Sabtu, 27 September 2014

Jejaring


Sampah adalah sesuatu yang senantiasa melekat dengan kehidupan setiap makhluk hidup. Seiring dengan kodratnya bahwa makhluk hidup memiliki kebutuhan mendasar yang kemudian menghasilkan sampah. Saya membayangkan mungkin ketika kebutuhan manusia sangat – sangat diaktakan mendasar adalah ketika masa manusia belum memiliki akal yang sempurna, sebut saja pada masa manusia purba. Manusia purba yang hidup dengan berkoloni juga telah memiliki sampah, ambil contoh sampah kerang yang menggunung yang ditemukan di Indonesia terkenal dengan sebutan Kjokken Modinger. Kemudia, seiring dengan dianugerahinya akal pikiran pada manusia, maka cara hidup dan mempertahankan diri manusia mengalami perkembangan seiring waktu.

Bumi tempat makhluk hidup kini berpijak kemudian mengalami berkali – kali perubahan pada wajahnya. Manusia dengan segala akal pikirannya menggunakan ilmu yang sejatinya adalah cahaya untuk menemukan jalan kebenaran kemudian jadi berkembang untuk memenuhi keegoan perkembangan pemikirannya sendiri tentang konsep hidup dunia dan kematian. Muncullah kemudian pemikiran – pemikiran yang mengembangkan kebutuhan pokok manusia menjadi kebutuhan pelengkap. Lalu apa yang disebut dengan kebutuhan definisinya mengalami perubahan dan jumlahnya jadi bertambah berkali – kali lipat.

Manusia dan kebutuhan kemudian akan selalu menghasilkan dampak atau efek atas penggunaan dari segala kebutuhan. Hal yang tidak pernah berubah sejak kelompok manusia memulai pergerakan cara hidupnya adalah adanya sampah atas konsekuensi penggunaan kebutuhan. Organisasi dunia kemudian memunculkan demografi perkembangan populasi penduduk, pemetaan terhadap pendidikan kesehatan kesejahteraan kebersihan dan lain – lain pun dipetakan. Alibi tujuannya adalah: demi mendapatkan format bumi dan kehidupannya yang lebih baik. Jumlah sampah kemudian juga menjadi pembahasan sebagai dampak peningkatan populasi makhluk hidup di muka bumi. Peningkatan sampah yang tak terkontrol terutama di Negara – Negara yang belum tersejahterakan (penyebutan yang lebih baik ketimbang berkembang, mundur, apalagi terbelakang)

Sampah baik rumah tangga maupun industry kemudian menjadi hal yang sangat membahayakan dan sifatnya urgensi. Menurut Pak Prakoso, penggagas Bank Sampah Malaka Sari, samaph rumah tangga yang berdiam di sudut halaman dalam beberapa saja sudah mampu mengeluarkan gas karbon monoksida yang zat tersebut diketahui sama dengan yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor berbahan bakar solar. Itu merupakan racun. 

Belum lagi konflik pembuangan limbah sampah berstatus B3 dari Negara lain yang diselundupkan ke bumi nusantara. Maka lengkaplah bahwa sampah merupakan hal yang sangat berbahaya dari hari ke hari jika dibiarkan. Pada suatu forum yang menyuarakan penurunan populasi manusia, dikatakan bahwa peningkatan sampah adalah karena kurangnya pengetahuan dan saran pengolahan di masyarkat Negara mundur. Dan peningkatan sampah berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk. Maka solusi untuk menyelamatkan bumi adalah mengurangi jumlah penduduk dengan control jumlah anak dalam keluarga. Saya pribadi daripada memprioritaskan gagasan tersebut justru lebih memilih pencerdasan secara massif tentang sampah dan pengelolaannya daripada harus menempuh jalur instan tapi tidak mengakar dan menurunkan budi serta pendidikan karakter kebersihan yang baik.

Pengelolaan sampah kemudian menjadi penting disamping cerita yang telah saya paparkan di atas (mengenai hubungan sampah dengan populasi penduduk) adalah karena sampah memiliki banyak potensi untuk disulap dari barang tidak berguna atau bahkan merugikan menjadi bahan pendapatan rezeki dan peningkatan kemakmuran masyarakat. 

Jika  institusi sekolah kini sedang mendapat serangan gencar dengan tudingan sebagai pelaku kejahatan mematikan kreativitas anak bangsa, maka di harapkan kreativitas akan berkembang dengan pesat melalui pengelolaan barang sampah. Masyarakat Indonesia (kalangan bawah hingga menengah khususnya) dapat mengeksplorasi kemampuan diri dalam berkarya seni dan berwirausaha justru dengan stimulus ketidakberdayaan ekonomi sekaligus kewajiban untuk menjaga lingkungan agar bersih dan sehat untuk ditinggali.

Kesadaran yang menghampiri pemikiran seseorang tidak pernah lepas dari pengetahuan. Sedangkan pengetahuan hanya bisa didapatkan jika Allah menghendakinya lewat kemampuan ‘membaca’ sekitar. Dan yang paling besar potensinya untuk dapat dan mampu membaca adalah kalangan menengah. Salah satunya adalah pemuda – pemuda yang dapat mencicip bangku perguruan tinggi. Dengan tahu maka sadar, dengan sadar maka bergerak. Maka gagasan dan suara mengenai kebesihan dan sampah sebenarnya sudah tidak asing di kalangan pemuda. Kecuali pemuda yang hidup dalam ketebatasan dimana waktu tenaga dan pikirannya sudah kadung disibukkan dengan tuntutan kebutuhan yang makin bertambah jumlahnya serta membingungkan. Mengaburkan konsep kehidupan yang sesungguhnya sehingga lupa apa sebenarnya tujuan dari kehidupan kalau bukan bersiap untuk menyambut kematian.

Sebagai Negara dengan penduduk Islam terbesar, Indonesia melalui pemudanya yang berkesadaran untuk menjadi relawan gerakan hidup bersih dan kreatif saya harap dapat mewujudkn bangsa yang sadar secara penuh makna keindahan dan ibadah dalam menjaga kebersihan. Pengumpulan relawan adalah sebuah gerakan kecil tapi sarat makna yang megetuk suara hati siapa saja yang sesungguhnya gundah dan mencari ikatan bervisi serupa. Menguatkan simpulnya untuk bergerak dalam keyakinan bahwa visi dan misi mereka adalah baik serta demi manfaat sekelilingnya.

Sebuah awal mula yang menyatukan suara si pendiam untuk bisa bergerak maju dengan lantang karena kebersamaan dalam nait baik adalah kekuatan.


10 September 2014

Rabu, 24 September 2014

Laut pun Enggan Menelan


Jika saya bisa hadir ke acara tersebut dengan cara yang baik, maka saya juga mestinya hanya bisa pulang dengan cara yang sama seperti saya pergi. 

Bismillah… 

Usai sudah pelatihan relawan GERBANG yang dihelat selama dua hari (18 – 20 September) oleh panitia: SPKP SAMO – SAMO dan Variabel Bebas. Kertas harapan yang dibagikan panitia begitu memasuki meja registrasi di hari pertama tidak sempat saya kumpulkan, maka saya tuliskan disini. Harapan saya ketika berangkat adalah saya dapat menularkan pengetahuan, pengalaman dan semangat merengkuh pengelolaan sampah – sampah mulai dari sampah yang berasal dari kita sendiri pada anggota keluarga di rumah, tetangga, dan teman – teman nyata maupun maya. Seperti halnya sebuah kesadaran yang sampai pada seseorang, sebesar kesadaran itulah yang kemudian harus juga ditularkan kepada kawan - kawan manusia lainnya (idealnya). 

Saya percaya hanya atas izin-Nya lah yang kemudian menggariskan saya mampu hadir secara utuh dalam mengikuti rangkaian agenda pelatihan. Lima orang dari Variabel Bebas yang lolos hasil seleksi tulisan oleh panitia adalah Saya, Tiara, Chintya, Abul, dan Mariyadi. Kami berlima berangkat pada kamis pagi bersama Karyadi (UNJ), Yola(UNJ), Dini (UIN), dan Lia (UIN). Syukur kemudian menghiasi ketika memandang menghadap dan merasai besarnya kekuasaan Ia yang jiwa saya dalam genggaman-Nya lewat salah satu ciptaan terbesarnya di bumi: lautan. Ini benar – benar hanya sedikit dari bocorannya surga. Tebusan setimpal atas hawa memabukkan terombang ambing seperti ayunan mau putus yang ditanggung kami sebagai penumpang di dek bawah . 

Pelatihan relawan pegelolaan sampah botol plastik ini tentunya berfokus pada sampah. Sampah yang sering dijadikan permasalahan dan fokus orang – orang ternyata berasal dari kita sendiri. Saya benar – benar mencatat itu dalam hati ketika malam penutupan pembacaan puisi oleh Karyadi dan juga ketika perjalanan pulang. Saya sengaja duduk di balkon lantai dua kapal kayu sepanjang perjalanan hanya untuk mengamati lautan. Maha Besar Allah yang menciptakan lautan beserta segala isinya. Ombak rasanya terus menerus berdizikir dengan nada dan kesyahduan yang berganti – ganti. Dari penuh harap, menjadi cinta, menyimpan rahasia, malu tapi tenang, kemudian wajahnya serasa muram menahan emosi tertahan menginterogasi botol – botol plastik bekas minuman manusia yang mengembara sendirian di tengah lautan. Seolah laut tak pernah mengizinkannya menyatu ke dasarnya. Plastik memang takkan pernah diterima dengan pelukan terbuka oleh laut, laut konsisten menjaga perasaannya itu. Plastik tak pernah menyatu, dalam jangka waktu tertentu ia memecah diri kecil – kecil untuk kemudian sering menipu biota laut yang ada. Hubungan emosional antara laut dan plastik tersebut hanya disebabkan oleh kita, manusia. 

pengamatan sekilas perjalanan pulang, saya menemukan bahwa barisan sampah hanya ditemukan ketika kapal tengah dekat dengan sebuah pulau. Tandanya, sampah hanya ada pada tempat dimana terdapat aktivitas manusia di dalamnya. Rasanya campur aduk, lebih mual dan miris ketimbang terombang – ambing mencicip kapal kayu kali pertama ketika menyaksikan sungguh kontras warna air dalam perjalanan pulang Pulau Pramuka – Muara Angke. Biru turquoise menjadi biru laut kemudian menjadi biru tua lalu di saat tertentu menjadi hijau toska lalu menjadi hijau cincau lalu hijau tua kemudian menjadi hijau kehitaman lalu hitam dengan sampah yang banyak mengapung. 

Muara Angke, suatu tempat dimana warga kepulauan menyebutnya sebagai Darat. Sumber darimana barang – barang kebutuhan pokok diperoleh. Semestinya, jika pedagang warga kepulauan menyaksikan selama ini betapa kontrasnya warna air, mereka akan terketuk hatinya untuk menjaga pulau mereka dari menjadi muara angke. Dan kesadaran itu lebih besar diperoleh oleh kaum tua dari pedagang dan juga kaum muda terpelajar masyarakat kepualauan. 

Pelajaran yang dapat saya ambil adalah fakta bahwa masih adanya jarak antara label keilmuwan dengan kondisi permasalahan masyarakat. Sunggguh, sematan identitas sebagai pelajar mahasiswa terkadang sangat mengganggu dan hanya menjadikan jarak. Mungkin itu adalah konsekuensi dari system pendidikan nasional yang membedakan urusan ilmu pengetahuan dengan kehidupan. Begitulah akibatnya dari sesuatu yang sesungguhnya adalah alat dan bekal mengarungi kehidupan justru dalam perkembangannya lewat tangan – tangan dzalim penguasa digolongkan menjadi barang yang potensial untuk masuk pasar. Keuntungan dan uang dibungkus menjadi satu – satunya penolong agar selamat dalam menjalani kehidupan yang Cuma setetes dari jari di tengah lautan. Tri Dharma perguruan tinggi juga sering melupakan pengabdian masyarakat. Dianggapnya tri Dharma ketiga tersebut dapat ditutupi dengan balutan KKN yang cuma beberapa waktu saja. Jika tak ada KKN maka PKL pun jadi diartikan sebagai pengabdian. 

Sesuatu yang akhirnya saya ketahui dari agenda satu frame dengan relawan perwakilan pulau - pulau besar adalah pentingnya memahami medan atau kondisi social yang berlaku ketika berada dalam lingkungan tertentu. Akan menjadi tidak tepat ketika saya belajar konsep pengelolaan sampah berbekal pengetahuan permasalahan dan dampak yang terjadi di darat saja. Ternyata permasalahan dan dampak dari sampah yang tak terkelola dengan baik di kepualauan berbeda dengan yang di daratan. Masyarakat kepulauan memiliki kedekatan permasalahan tentang air tawar atau air bersih, jumlah dan kualitas tangkapan ikan, serta sektor pariwisata yang digencarkan pemerintah pusat maupun daerah. Semua tidak jauh dari pembahasan mengenai system perekonomian dan pendapatan masyarakat. 

Secara umum, pelatihan sangat menarik karena mencoba menghadirkan tokoh – tokoh inspiratif yang bergerak dalam konservasi lingkungan. Selain sisipan materi yang bersifat ilmiah, juga disisipkan praktik langsung membuat media tanam yang baik dan penggalian kreativitas mengubah barang sampah menjadi barang layak jual. Peserta yang didominasi masyarakat tua memang lebih senang dan betah berlama – lama pada sesi praktik langsung. Apresiasi untuk acara pelatihan relawan sampah. 

Namun dalam membuka kesadaran yang coba diungkapkan dengan bahasa akademis, rasanya tidak terlalu mengena dan membuka pemikiran. Justru lebih menyentuh dan mengetuk dengan kencang ketika komunikasi dilakukan tanpa microphone seperti yang terjalin saat FGD di malam kedua. Pembacaan puisi juga mampu menyapa hati siapapun yang mendengar. Hadir dalam jelmaan audio mengucapkan salam dan mematri lagi kesadaran bahwa di tangan manusia lah kebaikan dan kehancuran bumi ini nantinya. Efek dari pembacaan puisi juga mampu membuat kebanyakan peserta berdiam mencoba mendengar dan meresapi betapa seharusnya tak berjarak antara aktivitas manusia dengan Rabb sang Khalik. Sampah juga adalah ciptan-Nya. Dan kita manusia adalah makhluk yang dipercaya untuk mampu memimpin bumi beserta isinya. 

Tiara juga mengatakan bahwa relawan dari kaum muda dapat belajar dan mereguk ilmu dari relawan kaum tua untuk bagaimana menularkan kesadaran dan pemahaman ini pada anak – anak sebagai pembekalan di hari nanti. Karena seruan kebaikan dalam keluarga akan lebih mudah dilakukan ketika posisi sudah menyandang status sebagai orangtua. Dan kaum muda memiliki kekuatan untuk menularkannya pada teman – teman sesama kaum muda. Karena Indonesia memiliki banyak sekali kaum muda, sama seperti sampah, segala yang berlebihan dapa tmenjadi musibah atau anugerah tergantung pada tangan pengelolanya. 

Ario Salaka dari Sangga Buana juga mengatakan bahwa pedoman yang ia lakukan selama bergelut di bidang konservasi lingkungan adalah bukan bagaimana menjadikan sesuatu sebagai tujuan. Tapi tujuannya adalah bagaimana segala sesuatunya dapat berubah menjadi manfaat. 

Yang juga penting dengan pelatihan relawan sampah adalah terjalinnya persaudaraan. Suatu poin yang disebutkan oleh tim REGER (Relawan Gerbang) sebagai salahs satu langkah dalam merealisasikan impian adalah: Cari Teman Sevisi. 

Pelatihan kemarin seperti menghubungkan variabel – variabel lainnya untuk kemudian bisa bergerak bersama mentransformasikan harapan menjadi kenyataan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap variabel yang berkumpul kemarin adalah manusia - manusia yang mencoba ingin kembali menjadi manusia yang memanusia. Memperbaiki diri dari hal terkecil dan sering terlupakan: sampah. Sebagai akar dari upaya menjalani kehidupan yang bersih dan sehat sebagaimana eratnya umat islam dengan syarat sah shalat: wudhu.

Minggu, 14 September 2014

Merdeka Sekali Lagi

Bismillah..


Sejak Bung Karno membacakan teks proklamasi pertama kalinya, berarti sudah berlalu 69 tahun yang lalu. 25184 dikurangi kira – kira 17 kali kabisat, jadi 25167 hari telah berlalu. Perhitungan yang saya gunakan adalah tahun secara umum, Masehi. Tapi bukan berarti yang umum adalah yang terbaik, karena kini kebaikan dan kebenaran makin mudah dikaburkan di atas usum atau yang sedang jamannya, yang berarti mengikuti arus dominasi adalah yang akan dianggap normal dan juga benar.

69 tahun atau 25.167 hari umur Negara Indonesia, jika Indonesia adalah makhluk manusia, mungkin ia adalah insan yang kira – kira siap menyongsong panggilan kematiannya. Ia adalah seorang tua yang kerap mengulang – ulang kisah lama karena tidak ada atau minim sekali kisah baru untuk di ukir. Ia adalah seorang sepuh yang sudah tak memiliki daya tarik secara fisik, khususnya bagian yang sering dieksploitasi oleh pihak di luar dirinya.

Menghadapi integrasi kerjasama regional ASEAN, Indonesiaku gembar – gembor sedang mempersiapkannya juga. Jadilah masing – masing sektor merasa dirinyalah yang harus diistimewakan dan diprioritaskan. Semua bersuara senada, berebut anggaran negara. Padahal pendapatan Negara dari pajak juga sudah diperah untuk jatah menutup hutang Negara yang sangat banyak.

Di hari ulang tahun yang ke 69, seluruh masyarakat Indonesia tampak masih berhias diri merayakannya. Perayaan ini saya lihat makin menjadi sekedar penghias hari saja. Beban kewajiban rasa nasionalisme sudah ditunaikan asal pejabat tingkat RT sudah menyelenggarakan lomba kecil – kecilan di kalangan warga. Seperti biasa, sesuatu yang dilakukan hanya karena kebiasaan akan sering kehilangan kesadaran untuk memaknai ketika menjalankannya. 17 agustus pada tahun 2014 jatuh pada hari minggu. Maka, terasa tidak ada beda dari hari – hari biasanya. Sangat biasa.

Akhirnya saya bilang, bahwa kita merayakan pembacaan proklamasi oleh Bung Karno pada 69 tahun yang lalu. Kita bukan merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 69. Jika makna kemerdekaan adalah pembacaan proklamasi, maka sungguh, berarti kita masih terjajah sampai saat ini. Masih tampak keterjajahan dari seremonial yang karang taruna lakukan di beberapa tempat bagian Indonesia. Menengadahkan tangan di jalanan umum untuk mendapat dana demi menyelenggarakan lomba. Kenapa untuk sekedar memaknai kemerdekaan kita harus mengeluarkan uang? Dari orang lain pula. Apakah untuk sekedar menghayati sejarah kita membutuhkan hadiah – hadiah di ujung pohon pinang? Padahal hadiah tersebut juga ada pula yang merupakan produk dari luar negeri. Saya sungguh masih ragu, apakah rasa kecintaan tanah air dan kesediaan menjaga seluruh titipan Ilahi di bumi Indonesia bisa dibangkitkan kembali di hari raya kemerdekaan jika seremonial yang dilakukan saudara setanah air terus – terusan begitu formatnya?

Kemerdekaan mengingatkan saya pada syair Joko Penthil. Lagu mainan dari tanah Jawa tersebut memiliki makna yang dalam perihal kronologi suatu negeri menjelang kehancuran. Poin yang ingin saya ambil adalah "Joko Penthil tela telo". Yang dimaknai oleh Emha dalam Markesot Bertutur adalah; seorang pemimpin yang masih menetek (bergantung) pada pihak lain merupakan salah satu faktor kehacuran negeri yang dipimpinnya. Suatu pertanda keterjajahan karena belum mampu untuk mandiri secara paripurna dalam memimpin. Sedangkan konsep kepemimpinan adalah bagaimana ia memimpin, rakyatnya juga merupakan refleksi dari kedzaliman atau kebaikannya. Ketika kita sendiri sebagai rakyat juga tidak menyadari urgensi untuk menjadi mandiri baik secara finansial (seperti ilustrasi karang taruna yang menyiapkan lomba 17an di atas) atau dalam bergerak, kita tak akan pernah menjadi merdeka seutuhnya. 

Terserah mau berapa kali teks proklamasi dibacakan dengan lantang, tetapi jika pemuda pemudi kita esok harinya masih ada yang menyatakan dengan terang – terangan untuk berpindah kewarganegaraan, sungguh, kita masih belum sadar bahwa kita telah terjajah pada bagian paling penting: pikiran. Karena penjajahan terbaik adalah ketika yang terjajah tidak menyadari keterjajahannya.

Sebutan Indonesia sendiri menurut Ahmad Yunus dalam Meraba Indonesia awal mulanya juga dibuat oleh duo penulis jurnal dan peneliti dari dunia bagian barat. Mereka gencar menyebut Hindia Belanda (pada masa itu) sebagai Indonesia. Bisa terlihat bahwa untuk menamai diri kita sendiri, kita menerimanya dari bangsa lain. Jika kita bersatu karena kita mengalami nasib yang sama, itu adalah pertimbangan politis. Agar terrealisasikan dengan cepat karena Indonesia merangkul mereka yang bekas jajahan Belanda pada masa itu. Kesamaan nasib ternyata menjadi pemersatu.

Saya teringat cuplikan “Keberagaman yang luar biasa! Indonesia tidak dapat bersatu tanpa dipersatukan! Bukankah mustahil untuk menyatukan pulau – pulau yang begitu banyak? Tapi nyatanya kita Alhamdulillah bersatu. Kita bersatu karena kita MAU untuk bersatu!” Prof. Winarno  Surakhmad mengatakan dengan lantang dalam Pendidikan Yang Mengindonesiakan. Keberagaman kebudayaan kemudian sering menjadi konflik tersendiri begitu nilai dan warisan budaya ditempatkan pada hal politis berupa hak paten. Karena pada faktanya, Negara tetangga memiliki rumpun kebudayaan dan nilai yang begitu erat dengan kita. Negara dan bangsa. Ada perbedaan antara keduanya: yang satu adalah politik, yang satunya terikat pada manusia dan cara hidupnya. Jadi, bisa dibilang, yang mengkotak – kotakkan kebudayaan dan nilai dalam masyarakat dalam ikatan negara adalah praktik penjajahan. Bisa kita lihat pada akhirnya bagaimana destruktifnya dampak dari praktik penjajahan ini. Akankah kita membiarkan penajajahan terulang kembali?

Tidak peduli apakah orientasi pemerintahan kini ke kubu barat ataukah timur. Selama kita belum mampu menyadari bentuk wajah Indonesia sendiri, kita akan senantiasa didikte oleh yang lain, berusaha mati – matian menjadi yang lain, tidak melihat potensi diri sendiri yang bisa dibanggakan demi mengukuhkan jati diri (potensi bukan untuk jual – beli), lalu bagaimana kita akan merdeka sekali lagi?

Kemerdekaan Indonesia ke 69 , di penghujung hari tuanya, masyarakat Indonesia kerap lebih percaya pada media masa daripada turun sendiri melihat kenyataan yang ada. Kecil sekali mendapat kesempatan untuk menyadari bahwa segala yang disajikan dalam media masa adalah sesuai arahan bapak pemegang saham media swasta dan siapa yang berkuasa. Kita kadung percaya sepenuhnya pada hal instan, maka sudah saatnya kecanduan media masa mesti dikurangi dan difilterisasi penyerapannya. Seperti anak kos yang harus mengurangi porsi konsumsi mie instan. Porsi ketidakberimbangan pemberitaan mengenai nasib saudara sebangsa setanah air perlu mendapatkan pengawasan yang baik oleh masyarakat. Terlebih dari itu, kode etik jurnalistik juga mengatakan bahwa kontrol terbaik adalah dari jurnalisnya sendiri. Tetapi entah bagaimana dilema yang terjadi sehingga jurnalis kadang tergadai prinsipnya ketika berbenturan dengan kebutuhan materi untuk hidup. Media masa kemudian menduduki posisi penting dalam hati masyarakat karena pembentukan karakter dan kebudayaan yang akan muncul dari hasil reproduksi pengetahun lewat media masa akan berpengaruh pada pembenahan mentalitas keterjajahan secara masif yang sedang kita alami dan jalani.

Kembali ke tradisional seperti menulis surat seperti yang sedang digencarkan Indonesia Mengajar juga merupakan salah satu upaya untuk menyebarkan budaya membaca diskusi dan menulis. Sehingga ada suatu berkah dan manfaat yang sangat besar untuk secuil tanah surga dunia yang belum tersentuh frekuensi televisi, radio, apalagi internet. Ketertinggalan bangsa yang ramai dibicarakan semoga akan keluar dari definisi bahwa ketertinggalan adalah ketidak modernnya suatu masyarakat. 

Dalam menghadapi dunia yang akan tanpa sekat, bukan saatnya kita justru menjadi Joko Penthil atau sibuk meniru bangsa lain yang kita anggap maju. Yang diperlukan di usia menjelang sepuh (69) adalah kembali ke jati diri. Sehingga tidak ada lagi bule hunters di kalangan remaja karena tidak bangga dengan Indonesia. Kuatkan identitas bangsa ini agar kita tidak lagi menjadi korban dari upaya industrialisasi dan perdagangan di seluruh sektor pembangunan.

Kemerdekaan yang ke 69 Indonesia sudah selayaknya dibarengi kesadaran bahwa kita belum merdeka secara bathin. Perlu banyak tangan – tangan yang menulis secara tradisional untuk mengabarkan kebenaran ini. Dapatkan kembali identitas kita bermula dari pendalaman kajian – kajian sejarah. Biarkan Indonesia merdeka untuk satu kali lagi. Merdeka yang sebenar – benarnya.

Berikut pesan yang baik sebagai penutup curahan hati saya tentang kemerdekaan Indonesia ke 69:

Pemimpin tak sekedar memimpin masyarakat manusia
Tapi juga memimpin masyarakat makhluk yang luas
Ia memimpin hak – hak binatang, hutan, barang tambang,
Di situlah antara lain terletak kesalahan ideology pembangunan modern yang merusak alam
Bahkan merusak manusia
-Emha Ainun Nadjib