Tepat pada peringatan kemerdekaan Negara
Indonesia di pertengahan Agustus ini adalah juga gencatan senjata
antara Palestina dan Israel. Hal ini membuat saya berpikir bahwa hubungan
Palestina dengan Indonesia semakin erat dari hari ke hari. Bagaimana tidak,
Palestina memiliki andil yang cukup besar sebagai bangsa pertama yang
mengakui kemerdekaan Indonesia 69 tahun silam.
Lewat kacamata hubungan internasional,
yang pertama kali mengakui kemerdekaan sebuah Negara memilki tempat yang sangat
spesial dalam hubungan bilateral. Maka, saudara muslim bagaikan satu tubuh
rasanya benar-benar terjalin kental dan dipraktikkan sebaik-baiknya oleh
Indonesia dan Palestina. Indonesia sering disebut
– sebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pandangan yang
menjadi sorotan utama dimata masyarakat global itu nampaknya perlu
ditransformasikan menjadi negara dengan penduduk paling cinta damai di dunia.
Karena Islam tidak akan pernah terpisah dengan kedamaian, islam adalah cahaya, nuur untuk membimbing apa yang ada dalam
kegelapan
menuju terang, dzulumati ilan nuur serta
rahmatanlilalamin, rahmat
bagi seluruh alam. Maka, bukan hanya bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim, namun juga seluruh alam yang bukan hanya berarti dunia atau
bumi atau sekedar galaksi bima sakti saja, melainkan alam semesta.
Kedamaian yang dibawa
pada beberapa hari saja gencatan senjata perang Gaza bukan hanya berlangsung di
Indonesia dimana
masyarakat sudah melupakan pilihan mereka pada 9 juli lalu dan kemudian terbawa
asyik memenangkan hadiah-hadiah di atas batang pinang lalu berselimut oli
bekas, ternyata sepercik kedamaian juga membelai lembut kebun binatang di Gaza.
Tempat terindah bagi anak-anak Palestina menghibur diri di sela-sela perang dan
tempat bermain diantara kesibukan menghapal Qur’an, tempat dimana mereka dapat
melihat ayat – ayat Allah lewat binatang-binatang dan segala jenis laku di
dalamnya, tempat itu berantakan (kalau tak boleh dikatakan luluh lantak) karena
perang. Babon mengais-ngais tanah mencari makan tak jauh dari bangkai anak-anaknya
yang tewas. Burung merak mati
terkapar di depan singa yang lapar, dan banyak lagi bisa dilihat kehancuran
yang meratakan kebun binatang dengan tanah. Kebanyakan mati karena kelaparan dan
kehausan karena sekitar 15 hari berpuasa tanpa berbuka akibat kedzhaliman yang
terjadi di tanah mereka. Apa alasan Zionis Yahudi mengarahkan roketnya ke kebun
binatang? Sudahlah, perang tak perlu mencipta seribu alasan karena akan lahir
jutaan kebohongan demi kebohongan begitu dusta hati terkatakan dan tak mau atau
mampu meyakini kebenaran. Summun bukmun
umyun laa yarji’uun.
Selama gencatan senjata,
kebun binatang sempat mendapat pasokan air dan beberapa ekor ayam dari wartawan
internasional yang
menyumbang. Masyarakat pejuang Palestina sebagai khalifah di bumi Allah bagian
Palestina tidak berdaya melindungi hak para monyet, singa, buaya, merak dan
kawan-kawan dari roket Israel. Dimanakah PETA?
Apakah organisasi pencinta dan pelindung binatang itu hanya peduli dan berani
atau bahkan mau menyuarakan kecaman-kecaman mereka di media masa atas bulu-bulu
yang dikenakan artis Hollywood saja. Ada perbedaan yang signifikan antara mau
dan mampu.
Kita kembali mengulas
gencatan senjata yang berlangsung hanya beberapa hari saja di pertengahan Agustus
2014 ini. Seorang pemuda Indonesia menyunting gadis Palestina 17 Agustus lalu.
Indah sekali ditengah-tengah konflik berkepanjangan ada yang berikrar mengguncang
‘arsy-Nya dengan janjinya untuk memindahkan tanggungjawab menjaga dan menafkahi
serta mendidik seorang wanita. Jika maskulin identik dengan sifat lelaki yang
sering tampil tergambar sebagai pelindung, pengayom, penolong, dan segala hal
yang bersifat aktif, maka feminin dalam perempuan akan tampil lebih sering
sebagai objek dari sifat di atas. Kalaupun tampil sebagai pelaku, feminin menggambarkan
suatu proses kerja yang sifatnya halus lembut cenderung samar dengan kesetiaan
yang berkepanjangan. Gampangnya adalah penggambaran sosok ayah dan ibu. Pemuda Indonesia
yang menyunting Jena si gadis Palestina, bernama Husen. Pernikahan mereka
seolah menggambarkan sebuah ikatan keluarga lewat membangun rumah tangga dua
insan berbeda latar belakang geografi ini. Husen menyunting Jena seolah
Indonesia yang menyunting Palestina. Indonesia dengan kekuatan lobi Internasionalnya
diharapkan mampu mengubah lirik Michael Hart dalam We Will Not Go Down “while so called leaders of coutries so far, debated
on who’s wrong or right”.
Sebagaimana yang
disampaikan Nasarrudin Umar dalam kolom Tau-Litik, polemik dan konflik itu
memiliki makna berbeda. Polemik muncul ketika beberapa orang berkumpul membahas
suatu gagasan, lalu timbul perbedaan pendapat. Sedangkan konflik muncul dari
beberapa orang yang berbeda pendapat berkumpul untuk membahas suatu gagasan.
Hadits nabi perihal perbedaan pendapat dalam kaum adalah suatu rahmat, bukan
diartikan bahwa perdebatan ada gunanya. Lihat juga
historis dari munculnya hadits tersebut. Menurut beliau, hadits
tersebut muncul karena pada saat itu ayat Qur’an baru akan turun
ketika sahabat nabi membawa suatu permasalahan untuk
diperbincangkan atau dimintai pendapat mengenai pemecahan perkaranya. Melalui
perbedaan pendapat saat itulah akhirnya perbedaan pendapat dinilai sebagai
rahmat.
Bagaimana dengan kini?
Kita bisa menarik hikmah bahwa perbedaan pendapat seharusnya tidak lagi terjadi
ketika kita benar-benar percaya bahwa pedoman ummat manusia sebagai yang dipercaya
untuk menjadi pemimpin pengelola rahmat Allah menjadi berkah, yaitu Al Qur’an
dan Sunnah sudah ada dalam genggaman sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, berapa
banyak yang percaya khususnya di Indonesia? Berapa kadar kepercayaannya? Seberapa
besar kemampuan mengimplementasikannya? Cukup direnungi dan tak usah dijawab, pertanyaan
ini untuk saya sendiri juga.
Indonesia dengan
maskulinitasnya, sebagai Negara merdeka yang masih diberi kesempatan memiliki fasilitas
menyampaikan kebenaran pada masyarakat global, dan Palestina dengan segala
kesabaran kelemahlembutan dan kesetiaan pada janji Allah yang memiliki keterbatasan
fasilitas untuk menunjukkan taring dan cakar di hadapan musuhnya. Hubungan yang
katanya politik ini, padahal karena satu tubuh sebagai saudara muslim, atau
minimal sebagai sesama manusia di muka bumi, semoga dapat erat genggaman tangannya
demi melawan kemunkaran dan membuka mata masyarakat global atas apa yang sesungguhnya
terjadi.
Satu hal yang belakangan
sangat terlambat saya sadari dan yakini, kekuatan Indonesia bukan hanya berada
di punggung menteri luar negeri dan kawan–kawan saja, tapi juga seluruh muslim
Indonesia sebagai duta dan humas yang merepresentasikan umat Muslim di bumi
Allah. Perbaikan itu juga semestinya ada dalam diri kita. Salah satu cara menyuarakan bagaimana islam sesungguhnya dan
membantu Palestina tanpa menunggu menjadi kaya untuk kemudian mengelola media
masa
swasta masyarakat global adalah, menulis sedikit saja pikiran yang
terlintas di kepala. Maka, komunitas bloger UNJ hadir sebagai salah satu media
bagi kita semua (mahasiswa UNJ) yang ingin memperbaiki bersama-sama cara
mengikat ilmu dan cara bersuara tanpa bunyi agar pesan sampai dan konsisten
disampaikan pada mereka siapa saja yang
digariskan Allah untuk menerima pesan demi pesan.
Mari memperbaiki diri ^^