Minggu, 14 September 2014

Merdeka Sekali Lagi

Bismillah..


Sejak Bung Karno membacakan teks proklamasi pertama kalinya, berarti sudah berlalu 69 tahun yang lalu. 25184 dikurangi kira – kira 17 kali kabisat, jadi 25167 hari telah berlalu. Perhitungan yang saya gunakan adalah tahun secara umum, Masehi. Tapi bukan berarti yang umum adalah yang terbaik, karena kini kebaikan dan kebenaran makin mudah dikaburkan di atas usum atau yang sedang jamannya, yang berarti mengikuti arus dominasi adalah yang akan dianggap normal dan juga benar.

69 tahun atau 25.167 hari umur Negara Indonesia, jika Indonesia adalah makhluk manusia, mungkin ia adalah insan yang kira – kira siap menyongsong panggilan kematiannya. Ia adalah seorang tua yang kerap mengulang – ulang kisah lama karena tidak ada atau minim sekali kisah baru untuk di ukir. Ia adalah seorang sepuh yang sudah tak memiliki daya tarik secara fisik, khususnya bagian yang sering dieksploitasi oleh pihak di luar dirinya.

Menghadapi integrasi kerjasama regional ASEAN, Indonesiaku gembar – gembor sedang mempersiapkannya juga. Jadilah masing – masing sektor merasa dirinyalah yang harus diistimewakan dan diprioritaskan. Semua bersuara senada, berebut anggaran negara. Padahal pendapatan Negara dari pajak juga sudah diperah untuk jatah menutup hutang Negara yang sangat banyak.

Di hari ulang tahun yang ke 69, seluruh masyarakat Indonesia tampak masih berhias diri merayakannya. Perayaan ini saya lihat makin menjadi sekedar penghias hari saja. Beban kewajiban rasa nasionalisme sudah ditunaikan asal pejabat tingkat RT sudah menyelenggarakan lomba kecil – kecilan di kalangan warga. Seperti biasa, sesuatu yang dilakukan hanya karena kebiasaan akan sering kehilangan kesadaran untuk memaknai ketika menjalankannya. 17 agustus pada tahun 2014 jatuh pada hari minggu. Maka, terasa tidak ada beda dari hari – hari biasanya. Sangat biasa.

Akhirnya saya bilang, bahwa kita merayakan pembacaan proklamasi oleh Bung Karno pada 69 tahun yang lalu. Kita bukan merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 69. Jika makna kemerdekaan adalah pembacaan proklamasi, maka sungguh, berarti kita masih terjajah sampai saat ini. Masih tampak keterjajahan dari seremonial yang karang taruna lakukan di beberapa tempat bagian Indonesia. Menengadahkan tangan di jalanan umum untuk mendapat dana demi menyelenggarakan lomba. Kenapa untuk sekedar memaknai kemerdekaan kita harus mengeluarkan uang? Dari orang lain pula. Apakah untuk sekedar menghayati sejarah kita membutuhkan hadiah – hadiah di ujung pohon pinang? Padahal hadiah tersebut juga ada pula yang merupakan produk dari luar negeri. Saya sungguh masih ragu, apakah rasa kecintaan tanah air dan kesediaan menjaga seluruh titipan Ilahi di bumi Indonesia bisa dibangkitkan kembali di hari raya kemerdekaan jika seremonial yang dilakukan saudara setanah air terus – terusan begitu formatnya?

Kemerdekaan mengingatkan saya pada syair Joko Penthil. Lagu mainan dari tanah Jawa tersebut memiliki makna yang dalam perihal kronologi suatu negeri menjelang kehancuran. Poin yang ingin saya ambil adalah "Joko Penthil tela telo". Yang dimaknai oleh Emha dalam Markesot Bertutur adalah; seorang pemimpin yang masih menetek (bergantung) pada pihak lain merupakan salah satu faktor kehacuran negeri yang dipimpinnya. Suatu pertanda keterjajahan karena belum mampu untuk mandiri secara paripurna dalam memimpin. Sedangkan konsep kepemimpinan adalah bagaimana ia memimpin, rakyatnya juga merupakan refleksi dari kedzaliman atau kebaikannya. Ketika kita sendiri sebagai rakyat juga tidak menyadari urgensi untuk menjadi mandiri baik secara finansial (seperti ilustrasi karang taruna yang menyiapkan lomba 17an di atas) atau dalam bergerak, kita tak akan pernah menjadi merdeka seutuhnya. 

Terserah mau berapa kali teks proklamasi dibacakan dengan lantang, tetapi jika pemuda pemudi kita esok harinya masih ada yang menyatakan dengan terang – terangan untuk berpindah kewarganegaraan, sungguh, kita masih belum sadar bahwa kita telah terjajah pada bagian paling penting: pikiran. Karena penjajahan terbaik adalah ketika yang terjajah tidak menyadari keterjajahannya.

Sebutan Indonesia sendiri menurut Ahmad Yunus dalam Meraba Indonesia awal mulanya juga dibuat oleh duo penulis jurnal dan peneliti dari dunia bagian barat. Mereka gencar menyebut Hindia Belanda (pada masa itu) sebagai Indonesia. Bisa terlihat bahwa untuk menamai diri kita sendiri, kita menerimanya dari bangsa lain. Jika kita bersatu karena kita mengalami nasib yang sama, itu adalah pertimbangan politis. Agar terrealisasikan dengan cepat karena Indonesia merangkul mereka yang bekas jajahan Belanda pada masa itu. Kesamaan nasib ternyata menjadi pemersatu.

Saya teringat cuplikan “Keberagaman yang luar biasa! Indonesia tidak dapat bersatu tanpa dipersatukan! Bukankah mustahil untuk menyatukan pulau – pulau yang begitu banyak? Tapi nyatanya kita Alhamdulillah bersatu. Kita bersatu karena kita MAU untuk bersatu!” Prof. Winarno  Surakhmad mengatakan dengan lantang dalam Pendidikan Yang Mengindonesiakan. Keberagaman kebudayaan kemudian sering menjadi konflik tersendiri begitu nilai dan warisan budaya ditempatkan pada hal politis berupa hak paten. Karena pada faktanya, Negara tetangga memiliki rumpun kebudayaan dan nilai yang begitu erat dengan kita. Negara dan bangsa. Ada perbedaan antara keduanya: yang satu adalah politik, yang satunya terikat pada manusia dan cara hidupnya. Jadi, bisa dibilang, yang mengkotak – kotakkan kebudayaan dan nilai dalam masyarakat dalam ikatan negara adalah praktik penjajahan. Bisa kita lihat pada akhirnya bagaimana destruktifnya dampak dari praktik penjajahan ini. Akankah kita membiarkan penajajahan terulang kembali?

Tidak peduli apakah orientasi pemerintahan kini ke kubu barat ataukah timur. Selama kita belum mampu menyadari bentuk wajah Indonesia sendiri, kita akan senantiasa didikte oleh yang lain, berusaha mati – matian menjadi yang lain, tidak melihat potensi diri sendiri yang bisa dibanggakan demi mengukuhkan jati diri (potensi bukan untuk jual – beli), lalu bagaimana kita akan merdeka sekali lagi?

Kemerdekaan Indonesia ke 69 , di penghujung hari tuanya, masyarakat Indonesia kerap lebih percaya pada media masa daripada turun sendiri melihat kenyataan yang ada. Kecil sekali mendapat kesempatan untuk menyadari bahwa segala yang disajikan dalam media masa adalah sesuai arahan bapak pemegang saham media swasta dan siapa yang berkuasa. Kita kadung percaya sepenuhnya pada hal instan, maka sudah saatnya kecanduan media masa mesti dikurangi dan difilterisasi penyerapannya. Seperti anak kos yang harus mengurangi porsi konsumsi mie instan. Porsi ketidakberimbangan pemberitaan mengenai nasib saudara sebangsa setanah air perlu mendapatkan pengawasan yang baik oleh masyarakat. Terlebih dari itu, kode etik jurnalistik juga mengatakan bahwa kontrol terbaik adalah dari jurnalisnya sendiri. Tetapi entah bagaimana dilema yang terjadi sehingga jurnalis kadang tergadai prinsipnya ketika berbenturan dengan kebutuhan materi untuk hidup. Media masa kemudian menduduki posisi penting dalam hati masyarakat karena pembentukan karakter dan kebudayaan yang akan muncul dari hasil reproduksi pengetahun lewat media masa akan berpengaruh pada pembenahan mentalitas keterjajahan secara masif yang sedang kita alami dan jalani.

Kembali ke tradisional seperti menulis surat seperti yang sedang digencarkan Indonesia Mengajar juga merupakan salah satu upaya untuk menyebarkan budaya membaca diskusi dan menulis. Sehingga ada suatu berkah dan manfaat yang sangat besar untuk secuil tanah surga dunia yang belum tersentuh frekuensi televisi, radio, apalagi internet. Ketertinggalan bangsa yang ramai dibicarakan semoga akan keluar dari definisi bahwa ketertinggalan adalah ketidak modernnya suatu masyarakat. 

Dalam menghadapi dunia yang akan tanpa sekat, bukan saatnya kita justru menjadi Joko Penthil atau sibuk meniru bangsa lain yang kita anggap maju. Yang diperlukan di usia menjelang sepuh (69) adalah kembali ke jati diri. Sehingga tidak ada lagi bule hunters di kalangan remaja karena tidak bangga dengan Indonesia. Kuatkan identitas bangsa ini agar kita tidak lagi menjadi korban dari upaya industrialisasi dan perdagangan di seluruh sektor pembangunan.

Kemerdekaan yang ke 69 Indonesia sudah selayaknya dibarengi kesadaran bahwa kita belum merdeka secara bathin. Perlu banyak tangan – tangan yang menulis secara tradisional untuk mengabarkan kebenaran ini. Dapatkan kembali identitas kita bermula dari pendalaman kajian – kajian sejarah. Biarkan Indonesia merdeka untuk satu kali lagi. Merdeka yang sebenar – benarnya.

Berikut pesan yang baik sebagai penutup curahan hati saya tentang kemerdekaan Indonesia ke 69:

Pemimpin tak sekedar memimpin masyarakat manusia
Tapi juga memimpin masyarakat makhluk yang luas
Ia memimpin hak – hak binatang, hutan, barang tambang,
Di situlah antara lain terletak kesalahan ideology pembangunan modern yang merusak alam
Bahkan merusak manusia
-Emha Ainun Nadjib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar