Rabu, 20 Januari 2016

Mau Masuk Sosial Media, Mas?


Aku berjilbab, 22 th, tinggi 145 cm, massa 46 kg, seorang miopi dengan minus 1.5 untuk mata kanan dan 2 untuk mata kiri, sendirian menunggu Kopaja 502 yang lewat Jalan Kebon Sirih. Ketika itu sekitar pukul 20.00 WIB lewat.


Karena pernah memiliki pengalaman dimarahi orang rumah akibat tidak memberi kabar lokasi keberadaan dalam perjalanan pulang, maka aku sesekali mengeluarkan hand phone untuk mengecek baterai dan whats app.


Kopaja yang datang kemudian setelah aku menunggu cukup lama memiliki sorot lampu yang redup bahkan bisa saja disebut padam. Kondisi lampu di dalamnya pun sama saja, gelap. Dalam kondisi cahaya yang seperti itu, penumpang kopaja tersebut memang tidak banyak. Bisa saja sekitar tujuh orang yang masuk bebas memilih tempat duduk di mana saja yang masih kosong.


Dengan santai kupilih kursi di seberang pintu keluar sebelah depan. Kutempati tempat itu seorang diri di sebelah luar. Hand phone yang ku isi dayanya dengan menggunakan power bank kusimpan di kantung bagian bawah luar tas ranselku. Kantung bagian itu memang tidak menggunakan ritsleting melainkan menggunakan busa rekat. Ketika asyik mengamati, kuperhatikan ada satu kernet tambahan yang baru saja naik menjelang Tugu Tani.


Lama-lama, seiring berjalannya waktu, bangku-bangku yang kosong pun mulai terisi. Ketika aku beranjak berdiri hendak turun di tujuan, seseorang di seberang samping ikut berdiri mendahuluiku. Seperti hendak lebih dulu turun. Kami agak bertubrukan depan belakang beberapa detik akibat ulah supir. Dan dalam keremangan akhirnya aku menyadari ada sesuatu yang menghubungkan antara tasku dengan tasnya. Tasku kugendong di sebelah depan sedangkan tasnya diletakkan di belakang.


Tanpa kaca mata dan dalam keremangan kupegang benda tersebut yang seolah mirip seutas benang. Ternyata itu adalah kabel. Kabel power bank. Kenapa kah ia menggantung ke luar? Kutelusuri kabel tersebut dan voila! Putus. Tidak terhubung pada apapun. Maka kutelusuri lagi pangkal yang satunya dan kutemukan power bank di sana. Masih dalam satu wadah mestinya aku bisa merasakan keberadaan hand phone ku tapi nihil. Penemuan kabel, penelusuran, dan pencarian hape hanya berjalan beberapa detik saja sampai ku tepuk pundak seseorang di depanku tersebut.


“Mas, maaf, boleh duduk sebentar? Hape saya enggak ada.” Tanyaku.


Ia mengaku tidak tahu-menahu di mana keberadaan hapeku. Namun protesnya tidak keras, seperti demokratis. Maka kulanjutkan untuk menginterogasinya sambil mengumpulkan ketenangan.


“Bu, mohon jadi saksi saya, ya. Kabel ini tadi saya temukan di luar tas dalam keadaan menggantung tanpa ada hand phone-nya.” Kataku tegas dan memohon kepada dua-tiga ibu-ibu yang duduk di belakang ku.


Seorang ibu mengiyakan dan mendukung kecurigaanku dengan mengatakan menjadi saksi bahwa tangan orang itu memang ke mana-mana.


Sudah kubilang kan tinggiku hanya 145 cm? sedangkan ia adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk dan lebih tinggi dari aku. Bagaimana caranya untuk menggeledahnya (orang itu masih saja menurut ketika ku meminta izinnya untuk menahan tas dan jaketnya untuk kuperiksa)? Maka, kuputuskan untuk melibatkan warga penumpang kopaja entah untuk menjadi saksi atau untuk menjadi rekanku dalam penggeledahan.


Ketika ku bertanya adakah yang bersedia untuk menggeledah? Semua diam. Sebenarnya aku mengharapkan bantuan kernet untuk kooperatif. Karena ini kan busnya. Sesekali juga kupandang kernet utama serta supir yang hanya sesekali menengok ke arahku.


Seorang kernet yang baru saja naik justru mengatakan bahwa tidak mungkin ada pencopetan di sana. Oke, baiklah. Ku pandang lekat-lekat mata orang itu. Alisnya tebal dan bertaut namun sorot matanya tampak agak takut. Jika dia benar, pasti sorot matanya tidak akan seperti itu. Kukatakan bahwa aku akan mengajaknya turun ke polsek terdekat yaitu polsek matraman untuk penggeledahan. Karena dengan kondisiku yang sendirian tanpa dukungan bantuan fisik, aku membutuhkan pertolongan walaupun hanya sekedar penggeledahan. Penting karena ini menyangkut siapa yang bicara benar dan siapa yang bicara bohong.


Orang tersebut tetap diam dan membela diri dengan meracau opsi kemungkinan lain atas raibnya handphoneku.


“Mungkin jatuh sewaktu Mbak duduk.” Ujarnya.


Maka aku bilang itu tidak mungkin karena kutemukan kabelnya keluar dan menegang ke depan dan ketika ku tarik, hand phonenya yang raib.


Ajaib. Ia mengeluarkan hand phoneku dari sebelah kanannya dan mengatakan itu ia temukan dalam kondisi terjatuh. Ketika ku perhatikan memang itu hand phone ku. Dengan cepat untuk menghindari fitnah atasku, aku mengajukan opsi lagi padanya. Ke Polsek Matraman untuk tes sidik jari, masuk sosial media, atau mengakui perbuatannya. Kutekankan pada opsi mengenai sosial media. Aku membayangkan betapa menakutkannya opsi itu karena beberapa hand phone menyorotkan lampu senternya ke arah kami. Seramkah ketika mendapatkan suasa tetangga, adik, kakak, orang tua mengetahui wajah dan perilaku kriminal memalui media sosial? Ya. Itu seram di zaman candu teknologi seperti ini.


Ia tetap bungkam dan memandang lurus ke depan. Dengan perasaan berkecamuk, sedih, iba, marah, ku katakan sekali lagi pada matanya dengan nada halus meminta kepercayaan. Aku akan memaafkannya jika ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Karena aku masih berharap sosok kebaikan dari dirinya. Dia tetap bungkan dan memandang lurus ke depan. Oke, ku katakan dengan tegas dengan perasaan kecewa. Baiklah, kita ketemu saja ya nanti di akhirat untuk masing-masing memberi kesaksian yang sebenarnya.


Maka kugenggam erat hand phone dan kuteriakkan password agar kopaja berhenti dan meminggir ke kiri. Ketika aku turun, bocah pengamen yang sebelumnya sempat kuberikan receh ikutan turun dan menyapa serta mengajakku bercakap-cakap sedikit.


Setengah gemetar aku merasa sangat senang karena sempat memiliki teman mengobrol menceritakan yang baru saja terjadi. Dan ku lihat bocah pengamen itu mengobrol sambil tersenyum.


Apakah aku kapok naik kendaraan umum? Tidak. Karena dibalik semua rencana jahat yang mungkin saja terjadi, masih ada kemungkinan lain, dan selalu ada kesempatan untuk mendapatkan secuplik hal-hal baik dari sana.


Mau Masuk Sosial Media, Mas?


Aku berjilbab, 22 th, tinggi 145 cm, massa 46 kg, seorang miopi dengan minus 1.5 untuk mata kanan dan 2 untuk mata kiri, sendirian menunggu Kopaja 502 yang lewat Jalan Kebon Sirih. Ketika itu sekitar pukul 20.00 WIB lewat.


Karena pernah memiliki pengalaman dimarahi orang rumah akibat tidak memberi kabar lokasi keberadaan dalam perjalanan pulang, maka aku sesekali mengeluarkan hand phone untuk mengecek baterai dan whats app.


Kopaja yang datang kemudian setelah aku menunggu cukup lama memiliki sorot lampu yang redup bahkan bisa saja disebut padam. Kondisi lampu di dalamnya pun sama saja, gelap. Dalam kondisi cahaya yang seperti itu, penumpang kopaja tersebut memang tidak banyak. Bisa saja sekitar tujuh orang yang masuk bebas memilih tempat duduk di mana saja yang masih kosong.


Dengan santai kupilih kursi di seberang pintu keluar sebelah depan. Kutempati tempat itu seorang diri di sebelah luar. Hand phone yang ku isi dayanya dengan menggunakan power bank kusimpan di kantung bagian bawah luar tas ranselku. Kantung bagian itu memang tidak menggunakan ritsleting melainkan menggunakan busa rekat. Ketika asyik mengamati, kuperhatikan ada satu kernet tambahan yang baru saja naik menjelang Tugu Tani.


Lama-lama, seiring berjalannya waktu, bangku-bangku yang kosong pun mulai terisi. Ketika aku beranjak berdiri hendak turun di tujuan, seseorang di seberang samping ikut berdiri mendahuluiku. Seperti hendak lebih dulu turun. Kami agak bertubrukan depan belakang beberapa detik akibat ulah supir. Dan dalam keremangan akhirnya aku menyadari ada sesuatu yang menghubungkan antara tasku dengan tasnya. Tasku kugendong di sebelah depan sedangkan tasnya diletakkan di belakang.


Tanpa kaca mata dan dalam keremangan kupegang benda tersebut yang seolah mirip seutas benang. Ternyata itu adalah kabel. Kabel power bank. Kenapa kah ia menggantung ke luar? Kutelusuri kabel tersebut dan voila! Putus. Tidak terhubung pada apapun. Maka kutelusuri lagi pangkal yang satunya dan kutemukan power bank di sana. Masih dalam satu wadah mestinya aku bisa merasakan keberadaan hand phone ku tapi nihil. Penemuan kabel, penelusuran, dan pencarian hape hanya berjalan beberapa detik saja sampai ku tepuk pundak seseorang di depanku tersebut.


“Mas, maaf, boleh duduk sebentar? Hape saya enggak ada.” Tanyaku.


Ia mengaku tidak tahu-menahu di mana keberadaan hapeku. Namun protesnya tidak keras, seperti demokratis. Maka kulanjutkan untuk menginterogasinya sambil mengumpulkan ketenangan.


“Bu, mohon jadi saksi saya, ya. Kabel ini tadi saya temukan di luar tas dalam keadaan menggantung tanpa ada hand phone-nya.” Kataku tegas dan memohon kepada dua-tiga ibu-ibu yang duduk di belakang ku.


Seorang ibu mengiyakan dan mendukung kecurigaanku dengan mengatakan menjadi saksi bahwa tangan orang itu memang ke mana-mana.


Sudah kubilang kan tinggiku hanya 145 cm? sedangkan ia adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk dan lebih tinggi dari aku. Bagaimana caranya untuk menggeledahnya (orang itu masih saja menurut ketika ku meminta izinnya untuk menahan tas dan jaketnya untuk kuperiksa)? Maka, kuputuskan untuk melibatkan warga penumpang kopaja entah untuk menjadi saksi atau untuk menjadi rekanku dalam penggeledahan.


Ketika ku bertanya adakah yang bersedia untuk menggeledah? Semua diam. Sebenarnya aku mengharapkan bantuan kernet untuk kooperatif. Karena ini kan busnya. Sesekali juga kupandang kernet utama serta supir yang hanya sesekali menengok ke arahku.


Seorang kernet yang baru saja naik justru mengatakan bahwa tidak mungkin ada pencopetan di sana. Oke, baiklah. Ku pandang lekat-lekat mata orang itu. Alisnya tebal dan bertaut namun sorot matanya tampak agak takut. Jika dia benar, pasti sorot matanya tidak akan seperti itu. Kukatakan bahwa aku akan mengajaknya turun ke polsek terdekat yaitu polsek matraman untuk penggeledahan. Karena dengan kondisiku yang sendirian tanpa dukungan bantuan fisik, aku membutuhkan pertolongan walaupun hanya sekedar penggeledahan. Penting karena ini menyangkut siapa yang bicara benar dan siapa yang bicara bohong.


Orang tersebut tetap diam dan membela diri dengan meracau opsi kemungkinan lain atas raibnya handphoneku.


“Mungkin jatuh sewaktu Mbak duduk.” Ujarnya.


Maka aku bilang itu tidak mungkin karena kutemukan kabelnya keluar dan menegang ke depan dan ketika ku tarik, hand phonenya yang raib.


Ajaib. Ia mengeluarkan hand phoneku dari sebelah kanannya dan mengatakan itu ia temukan dalam kondisi terjatuh. Ketika ku perhatikan memang itu hand phone ku. Dengan cepat untuk menghindari fitnah atasku, aku mengajukan opsi lagi padanya. Ke Polsek Matraman untuk tes sidik jari, masuk sosial media, atau mengakui perbuatannya. Kutekankan pada opsi mengenai sosial media. Aku membayangkan betapa menakutkannya opsi itu karena beberapa hand phone menyorotkan lampu senternya ke arah kami. Seramkah ketika mendapatkan suasa tetangga, adik, kakak, orang tua mengetahui wajah dan perilaku kriminal memalui media sosial? Ya. Itu seram di zaman candu teknologi seperti ini.


Ia tetap bungkam dan memandang lurus ke depan. Dengan perasaan berkecamuk, sedih, iba, marah, ku katakan sekali lagi pada matanya dengan nada halus meminta kepercayaan. Aku akan memaafkannya jika ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Karena aku masih berharap sosok kebaikan dari dirinya. Dia tetap bungkan dan memandang lurus ke depan. Oke, ku katakan dengan tegas dengan perasaan kecewa. Baiklah, kita ketemu saja ya nanti di akhirat untuk masing-masing memberi kesaksian yang sebenarnya.


Maka kugenggam erat hand phone dan kuteriakkan password agar kopaja berhenti dan meminggir ke kiri. Ketika aku turun, bocah pengamen yang sebelumnya sempat kuberikan receh ikutan turun dan menyapa serta mengajakku bercakap-cakap sedikit.


Setengah gemetar aku merasa sangat senang karena sempat memiliki teman mengobrol menceritakan yang baru saja terjadi. Dan ku lihat bocah pengamen itu mengobrol sambil tersenyum.


Apakah aku kapok naik kendaraan umum? Tidak. Karena dibalik semua rencana jahat yang mungkin saja terjadi, masih ada kemungkinan lain, dan selalu ada kesempatan untuk mendapatkan secuplik hal-hal baik dari sana.


Rabu, 13 Januari 2016

Orang Berpayung

Percikan air yang jatuh satu-persatu di telapak tangan saya menyadarkan bahwa betapa pun kesalnya saya pada dingin yang menggigit, pada pak supir yang lambat sekali melaju kendaraannya, juga kepada sesuatu yang sempatsaya tangkap ketika sampai di pasar klender.

Seorang perempuan turun dari sebuah mobil membawa payungnya yang setengah terbuka. Mobil tersebut berhenti di dekat pintu pagar pasar namun tidak menepi. Akibat dari perbuatan si supir mobil tersebut, beberapa kendaraan, termasuk yang sedang saya tumpangi berhenti sejenak. Rasa sayang kita kepada sesuatu selain diri kita bisa jadi belum tentu selalu menjadi kebaikan atau keuntungan bagi yang lain. Saya percaya si supir mobil pasti juga mementingkan kepentingan kawannya yang baru saja turun. Agar lebih mudah menuju jalan keluar dari pasar, maka ia diturunkan di pagar yang jebol dan memiliki dataran lebih tinggi agar lebih rendah pula genangan air yang menutupi setapak tersebut,

Tangan saya masih terus saja memutih dan mengkerut. Kecepatan si supir masih saja sama, agaknya saya taksir di bawah 20 km/jam. Memasuki kawasan jatinegara kaum, saya memaksa otak yang ada pada saya untuk memikirkan apa yang bisa dipetik sebagai hikmah dalam suasana yang begini? Grateful is everything. Ms. Brightside, apa saja hikmah yang terserak dan belum sempat dikumpulkan?

Satu, air yang tumpah ruah menyapa Jakarta kali ini merupakan suatu wujud kasih sayang-Nya kepada keluhan seorang ibu di suatu pulau di gugusan kepulauan seribu. Ibu tersebut tanpa sengaja membuatkan kopi rasa asin untuk suami terkasihnya. Tak dinyana, air R.O (reverse osmosis) yang dibelinya ternyata masih saja memiliki kandungan mineral garam, Di hari lain, ia mengaku tetap merawat kebun hidroponiknya meski harus menginvestasikan uang lebih untuk dialokasikan membeli R.O untuk tanaman-tanamannya. Biasanya ia bisa mengginakan air hujan yang ditampung untuk menjadi air baku. Namun, el nino yang panjang tahun ini membuat ia tidak bisa menadah hujan lagi. Tadah hujan menjadi sesuatu yang menimbulkan gurat ragu di alis setiap kaum ibu kala itu.

Masih saja dengan memandangi butiran air yang jatuh, Jakarta, Bandung, Jogja, dan daerah Indonesia yang lainnya begitu dalam kerinduannya kepada hujan, kepada petrichor, kepada abu-abunya awan yang bergumpal, kepada angin yang menyejukkan, juga mungkin kepada kesempatan lain untuk lebih dalam menggumamkan do'a, mengumandangkan syukur dan memanjatkan pinta.

Orang berpayung.
Payung adalah suatu benda yang melindungi kepala, bagian
Seseorang yang terbiasa berjalan di bawah hujan pasti tahu ada dua hal yang saya pikirkan, yaitu ketika payung seseorang berpapasan dengan payung milik orang lain dan bagaimana orang dalam kendaraan memperlakukan orang berpayung.

Tidak seperti ketika kita berjalan di bawah terangnya cuaca. Dengan berpayung, seseorang membutuhkan  space lebih sesuai dengan diameter atap payung yang digunakan. Ketika satu oramg berpayung menjalankan peran dan fungsi sosialnya dengan orang berpayung yang lain, maka, kita mestinya lebih peka dalam berinteraksi. Berapa banyak orang yang bersepakat untuk menjaga dan melindungi interaksi yang terbangun di tengah hujan tersebut? Saiapakah yang akan merendahkan posisi ketinggian payungnya terlebih dahulu agar jalanan yang mungkin saja sempit dan terbatas untuk dilalui oleh dua orang berpayung bisa cukup untuk dilewati?

Jawabannya mungkin saja kita.


Lalu bagaimana pula sikap orang dalam kendaraan memperlakukan orang berpayung yang mesti melalui beragam jenis genangan air dengan beraneka ketinggian lubangnya? Dalam rintik hujan, bisa jadi siapa saja merasa terburu-buru untuk menunaikan urusannya, Tapi tidak menutup juga kemungkinan lain bahwa ada yang menikmati dan bersyukur dengan kehadiran hujan yang menyela aktivitasnya. Kita, seberapa jauh kita termenung memandangi apa-apa saja yang terjaid ketika hujan turun selain menghayati kenangan dan lamunan pribadi?

Senin, 11 Januari 2016

Kelemayar

Pandanganku terpaku pada kepala tengkorak putih yang menggantung di sudut atap rumah sebekah kanan. Sejurus dengan tatapan tersebut terpaku pada sebuah gubuk yang berdiri tegak di atas kolam ikan. Tempatku berdiri kini juga merupakan sebuah rumah yang dibangun di atas sebuah kolam ikan,. Konon katanya, dalam proses pembuatannya, dibutuhkan banyak seklai batang bambu dengan kualitas baik sebagai fondasi. Kata Ibu, rumah gubuk di seberang kami tersebut belum lama dibangun, Tengkorak kepala yang mengayun-ayun karena ditiup angin tersebut kembali membawa fokusku semula. Bahwa udara malam itu memang dingin dan kegelapan yang mengepung memang merupakan sebuah gelap yang siap bercerita, Cerita-cerita seram dan mistis yang berseliweran diantara kami sedari tadi kemabli mengiang sepotong demi sepotong.

Entahlah, bagaimana pun kami ketakutan dengan makhluk astral, aku pribadi meyakini bahwa apa yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada-Nya, Semuanya secara sadar dan tidak sadar memang ilaihi roji'uun, pulan dan kembali kepada-Nya.

Maka, kulantunkan dengan pelan sebuah ayat kursi untuk mengembalikan fokus bahwa hanya Ia yang Maha Besar, Malikinnas, Ilahinnas. Kemudian kami bergegas untuk meninggalkan rumah tersebut untuk beranjak menuju ke tempat yang lain.

Sembari menunggu dua orang lagi yan gmasih mempersiapkan sesuatu sebelum mengunci pintu, kami yang sudah berada di luar rumah berbincang sedikit mengenai cuaca dan suasana desa, salah satunya adalah tentang kunang-kunang. Ayahku konon tidak pernah melihat binatang tersebut lagi setelah dulu saat dia memasuki pendidkan sekolah lanjutan perwira dimana diharuskan untuk berjalan kaki sendirian berselang 30 menit dengan teman di depan dan belakangnya. Diterangi cahaya rembulan dan bau kemenyang yang sengaja disebar oleh para senior, Ayahku mengaku melihat kunang-kunang. Binatang yang belum pernah kulihat secara langsung seumur hidupku. Perlukah kuberi tahu kepadamu bahwa aku berumur 22 tahun kini. Tentang kunang-kunang itu hanya baru kuketahui lewat film, video klip, dan komik.

Seseorang di antara kami berseru bahwa ia melihat kunang-kunang sambil menunjuk ke suatu tempat. Persis di sana. kulihat kerlipannya. Ia sendirian. Masih saja setengah percaya bahwa yang kami saksikan itu benar merupakan seekor kunang-kunang, aku masih saja berpikir bahwa mungkin saja itu sesuatu yang lain, misalnya fluoroscent, atau sianr laser seseorang diantara kami yang iseng.

Sontak, sesorang diantara kami bergegas dan menghampiri tempat kunang-kuangn tersebut hinggap dan bersembunyi-sembunyi tepat di bawah tempatku asyik mengamati kepala tengkorak. Pak Untung nyatanya berhasil menangkap kunang-kunang tersebut meskipun kami semua, termasuk aku, pesimis bahwa kunang-kunang itu masih berada di tempat ia hinggap, sebuah pilar fondasi tepat di sudut dimana si tengkorak bergelantungan,

Pak Untung membawanya kepada kami dengan menulungkupkan kedua tangannya, persis seperti Mitsuhiko dalam komik Conan yang sedanga sibuk menyimpan seekor kunang-kunang untuk diperlihatkan kepada teman-temannya di sekolah.

Gerakanku nyatanya kurang sigap untuk mendokumentasikan detik-detik terbangnya si kunang-kunang. Entah foto atau video yang kuharapkan. Terlambat. Begitu kuletakkan mataku lekat-lekat pada tangan Pak Untung, tangannya membuka dan menunjukkan seekor binatang seperti lalat yang memiliki ekor bercahaya,m yang memang menerangi sekitar telapak tangan Pak Untung, dan kemudian terbang mendarat di pipiku sebelum ia akhirnya terbang lagi menjauh dan hinggap di permukaan air kolam dimana gubug tua yang kuoandangi semula berada.

assalamu'alaikum. Nice to meet you lighting bug.


Meskipun tidak sedikti orang yang berkata bahwa kunang-kunang merupakan kuku orang yan gmeninggal, aku masih akan tetap menganggap bahwa ia juga makhluk. Terlepas benar atau tidaknya desas-desus tersebut, ia tetap makhluk Allah. Sesederhana itu saja aku ingin memahaminya tanpa perlu ada tendensi ketakutan-ketakutan yang lain.