Senin, 31 Maret 2014

Idealisme Gie Sunyi






Ada beberapa hal yang saya tangkap setelah menonton film Soe Hok Gie. Salah satunya adalah kesepiannya sebelum mati. Ketika ia tertawa di pagar rumah Ira setelah ditolak ibunya Ira, ia justru tertawa. Tawa yang menyadarkannya bahwa ia sudah kesepian. Gie yang seorang bersuara lantang, kritis, rajin membaca keadaan dan hatinya selalu berkiblat pada rakyat. Titik awal yang membuatnya terjatuh adalah ketika ia justru sibuk dengan pacarnya. Seperti ketika saya menyaksikan fil Soekarno. Buang - buang waktu saja.

Ia seharusnya senantiasa meraptkan diri pada teman- temannya agar pemikirannya terjaga. Bukan hanya suara lantangnya yang kemudian menggaungkan nasib kekosongan seperti ketika ia akan mati. Ia mungkin masih bisa bersama teman - temannya untuk menjalankan aktivitas cita - citanya: kita nonton film dan naik gunung aja, tapi sekali - sekali, kita hantam kesewenangan pemerintah!

baiklah, yang saya lakukan nayatanya hanyalah merutuki apa yang di cover oleh sutradara film. Tidak lebih. Pelajaran menarik yang dapat dipetik adalah, film ini puitis. Saya harus menundukkan kepala demi lebih seksama menangkap apa yang dibunyikan pada tiap - tiap kosakata puisi. Lebih mengena. Imaji saya lebih berwarna daripada yang dapat dinikmati secara visual dari layar.

Gie mencintai sastra. Saya hanya menyukai sepertinya. Gie mahasiswa sastra. Saya  juga. Gie adalah pengamat yang tak ingin tercebur ke dunia politik kotor. Saya cenderung mengadopsi sedikit sifat - sifatnya yang ini.

Sungguh yang terasa kini adalah perbedaan yang mencolok, antara aktivis kampus jaman Gie, dengan aktivis kampus masa kini. Saya sendiri juga jadi malu, tak banyak yang saya baca. Saya juga tak pernah ingin terjun aksi. Bahwa kita harus berpihak pada yang lemah, melindungi kaum lemah dari kesewenang - wenangan, itu sangat benar. Bahwa burung bisa merenggut kebebasan karena belajar terbang, itu nyata.

Tapi ada lagi, menyampaikan kebenaran itu baik. Namun cara juga penting. Maka, untuk hal yang satu ini, Islam mengaturnya dengan pelajaran adab.

Saya menonton Gie, saya dapat membaca bukunya, saya mahasiswa seperti Gie, saya menyukai sastra seperti dia juga. Tapi yang ada kini adalah berbeda. Saya bisa meniru beberapa keteladanan darinya, termasuk dalam berpikir.
#terbawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar