru ini saya temui pembicaraan yang pertama dibuka untuk lowongan posisi sebagai guru adalah mengenai fasilitas hak dan kenyamanan. Pembicaraan mengenai pembekalan dan kondisi perpustakaan serta laboratorium justru ada di akhir, bahkan hampir tak dibahas jika ak saya tanyakan. Sebuah potret dimana kondisi guru kita belum menyatu erat dengan belahan jiwanya: ilmu (dalam hal ini direpresentasikan oleh perpustakaan dan kultur akademik). Suatu fakta yang siapa saja layak untuk merenungi kembali untuk kemudian mengheningkan cipta.

Seiring dengan kesadaran para pembelajar pendidikan untuk kembali pada hakikat dan mulai berfilosofi tentang sistem penyelenggaraan pendidikan yang kini tengah berjalan, muncul suatu gagasan untuk kembali mengenal dan menerapkan pesan Ki Hajar Dewantara. Salah satunya yang berkaitan dengan eksistensi guru adalah tentang trisentra pendidikan. 

Yang disebut dengan trisentra pendidikan adalah:  keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Ketiganya adalah unsur yang mesti berkolaborasi tanpa sekat dalam membangunkan negeri dari tidur panjangnya. Membawa obor pendidikan demi kemuliaan hakiki untuk menerangi peradaban Indonesia. Melalui pesantren, melalui sekolah alternatif, melalui pendidikan berbasis keluarga, kemunculan dan kebangkitan trisentra pendidikanlah yang kemudian setiap pembelajar dapat mengembangkan makna guru, ilmu pengetahuan, ruang kelas, dan sekolah dengan lebih luas daripada persepektif sempit yang kini berlaku.
Guru tetaplah ia, mereka, dan bisa jadi anda selama ia mau dan mampu membagi harta warisan paling berharga yang manusia miliki sebagai bekal:  pendidikan, ilmu, dan pengetahuan kepada pihak lain dengan segenap hati dan cintanya.

Sebuah anak – anak komunitas blogger UNJ membuat perjanjian di antara mereka untuk menghargai dan membalas budi baikmu lewat tulisan kecil sederhana. Aku masuk dalam komunitas tersebut. Berikut pesan dariku untukmu, guru.

Untuk setiap guru kehidupan, aku ingin menyapamu dengan manis dan santun. Haturkan rasa terimakasih yang dalam karena akan menjadi insan yang seperti apa aku kelak, akan berada di barisan yang mana aku di masa depan nanti, itu semua tergantung dari pendidikan yang kuterima sejak ditiupkan ruh dalam rahim dan berjanji untuk beribadah pada-Nya.

Selasa, 07 Oktober 2014

icing

Bahan:
Tepung gula 250gr (sesuka hati)
Susu bubuk dancow (dua sachet)
Putih telur (dua)
Pewarna (3 tetes)

Alat:
Mixer
Blender
Sendok
Baskom
Penggiling (bisa pake apa saja asal silindernya stabil dr dasar ke atas, saya menggunakan botol sirup marjan dan nampan)



Icing adalah bahan dasar untuk dekorasi kue - kue. Kue kering maupun kue tart.

Penasaran banget sama icing ini setelah lihat Handi's Cake. Hebat banget pemuda dari cianjur yang lebih dikenal sebagai master dekorasi kue Australia ini. Icing ala Handi tidak seperti icing yang dikenal sebelum - sebelumnya. Yaitu mirip whip cream tapi lebih kental.

Icing gaya Handi ini mirip seperti lilin mainan anak - anak.

Begini cerita ketika saya mencobanya.

Kocok dua putih telur dengan mixer level 1. Terus mix hingga berbusa putih kemudian mengembang. Hentikan sesuai feeling (asal ya).
Kemudian tuang tepung gula sesuai selera. Gunakan feeling seberapa hingga menjadi manis. Saya sendiri menggunakan 250gr tepung gula. Jika anda kehabisan stok tepung gula seperti yang saya alami, tak usah panik. Ambil stok gula pasir dan masukkan ke dalam blender. Blend tanpa air sama sekali dan untuk waktu yang sebentar saja. Cukup hingga gula berubah menjadi tepung (terlihat jelas di luar).

Tuang gula secara bertahap sambil diaduk, gunakan sendok juga boleh.

Untuk mengakali aroma adonan yang amis, tambahkan susu dancow bubuk kira2 dua sachet.

Selesai! :)
Bentuk dan mainkan sesuka hati hehe

Simpan sisanya di wadah tertutup ya, jangan di lemari es agar tidak mengeras.

Selamat mencoba

Jumat, 03 Oktober 2014

perhiasan



Seseorang hanya mencari pembenaran atas apa yang dia lakukan meskipun mungkin jauh di lubuk hatinya dia tahu bahwa itu salah. Kecuali ada yang salah pada hatinya sehingga gagal membedakan mana yang baik, mana yang buruk.

Kaget sekali mendengar pernyataan masih ada saja orang - orang yang berkata dengan tegas bahwa dia yakin sudah tidak ada lagi cewe di zaman sekarang yang masih terjaga (perawan-red).

Sungguh, perempuan mana saja yang berada dalam jarak dengar saat itu pasti akan tidak setuju, kesal, marah atau bahkan menangis karena si penutur telah mengeneralisasi keburukan yang dialami/dimiliki/dipelihara beberapa orang.

Pada zaman sebelum islam hadir di Makkah, penduduk Makkah memang memiliki kebiasaan - kebiasaan buruk yang kemudian disebut sebagai kebodohan, salah satunya adalah berzina. Macam - macam bentuk zina ini. Yang disebut tukar guling atau piala bergilir pun ada. Kelompok mana sebetulnya yang out-of-date? Lalu apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w ketika dakwah islam? Zina dilarang. Mendekatinya saja juga tidak boleh. Karena dampak dari perzinahan sungguh
serius dan masif. Ini perkara akhlak generasi. Serius dan besar tapi sengaja dibuat sepele.

Bisa kita lihat ketika membaca menghapal nama penulis buku atau ilmuwan - ilmuwan islam, pasti agak menyulitkan. Karena dalam setiap nama, mesti mencantumkan asal usul nasab serta lingkungan
keluarga. Nasab. Itu juga yang penting.

Ketika bayi hasil zina terlahir, maka bayi tersebut tidak akan mendapat sematan "bin" dari ayah biologisnya. Karena proses menempelnya al alq pada rahim terjadi sebelum arsy-Nya bergetar menyaksikan janji yang diucapkan seorang pemuda untuk menjaga menafkahi membimbing mendidik dan menanggungjawabi seorang perempuan.

Tidak ada proses persetujuan seluruh keluarga dari kedua belah pihak ketika hal itu terjadi. Maka, wajar bila orangtua yang menghadapi kenyataan bahwa putrinya tidak lagi terjaga akan merasa gagal,
menangis, takut menanggung dosanya, bahkan malu. Campur aduk.

Az Zukhruf yang ternoda kemudian tidak bisa melakukan apa - apa. Perempuan itu cuma bisa
mengharap pertanggungjawaban. Dia bingung harus menyalahkan siapa atas kelakuannya sendiri. Demi pembenaran atas apa yang telah terjadi, maka ia akan berkata seperti yang tertera di atas.

Roda perekonomian yang membuat seorang perempuan dengan sertifikat persekolahan pas-pasan memutuskan untuk mencari nafkah. Perhiasan yang seharusnya terjaga justru keluar menjadi salah satu tulang di punggung sebelum mendapat perbekalan diri yang cukup (baligh atau dewasa dan matang pikirannya).

Maka atas nama modernisasi, si perhiasan ini mesti bergabung pada kelompok sosial yang mengklaim diri mereka adalah yang mendominasi dan akan senantiasa abadi pemikiran dan eksistensinya.

Demi meredam kepusingan akan fakta ini, sungguh adem mengingat betapa teduhnya melihat perempuan-perempuan yang menjaga penampilan dan konsisten menghargai dirinya sendiri sebagai perhiasan.

Jilbab lebih dari sekedar taat. Ia juga adalah bentuk dari penghargaan seorang perempuan terhadap dirinya sendiri -kutipan dari seorang pembantu rumah tangga yang berjilbab

Sadar betapa Allah ingin menjagamu, perempuan? :)

Sabtu, 27 September 2014

Jejaring


Sampah adalah sesuatu yang senantiasa melekat dengan kehidupan setiap makhluk hidup. Seiring dengan kodratnya bahwa makhluk hidup memiliki kebutuhan mendasar yang kemudian menghasilkan sampah. Saya membayangkan mungkin ketika kebutuhan manusia sangat – sangat diaktakan mendasar adalah ketika masa manusia belum memiliki akal yang sempurna, sebut saja pada masa manusia purba. Manusia purba yang hidup dengan berkoloni juga telah memiliki sampah, ambil contoh sampah kerang yang menggunung yang ditemukan di Indonesia terkenal dengan sebutan Kjokken Modinger. Kemudia, seiring dengan dianugerahinya akal pikiran pada manusia, maka cara hidup dan mempertahankan diri manusia mengalami perkembangan seiring waktu.

Bumi tempat makhluk hidup kini berpijak kemudian mengalami berkali – kali perubahan pada wajahnya. Manusia dengan segala akal pikirannya menggunakan ilmu yang sejatinya adalah cahaya untuk menemukan jalan kebenaran kemudian jadi berkembang untuk memenuhi keegoan perkembangan pemikirannya sendiri tentang konsep hidup dunia dan kematian. Muncullah kemudian pemikiran – pemikiran yang mengembangkan kebutuhan pokok manusia menjadi kebutuhan pelengkap. Lalu apa yang disebut dengan kebutuhan definisinya mengalami perubahan dan jumlahnya jadi bertambah berkali – kali lipat.

Manusia dan kebutuhan kemudian akan selalu menghasilkan dampak atau efek atas penggunaan dari segala kebutuhan. Hal yang tidak pernah berubah sejak kelompok manusia memulai pergerakan cara hidupnya adalah adanya sampah atas konsekuensi penggunaan kebutuhan. Organisasi dunia kemudian memunculkan demografi perkembangan populasi penduduk, pemetaan terhadap pendidikan kesehatan kesejahteraan kebersihan dan lain – lain pun dipetakan. Alibi tujuannya adalah: demi mendapatkan format bumi dan kehidupannya yang lebih baik. Jumlah sampah kemudian juga menjadi pembahasan sebagai dampak peningkatan populasi makhluk hidup di muka bumi. Peningkatan sampah yang tak terkontrol terutama di Negara – Negara yang belum tersejahterakan (penyebutan yang lebih baik ketimbang berkembang, mundur, apalagi terbelakang)

Sampah baik rumah tangga maupun industry kemudian menjadi hal yang sangat membahayakan dan sifatnya urgensi. Menurut Pak Prakoso, penggagas Bank Sampah Malaka Sari, samaph rumah tangga yang berdiam di sudut halaman dalam beberapa saja sudah mampu mengeluarkan gas karbon monoksida yang zat tersebut diketahui sama dengan yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor berbahan bakar solar. Itu merupakan racun. 

Belum lagi konflik pembuangan limbah sampah berstatus B3 dari Negara lain yang diselundupkan ke bumi nusantara. Maka lengkaplah bahwa sampah merupakan hal yang sangat berbahaya dari hari ke hari jika dibiarkan. Pada suatu forum yang menyuarakan penurunan populasi manusia, dikatakan bahwa peningkatan sampah adalah karena kurangnya pengetahuan dan saran pengolahan di masyarkat Negara mundur. Dan peningkatan sampah berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk. Maka solusi untuk menyelamatkan bumi adalah mengurangi jumlah penduduk dengan control jumlah anak dalam keluarga. Saya pribadi daripada memprioritaskan gagasan tersebut justru lebih memilih pencerdasan secara massif tentang sampah dan pengelolaannya daripada harus menempuh jalur instan tapi tidak mengakar dan menurunkan budi serta pendidikan karakter kebersihan yang baik.

Pengelolaan sampah kemudian menjadi penting disamping cerita yang telah saya paparkan di atas (mengenai hubungan sampah dengan populasi penduduk) adalah karena sampah memiliki banyak potensi untuk disulap dari barang tidak berguna atau bahkan merugikan menjadi bahan pendapatan rezeki dan peningkatan kemakmuran masyarakat. 

Jika  institusi sekolah kini sedang mendapat serangan gencar dengan tudingan sebagai pelaku kejahatan mematikan kreativitas anak bangsa, maka di harapkan kreativitas akan berkembang dengan pesat melalui pengelolaan barang sampah. Masyarakat Indonesia (kalangan bawah hingga menengah khususnya) dapat mengeksplorasi kemampuan diri dalam berkarya seni dan berwirausaha justru dengan stimulus ketidakberdayaan ekonomi sekaligus kewajiban untuk menjaga lingkungan agar bersih dan sehat untuk ditinggali.

Kesadaran yang menghampiri pemikiran seseorang tidak pernah lepas dari pengetahuan. Sedangkan pengetahuan hanya bisa didapatkan jika Allah menghendakinya lewat kemampuan ‘membaca’ sekitar. Dan yang paling besar potensinya untuk dapat dan mampu membaca adalah kalangan menengah. Salah satunya adalah pemuda – pemuda yang dapat mencicip bangku perguruan tinggi. Dengan tahu maka sadar, dengan sadar maka bergerak. Maka gagasan dan suara mengenai kebesihan dan sampah sebenarnya sudah tidak asing di kalangan pemuda. Kecuali pemuda yang hidup dalam ketebatasan dimana waktu tenaga dan pikirannya sudah kadung disibukkan dengan tuntutan kebutuhan yang makin bertambah jumlahnya serta membingungkan. Mengaburkan konsep kehidupan yang sesungguhnya sehingga lupa apa sebenarnya tujuan dari kehidupan kalau bukan bersiap untuk menyambut kematian.

Sebagai Negara dengan penduduk Islam terbesar, Indonesia melalui pemudanya yang berkesadaran untuk menjadi relawan gerakan hidup bersih dan kreatif saya harap dapat mewujudkn bangsa yang sadar secara penuh makna keindahan dan ibadah dalam menjaga kebersihan. Pengumpulan relawan adalah sebuah gerakan kecil tapi sarat makna yang megetuk suara hati siapa saja yang sesungguhnya gundah dan mencari ikatan bervisi serupa. Menguatkan simpulnya untuk bergerak dalam keyakinan bahwa visi dan misi mereka adalah baik serta demi manfaat sekelilingnya.

Sebuah awal mula yang menyatukan suara si pendiam untuk bisa bergerak maju dengan lantang karena kebersamaan dalam nait baik adalah kekuatan.


10 September 2014

Rabu, 24 September 2014

Laut pun Enggan Menelan


Jika saya bisa hadir ke acara tersebut dengan cara yang baik, maka saya juga mestinya hanya bisa pulang dengan cara yang sama seperti saya pergi. 

Bismillah… 

Usai sudah pelatihan relawan GERBANG yang dihelat selama dua hari (18 – 20 September) oleh panitia: SPKP SAMO – SAMO dan Variabel Bebas. Kertas harapan yang dibagikan panitia begitu memasuki meja registrasi di hari pertama tidak sempat saya kumpulkan, maka saya tuliskan disini. Harapan saya ketika berangkat adalah saya dapat menularkan pengetahuan, pengalaman dan semangat merengkuh pengelolaan sampah – sampah mulai dari sampah yang berasal dari kita sendiri pada anggota keluarga di rumah, tetangga, dan teman – teman nyata maupun maya. Seperti halnya sebuah kesadaran yang sampai pada seseorang, sebesar kesadaran itulah yang kemudian harus juga ditularkan kepada kawan - kawan manusia lainnya (idealnya). 

Saya percaya hanya atas izin-Nya lah yang kemudian menggariskan saya mampu hadir secara utuh dalam mengikuti rangkaian agenda pelatihan. Lima orang dari Variabel Bebas yang lolos hasil seleksi tulisan oleh panitia adalah Saya, Tiara, Chintya, Abul, dan Mariyadi. Kami berlima berangkat pada kamis pagi bersama Karyadi (UNJ), Yola(UNJ), Dini (UIN), dan Lia (UIN). Syukur kemudian menghiasi ketika memandang menghadap dan merasai besarnya kekuasaan Ia yang jiwa saya dalam genggaman-Nya lewat salah satu ciptaan terbesarnya di bumi: lautan. Ini benar – benar hanya sedikit dari bocorannya surga. Tebusan setimpal atas hawa memabukkan terombang ambing seperti ayunan mau putus yang ditanggung kami sebagai penumpang di dek bawah . 

Pelatihan relawan pegelolaan sampah botol plastik ini tentunya berfokus pada sampah. Sampah yang sering dijadikan permasalahan dan fokus orang – orang ternyata berasal dari kita sendiri. Saya benar – benar mencatat itu dalam hati ketika malam penutupan pembacaan puisi oleh Karyadi dan juga ketika perjalanan pulang. Saya sengaja duduk di balkon lantai dua kapal kayu sepanjang perjalanan hanya untuk mengamati lautan. Maha Besar Allah yang menciptakan lautan beserta segala isinya. Ombak rasanya terus menerus berdizikir dengan nada dan kesyahduan yang berganti – ganti. Dari penuh harap, menjadi cinta, menyimpan rahasia, malu tapi tenang, kemudian wajahnya serasa muram menahan emosi tertahan menginterogasi botol – botol plastik bekas minuman manusia yang mengembara sendirian di tengah lautan. Seolah laut tak pernah mengizinkannya menyatu ke dasarnya. Plastik memang takkan pernah diterima dengan pelukan terbuka oleh laut, laut konsisten menjaga perasaannya itu. Plastik tak pernah menyatu, dalam jangka waktu tertentu ia memecah diri kecil – kecil untuk kemudian sering menipu biota laut yang ada. Hubungan emosional antara laut dan plastik tersebut hanya disebabkan oleh kita, manusia. 

pengamatan sekilas perjalanan pulang, saya menemukan bahwa barisan sampah hanya ditemukan ketika kapal tengah dekat dengan sebuah pulau. Tandanya, sampah hanya ada pada tempat dimana terdapat aktivitas manusia di dalamnya. Rasanya campur aduk, lebih mual dan miris ketimbang terombang – ambing mencicip kapal kayu kali pertama ketika menyaksikan sungguh kontras warna air dalam perjalanan pulang Pulau Pramuka – Muara Angke. Biru turquoise menjadi biru laut kemudian menjadi biru tua lalu di saat tertentu menjadi hijau toska lalu menjadi hijau cincau lalu hijau tua kemudian menjadi hijau kehitaman lalu hitam dengan sampah yang banyak mengapung. 

Muara Angke, suatu tempat dimana warga kepulauan menyebutnya sebagai Darat. Sumber darimana barang – barang kebutuhan pokok diperoleh. Semestinya, jika pedagang warga kepulauan menyaksikan selama ini betapa kontrasnya warna air, mereka akan terketuk hatinya untuk menjaga pulau mereka dari menjadi muara angke. Dan kesadaran itu lebih besar diperoleh oleh kaum tua dari pedagang dan juga kaum muda terpelajar masyarakat kepualauan. 

Pelajaran yang dapat saya ambil adalah fakta bahwa masih adanya jarak antara label keilmuwan dengan kondisi permasalahan masyarakat. Sunggguh, sematan identitas sebagai pelajar mahasiswa terkadang sangat mengganggu dan hanya menjadikan jarak. Mungkin itu adalah konsekuensi dari system pendidikan nasional yang membedakan urusan ilmu pengetahuan dengan kehidupan. Begitulah akibatnya dari sesuatu yang sesungguhnya adalah alat dan bekal mengarungi kehidupan justru dalam perkembangannya lewat tangan – tangan dzalim penguasa digolongkan menjadi barang yang potensial untuk masuk pasar. Keuntungan dan uang dibungkus menjadi satu – satunya penolong agar selamat dalam menjalani kehidupan yang Cuma setetes dari jari di tengah lautan. Tri Dharma perguruan tinggi juga sering melupakan pengabdian masyarakat. Dianggapnya tri Dharma ketiga tersebut dapat ditutupi dengan balutan KKN yang cuma beberapa waktu saja. Jika tak ada KKN maka PKL pun jadi diartikan sebagai pengabdian. 

Sesuatu yang akhirnya saya ketahui dari agenda satu frame dengan relawan perwakilan pulau - pulau besar adalah pentingnya memahami medan atau kondisi social yang berlaku ketika berada dalam lingkungan tertentu. Akan menjadi tidak tepat ketika saya belajar konsep pengelolaan sampah berbekal pengetahuan permasalahan dan dampak yang terjadi di darat saja. Ternyata permasalahan dan dampak dari sampah yang tak terkelola dengan baik di kepualauan berbeda dengan yang di daratan. Masyarakat kepulauan memiliki kedekatan permasalahan tentang air tawar atau air bersih, jumlah dan kualitas tangkapan ikan, serta sektor pariwisata yang digencarkan pemerintah pusat maupun daerah. Semua tidak jauh dari pembahasan mengenai system perekonomian dan pendapatan masyarakat. 

Secara umum, pelatihan sangat menarik karena mencoba menghadirkan tokoh – tokoh inspiratif yang bergerak dalam konservasi lingkungan. Selain sisipan materi yang bersifat ilmiah, juga disisipkan praktik langsung membuat media tanam yang baik dan penggalian kreativitas mengubah barang sampah menjadi barang layak jual. Peserta yang didominasi masyarakat tua memang lebih senang dan betah berlama – lama pada sesi praktik langsung. Apresiasi untuk acara pelatihan relawan sampah. 

Namun dalam membuka kesadaran yang coba diungkapkan dengan bahasa akademis, rasanya tidak terlalu mengena dan membuka pemikiran. Justru lebih menyentuh dan mengetuk dengan kencang ketika komunikasi dilakukan tanpa microphone seperti yang terjalin saat FGD di malam kedua. Pembacaan puisi juga mampu menyapa hati siapapun yang mendengar. Hadir dalam jelmaan audio mengucapkan salam dan mematri lagi kesadaran bahwa di tangan manusia lah kebaikan dan kehancuran bumi ini nantinya. Efek dari pembacaan puisi juga mampu membuat kebanyakan peserta berdiam mencoba mendengar dan meresapi betapa seharusnya tak berjarak antara aktivitas manusia dengan Rabb sang Khalik. Sampah juga adalah ciptan-Nya. Dan kita manusia adalah makhluk yang dipercaya untuk mampu memimpin bumi beserta isinya. 

Tiara juga mengatakan bahwa relawan dari kaum muda dapat belajar dan mereguk ilmu dari relawan kaum tua untuk bagaimana menularkan kesadaran dan pemahaman ini pada anak – anak sebagai pembekalan di hari nanti. Karena seruan kebaikan dalam keluarga akan lebih mudah dilakukan ketika posisi sudah menyandang status sebagai orangtua. Dan kaum muda memiliki kekuatan untuk menularkannya pada teman – teman sesama kaum muda. Karena Indonesia memiliki banyak sekali kaum muda, sama seperti sampah, segala yang berlebihan dapa tmenjadi musibah atau anugerah tergantung pada tangan pengelolanya. 

Ario Salaka dari Sangga Buana juga mengatakan bahwa pedoman yang ia lakukan selama bergelut di bidang konservasi lingkungan adalah bukan bagaimana menjadikan sesuatu sebagai tujuan. Tapi tujuannya adalah bagaimana segala sesuatunya dapat berubah menjadi manfaat. 

Yang juga penting dengan pelatihan relawan sampah adalah terjalinnya persaudaraan. Suatu poin yang disebutkan oleh tim REGER (Relawan Gerbang) sebagai salahs satu langkah dalam merealisasikan impian adalah: Cari Teman Sevisi. 

Pelatihan kemarin seperti menghubungkan variabel – variabel lainnya untuk kemudian bisa bergerak bersama mentransformasikan harapan menjadi kenyataan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap variabel yang berkumpul kemarin adalah manusia - manusia yang mencoba ingin kembali menjadi manusia yang memanusia. Memperbaiki diri dari hal terkecil dan sering terlupakan: sampah. Sebagai akar dari upaya menjalani kehidupan yang bersih dan sehat sebagaimana eratnya umat islam dengan syarat sah shalat: wudhu.

Minggu, 14 September 2014

Merdeka Sekali Lagi

Bismillah..


Sejak Bung Karno membacakan teks proklamasi pertama kalinya, berarti sudah berlalu 69 tahun yang lalu. 25184 dikurangi kira – kira 17 kali kabisat, jadi 25167 hari telah berlalu. Perhitungan yang saya gunakan adalah tahun secara umum, Masehi. Tapi bukan berarti yang umum adalah yang terbaik, karena kini kebaikan dan kebenaran makin mudah dikaburkan di atas usum atau yang sedang jamannya, yang berarti mengikuti arus dominasi adalah yang akan dianggap normal dan juga benar.

69 tahun atau 25.167 hari umur Negara Indonesia, jika Indonesia adalah makhluk manusia, mungkin ia adalah insan yang kira – kira siap menyongsong panggilan kematiannya. Ia adalah seorang tua yang kerap mengulang – ulang kisah lama karena tidak ada atau minim sekali kisah baru untuk di ukir. Ia adalah seorang sepuh yang sudah tak memiliki daya tarik secara fisik, khususnya bagian yang sering dieksploitasi oleh pihak di luar dirinya.

Menghadapi integrasi kerjasama regional ASEAN, Indonesiaku gembar – gembor sedang mempersiapkannya juga. Jadilah masing – masing sektor merasa dirinyalah yang harus diistimewakan dan diprioritaskan. Semua bersuara senada, berebut anggaran negara. Padahal pendapatan Negara dari pajak juga sudah diperah untuk jatah menutup hutang Negara yang sangat banyak.

Di hari ulang tahun yang ke 69, seluruh masyarakat Indonesia tampak masih berhias diri merayakannya. Perayaan ini saya lihat makin menjadi sekedar penghias hari saja. Beban kewajiban rasa nasionalisme sudah ditunaikan asal pejabat tingkat RT sudah menyelenggarakan lomba kecil – kecilan di kalangan warga. Seperti biasa, sesuatu yang dilakukan hanya karena kebiasaan akan sering kehilangan kesadaran untuk memaknai ketika menjalankannya. 17 agustus pada tahun 2014 jatuh pada hari minggu. Maka, terasa tidak ada beda dari hari – hari biasanya. Sangat biasa.

Akhirnya saya bilang, bahwa kita merayakan pembacaan proklamasi oleh Bung Karno pada 69 tahun yang lalu. Kita bukan merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 69. Jika makna kemerdekaan adalah pembacaan proklamasi, maka sungguh, berarti kita masih terjajah sampai saat ini. Masih tampak keterjajahan dari seremonial yang karang taruna lakukan di beberapa tempat bagian Indonesia. Menengadahkan tangan di jalanan umum untuk mendapat dana demi menyelenggarakan lomba. Kenapa untuk sekedar memaknai kemerdekaan kita harus mengeluarkan uang? Dari orang lain pula. Apakah untuk sekedar menghayati sejarah kita membutuhkan hadiah – hadiah di ujung pohon pinang? Padahal hadiah tersebut juga ada pula yang merupakan produk dari luar negeri. Saya sungguh masih ragu, apakah rasa kecintaan tanah air dan kesediaan menjaga seluruh titipan Ilahi di bumi Indonesia bisa dibangkitkan kembali di hari raya kemerdekaan jika seremonial yang dilakukan saudara setanah air terus – terusan begitu formatnya?

Kemerdekaan mengingatkan saya pada syair Joko Penthil. Lagu mainan dari tanah Jawa tersebut memiliki makna yang dalam perihal kronologi suatu negeri menjelang kehancuran. Poin yang ingin saya ambil adalah "Joko Penthil tela telo". Yang dimaknai oleh Emha dalam Markesot Bertutur adalah; seorang pemimpin yang masih menetek (bergantung) pada pihak lain merupakan salah satu faktor kehacuran negeri yang dipimpinnya. Suatu pertanda keterjajahan karena belum mampu untuk mandiri secara paripurna dalam memimpin. Sedangkan konsep kepemimpinan adalah bagaimana ia memimpin, rakyatnya juga merupakan refleksi dari kedzaliman atau kebaikannya. Ketika kita sendiri sebagai rakyat juga tidak menyadari urgensi untuk menjadi mandiri baik secara finansial (seperti ilustrasi karang taruna yang menyiapkan lomba 17an di atas) atau dalam bergerak, kita tak akan pernah menjadi merdeka seutuhnya. 

Terserah mau berapa kali teks proklamasi dibacakan dengan lantang, tetapi jika pemuda pemudi kita esok harinya masih ada yang menyatakan dengan terang – terangan untuk berpindah kewarganegaraan, sungguh, kita masih belum sadar bahwa kita telah terjajah pada bagian paling penting: pikiran. Karena penjajahan terbaik adalah ketika yang terjajah tidak menyadari keterjajahannya.

Sebutan Indonesia sendiri menurut Ahmad Yunus dalam Meraba Indonesia awal mulanya juga dibuat oleh duo penulis jurnal dan peneliti dari dunia bagian barat. Mereka gencar menyebut Hindia Belanda (pada masa itu) sebagai Indonesia. Bisa terlihat bahwa untuk menamai diri kita sendiri, kita menerimanya dari bangsa lain. Jika kita bersatu karena kita mengalami nasib yang sama, itu adalah pertimbangan politis. Agar terrealisasikan dengan cepat karena Indonesia merangkul mereka yang bekas jajahan Belanda pada masa itu. Kesamaan nasib ternyata menjadi pemersatu.

Saya teringat cuplikan “Keberagaman yang luar biasa! Indonesia tidak dapat bersatu tanpa dipersatukan! Bukankah mustahil untuk menyatukan pulau – pulau yang begitu banyak? Tapi nyatanya kita Alhamdulillah bersatu. Kita bersatu karena kita MAU untuk bersatu!” Prof. Winarno  Surakhmad mengatakan dengan lantang dalam Pendidikan Yang Mengindonesiakan. Keberagaman kebudayaan kemudian sering menjadi konflik tersendiri begitu nilai dan warisan budaya ditempatkan pada hal politis berupa hak paten. Karena pada faktanya, Negara tetangga memiliki rumpun kebudayaan dan nilai yang begitu erat dengan kita. Negara dan bangsa. Ada perbedaan antara keduanya: yang satu adalah politik, yang satunya terikat pada manusia dan cara hidupnya. Jadi, bisa dibilang, yang mengkotak – kotakkan kebudayaan dan nilai dalam masyarakat dalam ikatan negara adalah praktik penjajahan. Bisa kita lihat pada akhirnya bagaimana destruktifnya dampak dari praktik penjajahan ini. Akankah kita membiarkan penajajahan terulang kembali?

Tidak peduli apakah orientasi pemerintahan kini ke kubu barat ataukah timur. Selama kita belum mampu menyadari bentuk wajah Indonesia sendiri, kita akan senantiasa didikte oleh yang lain, berusaha mati – matian menjadi yang lain, tidak melihat potensi diri sendiri yang bisa dibanggakan demi mengukuhkan jati diri (potensi bukan untuk jual – beli), lalu bagaimana kita akan merdeka sekali lagi?

Kemerdekaan Indonesia ke 69 , di penghujung hari tuanya, masyarakat Indonesia kerap lebih percaya pada media masa daripada turun sendiri melihat kenyataan yang ada. Kecil sekali mendapat kesempatan untuk menyadari bahwa segala yang disajikan dalam media masa adalah sesuai arahan bapak pemegang saham media swasta dan siapa yang berkuasa. Kita kadung percaya sepenuhnya pada hal instan, maka sudah saatnya kecanduan media masa mesti dikurangi dan difilterisasi penyerapannya. Seperti anak kos yang harus mengurangi porsi konsumsi mie instan. Porsi ketidakberimbangan pemberitaan mengenai nasib saudara sebangsa setanah air perlu mendapatkan pengawasan yang baik oleh masyarakat. Terlebih dari itu, kode etik jurnalistik juga mengatakan bahwa kontrol terbaik adalah dari jurnalisnya sendiri. Tetapi entah bagaimana dilema yang terjadi sehingga jurnalis kadang tergadai prinsipnya ketika berbenturan dengan kebutuhan materi untuk hidup. Media masa kemudian menduduki posisi penting dalam hati masyarakat karena pembentukan karakter dan kebudayaan yang akan muncul dari hasil reproduksi pengetahun lewat media masa akan berpengaruh pada pembenahan mentalitas keterjajahan secara masif yang sedang kita alami dan jalani.

Kembali ke tradisional seperti menulis surat seperti yang sedang digencarkan Indonesia Mengajar juga merupakan salah satu upaya untuk menyebarkan budaya membaca diskusi dan menulis. Sehingga ada suatu berkah dan manfaat yang sangat besar untuk secuil tanah surga dunia yang belum tersentuh frekuensi televisi, radio, apalagi internet. Ketertinggalan bangsa yang ramai dibicarakan semoga akan keluar dari definisi bahwa ketertinggalan adalah ketidak modernnya suatu masyarakat. 

Dalam menghadapi dunia yang akan tanpa sekat, bukan saatnya kita justru menjadi Joko Penthil atau sibuk meniru bangsa lain yang kita anggap maju. Yang diperlukan di usia menjelang sepuh (69) adalah kembali ke jati diri. Sehingga tidak ada lagi bule hunters di kalangan remaja karena tidak bangga dengan Indonesia. Kuatkan identitas bangsa ini agar kita tidak lagi menjadi korban dari upaya industrialisasi dan perdagangan di seluruh sektor pembangunan.

Kemerdekaan yang ke 69 Indonesia sudah selayaknya dibarengi kesadaran bahwa kita belum merdeka secara bathin. Perlu banyak tangan – tangan yang menulis secara tradisional untuk mengabarkan kebenaran ini. Dapatkan kembali identitas kita bermula dari pendalaman kajian – kajian sejarah. Biarkan Indonesia merdeka untuk satu kali lagi. Merdeka yang sebenar – benarnya.

Berikut pesan yang baik sebagai penutup curahan hati saya tentang kemerdekaan Indonesia ke 69:

Pemimpin tak sekedar memimpin masyarakat manusia
Tapi juga memimpin masyarakat makhluk yang luas
Ia memimpin hak – hak binatang, hutan, barang tambang,
Di situlah antara lain terletak kesalahan ideology pembangunan modern yang merusak alam
Bahkan merusak manusia
-Emha Ainun Nadjib

Minggu, 31 Agustus 2014

kLAPERtaart

Bahan:
100gr tepung maizena
100gr gula pasir
100gr margarin
1sdt vanilla essence
60gr keju diparut
Remahan kacang kacangan secukupnya (untuk tabur)
daging 2 butir kelapa muda
1liter susu putih cair

Adonan 1:
masak 750ml susu cair + gula pasir di atas api kecil. Aduk sedikit sedikit. Tunggu sampai mendidih.

Adonan 2:
Campur 4 kuning telur + 250ml susu cair + 100gr tepung maizena

Begitu adonan 1 mendidih, campurkan adonan 2 ke adonan 1 secara bertahap. Tuang essence vanilla.
Aduk terus pelan - pelan. Adonan akan mengental seperti isi kue sus.

Matikan api.

Campur margarin, keju parut, separoh remahan kacang, dan kelapa muda.
Aduk rata.

Tuang di tempat. Hias sesuka hati (bisa dengan keju parut, messes ceres, remahan kacang, atau buah di atasnya)

Simpan di lemari es.


Lalu, air kelapanya baiknya dikemanakan?
Bisa dibuat minuma pendamping.
Hehe

Berada di dapur bagi seorang perempuan, dituntut memainkan dan mengasah feelingnya sebaik mungkin untuk menakar segala bahan agar berharmonisasi, larut dengan bahan lainnya. Belum selesai sampai situ. Perlu juga analisis selera di lidah penghuni rumah. Kemudian, selain selera, juga analisis kesehatan masing2 anggota dalam rumah.

Tetapi, lain hal ceritanya ketika ada dalam lingkup keterbatasan. Segala pertimbangan mesti di pas paskan sesuai situasi dan kondisi. Senjata hanya ada pada menjaga pikiran, hati, dan lisan ketika membuat makanan atau minuman.

Semoga kita semua terlindung dari sikap dzalim terhadap saudara muslim lainnya. Termasuk dalam urusan memenuhi kebutuhan (bukan keinginan) perut.

Rabu, 20 Agustus 2014

Satu Tubuh

Tepat pada peringatan kemerdekaan Negara Indonesia di pertengahan Agustus ini adalah juga gencatan senjata antara Palestina dan Israel. Hal ini membuat saya berpikir bahwa hubungan Palestina dengan Indonesia semakin erat dari hari ke hari. Bagaimana tidak, Palestina memiliki andil yang cukup besar sebagai bangsa pertama yang
mengakui kemerdekaan Indonesia 69 tahun silam.
 

Lewat kacamata hubungan internasional, yang pertama kali mengakui kemerdekaan sebuah Negara memilki tempat yang sangat spesial dalam hubungan bilateral. Maka, saudara muslim bagaikan satu tubuh rasanya benar-benar terjalin kental dan dipraktikkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dan Palestina. Indonesia sering disebut – sebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pandangan yang menjadi sorotan utama dimata masyarakat global itu nampaknya perlu ditransformasikan menjadi negara dengan penduduk paling cinta damai di dunia. Karena Islam tidak akan pernah terpisah dengan kedamaian, islam adalah cahaya, nuur untuk membimbing apa yang ada dalam kegelapan
menuju terang, dzulumati ilan nuur serta rahmatanlilalamin, rahmat
bagi seluruh alam. Maka, bukan hanya bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim, namun juga seluruh alam yang bukan hanya berarti dunia atau bumi atau sekedar galaksi bima sakti saja, melainkan alam semesta.

Kedamaian yang dibawa pada beberapa hari saja gencatan senjata perang Gaza bukan hanya berlangsung di Indonesia dimana
masyarakat sudah melupakan pilihan mereka pada 9 juli lalu dan kemudian terbawa asyik memenangkan hadiah-hadiah di atas batang pinang lalu berselimut oli bekas, ternyata sepercik kedamaian juga membelai lembut kebun binatang di Gaza. Tempat terindah bagi anak-anak Palestina menghibur diri di sela-sela perang dan tempat bermain diantara kesibukan menghapal Qur’an, tempat dimana mereka dapat melihat ayat – ayat Allah lewat binatang-binatang dan segala jenis laku di dalamnya, tempat itu berantakan (kalau tak boleh dikatakan luluh lantak) karena perang. Babon mengais-ngais tanah mencari makan tak jauh dari bangkai anak-anaknya yang tewas. Burung merak mati
terkapar di depan singa yang lapar, dan banyak lagi bisa dilihat kehancuran yang meratakan kebun binatang dengan tanah. Kebanyakan mati karena kelaparan dan kehausan karena sekitar 15 hari berpuasa tanpa berbuka akibat kedzhaliman yang terjadi di tanah mereka. Apa alasan Zionis Yahudi mengarahkan roketnya ke kebun binatang? Sudahlah, perang tak perlu mencipta seribu alasan karena akan lahir jutaan kebohongan demi kebohongan begitu dusta hati terkatakan dan tak mau atau mampu meyakini kebenaran. Summun bukmun umyun laa yarji’uun.

Selama gencatan senjata, kebun binatang sempat mendapat pasokan air dan beberapa ekor ayam dari wartawan internasional yang
menyumbang. Masyarakat pejuang Palestina sebagai khalifah di bumi Allah bagian Palestina tidak berdaya melindungi hak para monyet, singa, buaya, merak dan kawan-kawan dari roket Israel. Dimanakah PETA?
Apakah organisasi pencinta dan pelindung binatang itu hanya peduli dan berani atau bahkan mau menyuarakan kecaman-kecaman mereka di media masa atas bulu-bulu yang dikenakan artis Hollywood saja. Ada perbedaan yang signifikan antara mau dan mampu.

Kita kembali mengulas gencatan senjata yang berlangsung hanya beberapa hari saja di pertengahan Agustus 2014 ini. Seorang pemuda Indonesia menyunting gadis Palestina 17 Agustus lalu. Indah sekali ditengah-tengah konflik berkepanjangan ada yang berikrar mengguncang ‘arsy-Nya dengan janjinya untuk memindahkan tanggungjawab menjaga dan menafkahi serta mendidik seorang wanita. Jika maskulin identik dengan sifat lelaki yang sering tampil tergambar sebagai pelindung, pengayom, penolong, dan segala hal yang bersifat aktif, maka feminin dalam perempuan akan tampil lebih sering sebagai objek dari sifat di atas. Kalaupun tampil sebagai pelaku, feminin menggambarkan suatu proses kerja yang sifatnya halus lembut cenderung samar dengan kesetiaan yang berkepanjangan. Gampangnya adalah penggambaran sosok ayah dan ibu. Pemuda Indonesia yang menyunting Jena si gadis Palestina, bernama Husen. Pernikahan mereka seolah menggambarkan sebuah ikatan keluarga lewat membangun rumah tangga dua insan berbeda latar belakang geografi ini. Husen menyunting Jena seolah Indonesia yang menyunting Palestina. Indonesia dengan kekuatan lobi Internasionalnya diharapkan mampu mengubah lirik Michael Hart dalam We Will Not Go Down “while so called leaders of coutries so far, debated on who’s wrong or right”.

Sebagaimana yang disampaikan Nasarrudin Umar dalam kolom Tau-Litik, polemik dan konflik itu memiliki makna berbeda. Polemik muncul ketika beberapa orang berkumpul membahas suatu gagasan, lalu timbul perbedaan pendapat. Sedangkan konflik muncul dari beberapa orang yang berbeda pendapat berkumpul untuk membahas suatu gagasan. Hadits nabi perihal perbedaan pendapat dalam kaum adalah suatu rahmat, bukan diartikan bahwa perdebatan ada gunanya. Lihat juga
historis dari munculnya hadits tersebut. Menurut beliau, hadits
tersebut muncul karena pada saat itu ayat Qur’an baru akan turun
ketika sahabat nabi membawa suatu permasalahan untuk
diperbincangkan atau dimintai pendapat mengenai pemecahan perkaranya. Melalui perbedaan pendapat saat itulah akhirnya perbedaan pendapat dinilai sebagai rahmat.

Bagaimana dengan kini? Kita bisa menarik hikmah bahwa perbedaan pendapat seharusnya tidak lagi terjadi ketika kita benar-benar percaya bahwa pedoman ummat manusia sebagai yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengelola rahmat Allah menjadi berkah, yaitu Al Qur’an dan Sunnah sudah ada dalam genggaman sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, berapa banyak yang percaya khususnya di Indonesia? Berapa kadar kepercayaannya? Seberapa besar kemampuan mengimplementasikannya? Cukup direnungi dan tak usah dijawab, pertanyaan ini untuk saya sendiri juga.

Indonesia dengan maskulinitasnya, sebagai Negara merdeka yang masih diberi kesempatan memiliki fasilitas menyampaikan kebenaran pada masyarakat global, dan Palestina dengan segala kesabaran kelemahlembutan dan kesetiaan pada janji Allah yang memiliki keterbatasan fasilitas untuk menunjukkan taring dan cakar di hadapan musuhnya. Hubungan yang katanya politik ini, padahal karena satu tubuh sebagai saudara muslim, atau minimal sebagai sesama manusia di muka bumi, semoga dapat erat genggaman tangannya demi melawan kemunkaran dan membuka mata masyarakat global atas apa yang sesungguhnya terjadi.

Satu hal yang belakangan sangat terlambat saya sadari dan yakini, kekuatan Indonesia bukan hanya berada di punggung menteri luar negeri dan kawan–kawan saja, tapi juga seluruh muslim Indonesia sebagai duta dan humas yang merepresentasikan umat Muslim di bumi Allah. Perbaikan itu juga semestinya ada dalam diri kita. Salah satu cara menyuarakan bagaimana islam sesungguhnya dan membantu Palestina tanpa menunggu menjadi kaya untuk kemudian mengelola media masa
swasta masyarakat global adalah, menulis sedikit saja pikiran yang
terlintas di kepala. Maka, komunitas bloger UNJ hadir sebagai salah satu media bagi kita semua (mahasiswa UNJ) yang ingin memperbaiki bersama-sama cara mengikat ilmu dan cara bersuara tanpa bunyi agar pesan sampai dan konsisten disampaikan pada mereka siapa saja yang
digariskan Allah untuk menerima pesan demi pesan.

Mari memperbaiki diri ^^

Kamis, 07 Agustus 2014

Kebiasaan Merayakan Kelupaan.


Raya itu identik dengan pesta pora.
mungkin juga sudah pasti diartikan
begitu. Harusnya diri tau, layakkah
berpesta pora sedang diri belum
memenangi suatu apapun dalam
sebulan pelatihan? merayakan kan
artinya ada sesuatu yang diraih
atau dimenangi bukan?

semangat menyambut pesta
poranya, tapi lupa melihat kembali,
apakah diri menang dalam
peperangan menaklukkan diri?
jadi.. budayanya yang berlaku /
diberlakukan saat ini adalah lupa
perang tapi semangat merayakan.

Jadi seperti berpesta pora
merayakan kelupaan tentang perang
melawan apa dan bagaimana hasil
perang, juga mau apa setelah
perang.

sebegitunyakah kita membutuhkan
hiburan atau perayaan demi
mengisi hari - hari yang
menyulitkan? Hingga entertainment
menghadirkan diri nyaris setiap
saat dalam televisi dengan kedok
sebagai 'kebutuhan'.

dikira kita tak bisa tertawa selain
dari tekevisi mungkin?

hem perang masih berlanjut.
Perang terbesar dalam sejarah
kehidupan adalah prrang melawan
hawa nafsu sendiri tentunya.
*asah senjata

Daun Jati Meranggas


Apa yang biasa kita rindukan dari
sebuah pohon kalau bukan
daunnya?

Kerindangan dan warnanya yang
hijau mampu menyejukkan setiap
mata yang memandang karena hijau
mampu menstransformasikan
kelelahan menjadi kelegaan,
kesejukkan, dan keteduhan. Lewat
bantuan angin, keindahan dan
kesejukkan saat berada di dekat
pohon seakan bertambah – tambah
nikmatnya. Melalui sebuah pohon,
kita bisa di ajak untuk merenungi
banyak hal dalam kehidupan.
Segala ciptaan Allah di muka bumi
sudah selayaknya mampu menjadi
sarana pengamatan untuk
memikirkan dan ngrasani segala
macam yang terjadi di bumi
manusia ini. Ah tampaknya saya
egois bila menyebut bumi ini
adalah bumi manusia saja. Bumi ini
tentu dihuni oleh sekian banyak
makhluk ciptaan-Nya selain
manusia. Semua yang ada di langit
dan di bumi bertasbih pada-Nya
bukan?

Lewat angin yang bertiup
menyalami helai – helai daun, kita
bisa menarik pelajaran bahwa
sudah sifat angin untuk tidak
pernah berhenti bertiup. Karena
tatkala ia hening menghentikan
lajunya, ia kita panggil udara.
Bukan lagi angin. Sejak SD kita
disepakati penyebutan bahwa udara
yang bergerak ialah angin, kan?
Pada proses silaturahim angin pada
daun yang menjadikannya kadang
luruh, kita kerap melupakan
bagaimana nasib sehelai daun.
Seorang penulis mengatakan bahwa
daun menggambarkan sifat
keikhlasan, ketaatan, dan
penyerahan diri secara total pada
sang pencipta. Hendak dibawa
kemana ia oleh angin yang terburu
– buru hingga tidak pernah sempat
meminta izin pada pohon, daun
tidak pernah tau, pohon juga
begitu.

Ada satu waktu yang menjadi
suratan takdir beberapa jenis
pohon untuk mengalami kondisi
fisik yang berbeda dari pohon –
pohon lainnya. Yaitu ketika musim
kemarau menyapa hutan jati. Daun
pada pohon jati ini merelakan
dirinya dibawa pergi angin untuk
berdansa jauh hingga angin tak
mampu lagi membopongnya dan
kemudian berhenti menjadi undara
lalu mereka jatuh berdua. Daun jati
ini pergi bukan karena sudah tua
seperti pada musim lainnya. Ia
mulai dilepas oleh pohon ketika
pohon sudah tidak kuat lagi
memberikan daun jatah air untuk
mengebulkan dapur agar
didistribusikan secara adil hingga
akar. Akar sudah berusaha setotal
totalnya demi mendapatkan air
untuk daun tapi tetap saja sukar.
Sedangkan cahaya melimpah dari
matahari yang setia menyinari bumi
Allah tidak terbendung.

Maka, diceritakan, daun jati di
musim kemarau tidak pernah
bertindak egois. Ia sadar bahwa
dapur bukanlah tumpuan hidup
agar pohon bertahan. Induk
kesayangan mereka itu senantiasa
membumi, akarnya menghujam
ketanah. Kekuatan dari sebatang
pohon bukan dinilai dari banyak
dan hijaunya rimbunan dedaunan.
Melainkan akar yang dengan
kesabaran dan kerendahan hatinya
senantiasa tak pernah tampil cantik
apalagi menarik mata, kokoh
menopang pohon, batang, serta
daun.

Air tak sampai pada diri, pohon
sudah menceritakan segalanya
lewat diam dan kering kulit
kayunya. Daun sudah mendapat
penjelasan besar apa perannya
sebagai daun. Ia memang mahkota
dari keindahan pohon, ia juga
dapur tempat keadilan pembagian
nutrisi bermula. Tetapi, ia jugalah
yang melakukan tugas mulia di
musim kemarau: berdansa dengan
angin – angin. Perpisahan dengan
pohon baginya tidak pernah sia –
sia karena ia paham, ia sebaga
imakhluk tidaklah dilihat dari
bagaimanapenampilan luarnya
dalam mempercantik pohon seperti
mahkota pada manusia. Melainkan
bagaimana dan untuk apa peran
terakhirnya di bumi Allah mesti
berakhir. Ia sebgai yang gugur pada
musim kemarau, merebahkan diri
menyatu dengan tanah dengan
harapan adik – adiknya akan
bermunculan dengan rimbun di
musim penghujan nanti. Mampu
menjadi penyejuk mata masyarakat
hutan jati, peneduh manusia, dapur
yang lebar dan kuat, hingga
luruhannya nanti banyak
dimanfaatkan sebagai bungkus
tempe tradisional ataupun nasi
lengkong.

Saatnya daun jati dijemput angin.
Gemuruh angin yang datang kala
itu terdengar seperti salam yang
sopan dan menyejukkan. Salam
janji keselamatan dan
kesejahteraan bagi yang disapa:

“Assalamu’alaykum warahmatullah
wabarokatuh..
have a nice flight my dear friend

Kamis, 24 Juli 2014

CINTA. Partisipan Pelengkap

Bismillah..

Aku tergugu.. berlendir lendir ingusku jatuh membasahi mukenah, bersaing dengan air mata.

Ketika ruku', ketika i'tidal, ketika tahiyat, bahasa arab yang kuhafal sejak SD, aku tak hafal artinya! Apalagi untuk memahaminya!
Diantara kesadaran dan rasa malu itu, maka pecahlah kesedihan lewat isak kecil - kecil. Sungguh, ini pedih sekali.

Aku yang mengaku muslim ternyata juga tidak dekat dengan al qur'an, si pedoman hidup.

Apa faktor lain yang membuatku tergugu?
Nabi pernah memberitahu bahwa kita akan lebih banyak menangis daripada tertawa jika mengetahui duina yang sebenarnya.

Itu sungguh kurasakan. Walau pengetahuanku hanyalah setitik dari segumpil debu. Sangat secuil.

Aku menangisi yang kucintai. Seperti menangisi kekasihku yang mulai terluka, terkoyak dihadapan.

Awal mula aku mengira kesakitannya adalah sebab dari orang lain. Maka aku gencar beranggapan dengan kritik di kepala bahwa mereka sangat berdosa. Mereka telah menyakiti kekasihku yang juga adalah hamba Allah.

Tatkala tersadar bahwa akupun turut andil dalam melukainya. Aku menyesal dan malu. Aku lah yang terparah karena sudah menghakimi yang lain tanpa berkaca lebih dulu. Aku hakim berpenampilan terburuk dalam catatan sejarah pengadilan ruang hatiku sendiri.

Inilah malam ganjil, sekaligus pembuka hari jum'at di minggu akhir Ramadhan 1435H.

Banyak yang i'tikaf, tak sedikit juga yang mudik. Tapi seberapa yang masih harus sibuk menyiapkan administrasi kampus sepertiku? Entah.
Maka aku iri pada mereka yg berduaan dengan Allah di masjid masjid.

Aku belum memaknai tarawihku. Tapi setelah kubaca beberapa berita baru. Hatiku mencelos. Aku merasa sangat bersalah.

Yaa Rabb... Indonesiaku kenapa?
Saudara muslimku kenapa?
Aku kemana saja?

Ayaj Edi yang dengan lembut menjawab pertanyaan dan kritik saudara muslim lainnya.
Ayalet dengan strategi politik sekuler zionisnya.
Agama baru yang diresmikan Kemenag.
Israel dan pandangannya tentang urgensi pendidikan.
Mahasiswa calon guru dengan kubangan politik advokasi sosial pendidikannya.
Isu seragam sekolah jakarta.
Perpolitikan yang sangat runyam (aku enggan memikirkan ini lagi)

Ada apa?
Apa yang kami lewatkan dalam mengartikan cinta-Mu yang begitu luas?

Aku telah gombal. Bilang mencintai-Mu tapi usahaku belum imbang dengan cinta hangat tahi ayam ini.
Pengetahuan yang ada dalam genggamanku, entah menjadi bencana atau anugerah. Penggarisku entah dimana.

Ramadhan ini..  sungguh.. Kau membuka mataku hingga yang keluar adalah air.

Engkaulah Ar Rahman, Ar rahim, Al Malik,

Yaa Sami', Yaa Bashir, kau tahu betul kegelisahan ini.
Aku sedang sendiri di kamar. Padahal tidak! Engkau selalu menjadi partisipan pelengkap dalam segala keberadaan ciptaan-Mu.

Al Qur'an adalah pedoman, Muhammad sang rasulullah adalah teladan,
Tak ada yang disampaikan oleh islam selain kedamaian. Rahmat seluruh alam.

Astaghfirullah...

Jumat, 11 Juli 2014

Siap(a)kah kau?


Siapakah kau wahai diri, berani memisahkan urusanmu dengan izin dan ridho-Nya?

Apakah sebab kau wahai hati, tergagu tergugu terbata menjawab "man rabbuka?"

Dimana vertikal melingkupi dan terjaga talinya, disanalah jua horizontal kuat melintang.
Pembacaan pmaknaan yang benar untuk urusan horizontalmu, itulah yang mampu menjadi keselamatanmu dalam memahami hikmah dan menarik kesyukuran dalam setiap cerita lakonmu.

Siapkah kau wahai hati,menjaga diri hanya bisa bermula dari segumpal darah, yaitu kau?

Kamis, 03 Juli 2014

Penelitian

bismillah...

Penelitian adalah salah satu konsekuensi penerimaan ilmu pada seorang insan disamping menyampaikan dan menerapkan. Semester 8 pada umumnya adalah semester penelitian bagi mereka yang menasibkan diri mereka dengan label sebagai mahasiswa calon sarjana. Setelah tiga setengah tahun menjalankan proses perkuliahan yang kurang lebih sama dengan masa SMA, (karena yang berbeda hanya konten dan administrasi serta regulasinya saja), maka di 6 bulan pada semester 8 adalah masa - masa mendapatkan dosen pembimbing, pemilihan judul, pembacaan jurnal, pembacaan buku - buku serius (karena sebelumnya lbh banyak lembaran potocopyan yang akhirnya jado candaan atau hilang tersisih terlupakan), serta doa dan keruwetan penerimaan ilmu baru dan pembacaan kait jaring - jaring pengetahuan yang sama sekali baru dikecap di enam bulan tersebut. Entah, bisa jadi yang anda rasakan tidak sama dengan saya, tapi kurang lebih begitulah saya mendeskripsikannya.
Di semester - semester sebelumnya mungkin juga diisi kegiatan yang sama. Tetapi bedanya adalah, niat dan tingkat keseriusannya.
Niat selama 7 semester sebelumnya tidak bisa dibohongi adalah nilai dahulu barulah ilmu. Kecuali bagi mereka yang alhamdulillah dapat berkesadaran di tengah jalan karena tak sengaja membaca artikel, buku, atau obrolan yang mencerahkan. Bahwa proses pembelajaran lebih penting daripada hasil di KHS.
Penelitian ini ternyata tidak bisa suka - suka hati karena ada tanggungjawab dalam setiap pilihan. Termasuk pilihan jurusan. Tidak sedikit yang mengalami kegalauan tentang minat bakat mereka saat tengah memakan bangku kuliah. Itulah salah satu masalahnya. Ketika persoalan dan titik jaring pengetahuan baru lebih terang ketika di bangku akhir. Bukan karena penelitian semata, namun karena diri lebih dituntut untuk mengukur baju do badan, memantaskan diri dengan penelitian yang akan dilakukan.
Persoalan lebih terang seiring dengan kejelasan pengetahuan. Pengetahuan dituntut lebih banyak drpada biasa karena penelitian di semester delapan. Jadi, bisa jadi keterangan pemikiran adalah akibat ulah penelitian serius pertama dan terkahir mahasiswa calon sarjana semester delapan karena tuntutannya untuk lebih serius membaca jejaring, lebih dari biasanya.
Penelitian yang dilakukan mahasiswa tidak dapat dipungkiri mendapat batasan dari kekuasaan di atasnya seperti dosen, birokrasi, administrasi, dan segala keterbatasan lainnya.

Saya dan 2 teman sempat mencicipi takjil masjid cilangkap. Kami kuyup karena menerabas hujan tanpa jas hujan dan saya tanpa helm walau dengan jaket. Kami berangkat dari cibubur menuju cipayung, pondok gede, dan rawamangun. Sore itu kami berkesempatan memaknai kembali perjuangan yang tengah dilakukan. Rezeki akan datang pada waktunya.
Hujan dan dingin yang tersisa ketika kami terpisah mungkin menjadi curahan doa dan harapan kami yang bisa jadi berbeda - beda.

Penelitian ini. Aah.. kenapa baru muncul di saat akhir di waktu yang begitu singkat. Mungkin mereka lupa, ini adalah penelitian serius yang pertama dan terakhir yang mereka perkenalkan. Saya membawa diri saya kembali saat menjadi mahasiswa baru. Pertanyaan pertama yang kami teman sekelas dapati adalah "kenapa kamu memilih jurusan ini? Oke, berapa banyak karya sastra inggris yang lamu tahu?"
Di semester tujuh, pertanyaannya tak jauh berbeda
"berapa banyak buku yang pernah kamu baca?"

We are not making any important pervasive progress right? Isn't it?

Yaa Maulanaa....
Mengapa ilmu terpisah dengan kehidupan kini? Aku berangkat mencari waktu situasi kondisi suasan demi skripsi tapi itu sekaligus harus berbenturang dengan kendala sehari - hari yang belum mampu kutangani. Inilah keterpisahan itu. Aku banyak membaca tapi mandul brrtindak. Laku dan pikiran belum sejalan. Adakah guna kesadaran ini?
Saya hanya setitik dari miliaran insan di bumi. Entah berapa banyak dan berapa perbedaan kisah pembelajar di seluruh penjuru bumi, khususnya nusantara.

Ilmu, Adab, Amal, -al ghazali
Education is not preparation of life, education is life itself -john. Dewey

Senin, 30 Juni 2014

Shaff terdepan

Bismillah...

Shaff terdepan adalah panutan. Makmum adalah masyarakat, imam adalah pemimpinnya. Maka shaff depan senantiasa adalah teladan bagi shaff belakangnya. Shaff depan adalah siapa saja yang lebih dulu mau dan tergugah hatinya untuk menempati posisi tersebut dan memperoleh keberkahan - keberkahan.

Saya ada sedikit pengalaman soal keprotokoleran tepat satu tahun yang lalu. Protokol adalah penyambutan tamu - tamu. Awalnya saya pikir segala peraturan yang ada hanyalah untuk kesopanan saja sebagai tuan rumah. Ternyata tidak. Dengan peraturan yang memiliki undang - undang, keprotokoleran menjadi penting dalam hubungan politik antar negara. Salah satu yang menjadi tata pengaturan dalam keprotokoleran tamu negara adalah posisi masing - masing delegasi selama suatu acara berlangsung.

Tempat duduk diatur sedemikian rupa agar tamu tamu negara  menempati posisi pada tempatnya. Tempat yang paling terhormat adalah untuk mereka yang terlebih dahulu atau paling lama dalam sejarah menyerahkan credential letter kenegaraan.
Akan berbeda lagi jika perwakilan atau CDA (charge d'affair) tidak memiliki pasangan (spouse). Jadi, ada atau tidaknya pendamping, akan mempengaruhi pengaturan tempat duduk. Itu padahal baru membahas masalah teknis. Belum soal kerjasama antar negara. Yang ingin saya tekankan adalah bagaimana suatu kehormatan dan kepercayaan antar negara kemudian mempengaruhi letak tempat duduk. Bak percaturan dan peperangan.

Yang mengagetkan adalah, pada shalat besar (fardhu kifayah), shaff pun diatur oleh keprotokoleran. Entah bagaimana pembahasan tentang hal tersebut dalam fiqih shalat. Apakah kehormatan seseorang di dunia juga mesti disamakan dengan kehormatan versi manusia bahkan dalam urusan hendak menghadap Tuhannya ketika shalat?

Lain lagi shaff terdepan dimata saya.
Mengapa trdpt keutamaan2 dlm shaff terdepan? karena
Pertama, orang2 yg mnempati posisi depan ini adalah teladan bagi shaff dibelakangnya. Dan keistiqomahan shaff depan menjadi tanggungan shaff smpai belakang karena bila tempat didepan kosong, akan mempengaruhi perpindahan hingga belakang...

Ketika iqamah berkumandang, tentu sangat merepotkan bukan jika terjadi penataan dan perpindahan secara masif hingga ke ujung shaff paling akhir?
Itulah mengapa pemahaman fiqih dan adab terutama untuk perintah wajib adalah wajib pula untuk kita ketahui dan pahami.

Perkara kehormatan dan tempat atau posisi rasanya sangat menghantui saya di saat bulan Ramadhan. Yaitu ketika banyak sekali ditemukan anak - anak menempati posisi terdepan. Mereka akan sangat menenangkan bila menjadi contoh teladan anak lainnya bahwa shaff terdepan menyimpan banyak kemuliaan. Namun, sungguh sangat mengganggu makna dan esensi shaff depan bagi barisan umat. Anak yang belum baligh, belum bisa dikatakan berilmu, maka sama saja dengan hukum bila seorang gila shalat yaitu tidak wajib.

Ternyata saya menemukan dalilnya untuk perkara anak kecil di shaff terdepan, yaitu

"Hendaklah orang yang di belakangku orang yang paling berilmu dan yang paling pandai di antara kalian" HR Muslim, 432 dari Abdullah bin Mas'ud
(Dikutip dari Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Halal dan haram dalam islam.)

Jelas bahwa ilmu dan kepandaian adalah yang utama dalam menempati shaff terdepan. Dan juga pastilah orang berilmu yang mengetahui banyak sekali manfaat dan keutamaan menempati posisi tersebut. Ilmu yang sesungguhnya bukanlah gelar - gelar serta prestasi melimpah dalam cabang ilmu dunia seperti saat ini. Ilmu yang dikatakan cahaya terutama adalah ketika seseorang mengkaji ilmu dalam qur'an, hadits, adab dan fiqih. Sehingga dalam beribadah, seseorang tersebut paham hendak menempatkan sesuatu dalam porsi yang baik dan benar. Tepat.

Tapi bukan berarti kemudian usia mempengaruhi kehormatan seseorang dalam beribadah shalat sesuai shaff. Karena sungguh kembali ke ilmu

"Barangsiapa  mendahului menuju sebuah mata air yang belum di dahului seorang muslim pun, maka ia lebih berhak terhadapnya" HR Abu Dawud, 3071 dari Asmar bin Mi'ras. Ahmad, 21868 dari Tsauban

Ada hal - hal yang harus diseimbangkan antara malu dengan rendah diri atau percaya diri dengan ke ge-eran. Jika seseorang mengklaim dirinyalah yang lebih berhak dari yang lainnya atas suatu posisi (secara berlebihan), ia telah kehilangan hak tersebut karena kesadarannya. Dan juga sebaliknya, jika malu dalam mengerjakan kebaikan, berarto dia telah memberi kesempatan pada anak kecil yang kurang ilmu menempati posisi shaff depan. Sehingga dalam melaksanakan shalat berjamaah, bukan hanya shaff di belakang anak kecil tersebur yang terganggu, melainkan juga seluruh jamaah yang mendengar gangguan atau menangkap gangguan secara visual.

Rapatkan barisan, sehingga instruksi dari komunikasi aba - aba imam terhantarkan ke seluruh jamaah dengan baik. Tidak ada lagi miskomunikasi.

Keprotokoleran cukup terjadi pada sistem pemerintahan. Jangan sampai berlaku di masjid - masjid. Kembalikan penyatuan ilmu dengan adab.

Minggu, 08 Juni 2014

kuat-lembut


Bismillah..
Dalam sebuah cerita, ada masa dimana sang aktor menelungkupkan tangan pada wajahnya. Itu bias jadi adalah pengucapan untuk penyesalan atau syukur.
Baru saja kusaksikan, seseorang yang menulis benar – benar dengan hatinya. Ada juga yang beraksi dengan niatannya. Hatinya teguh karena yang dia kenal hanyalah keberanian menyampaikan kebenaran dan keteguhan. Orang – orang yang begini, kusarankan agar kau rajin – rajin mengamati mereka. Belajar dari mereka. Yang kusyukuri lebih jauh adalah mereka pantas menjadi imam. Tidak seperti seorang ikhwan yang meyakinkan saya berkali – kali untuk memegang suatu jabatan karena meyakini dirinya tak layak.
Justru, saya menyerang dia habis – habisan hanya lewat beberapa percakapan. Seharusnyalah laki – laki merenggut taring mereka yang hilang. Feminisme muncul karena mereka, sepatutnyalah dihilangkan oleh mereka jua. Jangan menjadi yang lemah. Jangan ragu menjadi imam.
Jika perempuan lebih tangguh dalam suatu kondisi, itu adalah atas izin-Nya sebagai pembuka mata dan pengetuk pintu hati bagi setiap laki – laki yang masih berada pada zona nyaman mereka. Kemudian jika jiwa perempuan tangguh ini mulai merasa lebih tangguh, perasaan itu bias muncul karena pembiaran dari laki – lakinya. Ragu – ragu dalam mengucap bacaan aba –aba gerakan shalat.
Porsi perempuan dalam sebuah pergerakan adalah pendamping. Ia duduk sempurna ketika berada disana. Karena yang memiliki tabiat ketegasan, penanaman, ada dalam sosok mudzakkir atau maskulin. Perempuan dengan segala perasaan kepekaan dan prasangkanya, baiknya tidak terlalu sering maju menjadi perisai. Ia paling baik dalam penjagaan formasi dan pemerhati koreografi inti gerakan.

Tulisan ini belum disempurnakan. Terinspirasi dari sebuah blog seorang calon imam yang tulisannya mempesona dan juga penggalan – penggalan kenangan yang masih disimpan tentang imam yang baik yang pernah memimpin (takbir tegas dan keras).

Kamar ibu, 2.05 pm (sedang dikejar deadline bab4)

Kamis, 08 Mei 2014

embun segar dalam hujan letih




Ini pertama kalinya saya mendapat amanah sebagai staff seksi acara sebuah pelatihan. 3 hari tidak dapat begitu saja dikatakan sebagai 'acara'. Pelatihan, seharusnya. Semuanya bekerja keras, semuanya berusaha mengemban amanah dengan sebaik - baiknya.. Agar meyakini benar - benar bahwa peluh kami saat itu bukan lantas tenggelam dalam kubang kesia - siaan. Bukan sekedar membuang waktu yang sangat berharga.

Acara tersebut adalah GESTURE (Get Spirit through Adventure)

Pembicara terakhir pada hari sabtu itu adalah seorang Ustad yang berdomisili tak jauh dari Bogor. Padahal sudah waktunya untuk Materi berikutnya dari Ustad tersebut, namun belum datang juga. Setelah d hubungi, Ustad mengaku terlambat karena hujan besar yang memang saat itu sedang mengguyur deras daerah sekitar Puncak, Bogor.

Dua jam lamanya kami menunggu kedatangan Ustad. Jujur, hati saya agak kesal karena leterlambatan pembicara. Namun, setelah teman saya menjelaskan bahwa Ustadnya memang seorang tuna daksa, hati saya mencelos. Berbalik arah, “Bagaimana beliau akan kemari? Perlukah kami jemput?” terlambat. Saya sudah terlanjur bersu’udzon pada beliau. Astaghfirullah... Teman saya menyahut “gausah, beliau dianter sama temennya”. Huff, lega,, batin saya. “Naik motor tapi”. Waduh! Hujan besar, naik motor dengan keterbatasannya.. pantas saja L

Ditengah suara hujan yang setia menyapa atap aula, Ustad yang ditunggu telah datang. Dengan pakaiannya yang basah, beliau tersenyum memandang kami, berlalu menuju ruang istirahat sementara diatas punggung temannya. Ia harus di gendong. Kuhela nafas, seulas senyum kagum pada sosok Ustad ini. Dari Cibubur sampai Cisarua bukanlah waktu yang singkat. Mengingat hari itu adalah hari sabtu, dimana kemacetan merajalela. Dan tak lupa, deras titik air yang memang setia jatuh di kota hujan ini.

Sang Ustad memulai pembukaan Materi Quantum Ikhlas. Materi yang cukup berat untuk saya, maka, saya sangat bersyukur dapat menyimak setiap apa yang Ustad bicarakan mengenai Quantum Ikhlas ini.

Keikhlasan hati, menjadi sulit untuk dideskripsikan dan diteksi. Padahal, ikhlas atau tidaknya suatu hati hanyalah diri kita pribadi dan Allah yang mengetahuinya. Sebagai contoh, dalam peristiwa pertengkaran yang menyebabkan kematian salah satu pihak. Belum tentu pihak yang membunuh lah yang akan masuk ke neraka. Kenapa? Karena seandainya si terbunuh tidak meninggal, siapa tahu dia akan membunuh juga atau tidak. Apapun yang tampak dari luar, seringkali tidaklah sama dengan yang ada pada niat dalam hatinya.

Ada perbedaan tipis antara riya’ dan rendah hati. Menyarungkan pedang saat terjadi peperangan karena merasa rendah diri, dan hatinya tak ingin bila ada orang yang melihat ia membawa pedang, termasuk sifat riya’. Kenapa? Karena mengusung pedang dihadapan orang kafir bukanlah hal yang berdosa dan perlu kita sembunyikan. Ada pula kasus dimana saat seorang ulama yang sedang tilawah Qur’an tiba – tiba menyembunyikan mushaf nya saat mendapat tamu dalam rumahnya. Ia merasa tak perlu ada orang lain yang tahu saat ia mengaji. Itu adalah sifatnya yang rendah hati.

Contoh lainnya adalah, seseorang yang merasa malu bila terlihat sedang pergi ke Masjid untuk shalat berjamaah, atau menyegerakan shalat. Itu adalah riya’. Mengapa merasa malu untuk sebuah kebenaran? Kecuali orang tersebut memang masih meragukan mana yang benar dan mana yang salah.

Yang terpenting adalah, ikuti kata hati pada hal – hal yang kita yakini benar adanya. Menjadi tuli juga diperlukan disaat kita butuh mendengarkan sugesti positif dari sekitar dan membuang sugesti negative yang dituangkan lingkungan. Semoga bermanfaat J