Minggu, 31 Agustus 2014

kLAPERtaart

Bahan:
100gr tepung maizena
100gr gula pasir
100gr margarin
1sdt vanilla essence
60gr keju diparut
Remahan kacang kacangan secukupnya (untuk tabur)
daging 2 butir kelapa muda
1liter susu putih cair

Adonan 1:
masak 750ml susu cair + gula pasir di atas api kecil. Aduk sedikit sedikit. Tunggu sampai mendidih.

Adonan 2:
Campur 4 kuning telur + 250ml susu cair + 100gr tepung maizena

Begitu adonan 1 mendidih, campurkan adonan 2 ke adonan 1 secara bertahap. Tuang essence vanilla.
Aduk terus pelan - pelan. Adonan akan mengental seperti isi kue sus.

Matikan api.

Campur margarin, keju parut, separoh remahan kacang, dan kelapa muda.
Aduk rata.

Tuang di tempat. Hias sesuka hati (bisa dengan keju parut, messes ceres, remahan kacang, atau buah di atasnya)

Simpan di lemari es.


Lalu, air kelapanya baiknya dikemanakan?
Bisa dibuat minuma pendamping.
Hehe

Berada di dapur bagi seorang perempuan, dituntut memainkan dan mengasah feelingnya sebaik mungkin untuk menakar segala bahan agar berharmonisasi, larut dengan bahan lainnya. Belum selesai sampai situ. Perlu juga analisis selera di lidah penghuni rumah. Kemudian, selain selera, juga analisis kesehatan masing2 anggota dalam rumah.

Tetapi, lain hal ceritanya ketika ada dalam lingkup keterbatasan. Segala pertimbangan mesti di pas paskan sesuai situasi dan kondisi. Senjata hanya ada pada menjaga pikiran, hati, dan lisan ketika membuat makanan atau minuman.

Semoga kita semua terlindung dari sikap dzalim terhadap saudara muslim lainnya. Termasuk dalam urusan memenuhi kebutuhan (bukan keinginan) perut.

Rabu, 20 Agustus 2014

Satu Tubuh

Tepat pada peringatan kemerdekaan Negara Indonesia di pertengahan Agustus ini adalah juga gencatan senjata antara Palestina dan Israel. Hal ini membuat saya berpikir bahwa hubungan Palestina dengan Indonesia semakin erat dari hari ke hari. Bagaimana tidak, Palestina memiliki andil yang cukup besar sebagai bangsa pertama yang
mengakui kemerdekaan Indonesia 69 tahun silam.
 

Lewat kacamata hubungan internasional, yang pertama kali mengakui kemerdekaan sebuah Negara memilki tempat yang sangat spesial dalam hubungan bilateral. Maka, saudara muslim bagaikan satu tubuh rasanya benar-benar terjalin kental dan dipraktikkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dan Palestina. Indonesia sering disebut – sebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pandangan yang menjadi sorotan utama dimata masyarakat global itu nampaknya perlu ditransformasikan menjadi negara dengan penduduk paling cinta damai di dunia. Karena Islam tidak akan pernah terpisah dengan kedamaian, islam adalah cahaya, nuur untuk membimbing apa yang ada dalam kegelapan
menuju terang, dzulumati ilan nuur serta rahmatanlilalamin, rahmat
bagi seluruh alam. Maka, bukan hanya bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim, namun juga seluruh alam yang bukan hanya berarti dunia atau bumi atau sekedar galaksi bima sakti saja, melainkan alam semesta.

Kedamaian yang dibawa pada beberapa hari saja gencatan senjata perang Gaza bukan hanya berlangsung di Indonesia dimana
masyarakat sudah melupakan pilihan mereka pada 9 juli lalu dan kemudian terbawa asyik memenangkan hadiah-hadiah di atas batang pinang lalu berselimut oli bekas, ternyata sepercik kedamaian juga membelai lembut kebun binatang di Gaza. Tempat terindah bagi anak-anak Palestina menghibur diri di sela-sela perang dan tempat bermain diantara kesibukan menghapal Qur’an, tempat dimana mereka dapat melihat ayat – ayat Allah lewat binatang-binatang dan segala jenis laku di dalamnya, tempat itu berantakan (kalau tak boleh dikatakan luluh lantak) karena perang. Babon mengais-ngais tanah mencari makan tak jauh dari bangkai anak-anaknya yang tewas. Burung merak mati
terkapar di depan singa yang lapar, dan banyak lagi bisa dilihat kehancuran yang meratakan kebun binatang dengan tanah. Kebanyakan mati karena kelaparan dan kehausan karena sekitar 15 hari berpuasa tanpa berbuka akibat kedzhaliman yang terjadi di tanah mereka. Apa alasan Zionis Yahudi mengarahkan roketnya ke kebun binatang? Sudahlah, perang tak perlu mencipta seribu alasan karena akan lahir jutaan kebohongan demi kebohongan begitu dusta hati terkatakan dan tak mau atau mampu meyakini kebenaran. Summun bukmun umyun laa yarji’uun.

Selama gencatan senjata, kebun binatang sempat mendapat pasokan air dan beberapa ekor ayam dari wartawan internasional yang
menyumbang. Masyarakat pejuang Palestina sebagai khalifah di bumi Allah bagian Palestina tidak berdaya melindungi hak para monyet, singa, buaya, merak dan kawan-kawan dari roket Israel. Dimanakah PETA?
Apakah organisasi pencinta dan pelindung binatang itu hanya peduli dan berani atau bahkan mau menyuarakan kecaman-kecaman mereka di media masa atas bulu-bulu yang dikenakan artis Hollywood saja. Ada perbedaan yang signifikan antara mau dan mampu.

Kita kembali mengulas gencatan senjata yang berlangsung hanya beberapa hari saja di pertengahan Agustus 2014 ini. Seorang pemuda Indonesia menyunting gadis Palestina 17 Agustus lalu. Indah sekali ditengah-tengah konflik berkepanjangan ada yang berikrar mengguncang ‘arsy-Nya dengan janjinya untuk memindahkan tanggungjawab menjaga dan menafkahi serta mendidik seorang wanita. Jika maskulin identik dengan sifat lelaki yang sering tampil tergambar sebagai pelindung, pengayom, penolong, dan segala hal yang bersifat aktif, maka feminin dalam perempuan akan tampil lebih sering sebagai objek dari sifat di atas. Kalaupun tampil sebagai pelaku, feminin menggambarkan suatu proses kerja yang sifatnya halus lembut cenderung samar dengan kesetiaan yang berkepanjangan. Gampangnya adalah penggambaran sosok ayah dan ibu. Pemuda Indonesia yang menyunting Jena si gadis Palestina, bernama Husen. Pernikahan mereka seolah menggambarkan sebuah ikatan keluarga lewat membangun rumah tangga dua insan berbeda latar belakang geografi ini. Husen menyunting Jena seolah Indonesia yang menyunting Palestina. Indonesia dengan kekuatan lobi Internasionalnya diharapkan mampu mengubah lirik Michael Hart dalam We Will Not Go Down “while so called leaders of coutries so far, debated on who’s wrong or right”.

Sebagaimana yang disampaikan Nasarrudin Umar dalam kolom Tau-Litik, polemik dan konflik itu memiliki makna berbeda. Polemik muncul ketika beberapa orang berkumpul membahas suatu gagasan, lalu timbul perbedaan pendapat. Sedangkan konflik muncul dari beberapa orang yang berbeda pendapat berkumpul untuk membahas suatu gagasan. Hadits nabi perihal perbedaan pendapat dalam kaum adalah suatu rahmat, bukan diartikan bahwa perdebatan ada gunanya. Lihat juga
historis dari munculnya hadits tersebut. Menurut beliau, hadits
tersebut muncul karena pada saat itu ayat Qur’an baru akan turun
ketika sahabat nabi membawa suatu permasalahan untuk
diperbincangkan atau dimintai pendapat mengenai pemecahan perkaranya. Melalui perbedaan pendapat saat itulah akhirnya perbedaan pendapat dinilai sebagai rahmat.

Bagaimana dengan kini? Kita bisa menarik hikmah bahwa perbedaan pendapat seharusnya tidak lagi terjadi ketika kita benar-benar percaya bahwa pedoman ummat manusia sebagai yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengelola rahmat Allah menjadi berkah, yaitu Al Qur’an dan Sunnah sudah ada dalam genggaman sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, berapa banyak yang percaya khususnya di Indonesia? Berapa kadar kepercayaannya? Seberapa besar kemampuan mengimplementasikannya? Cukup direnungi dan tak usah dijawab, pertanyaan ini untuk saya sendiri juga.

Indonesia dengan maskulinitasnya, sebagai Negara merdeka yang masih diberi kesempatan memiliki fasilitas menyampaikan kebenaran pada masyarakat global, dan Palestina dengan segala kesabaran kelemahlembutan dan kesetiaan pada janji Allah yang memiliki keterbatasan fasilitas untuk menunjukkan taring dan cakar di hadapan musuhnya. Hubungan yang katanya politik ini, padahal karena satu tubuh sebagai saudara muslim, atau minimal sebagai sesama manusia di muka bumi, semoga dapat erat genggaman tangannya demi melawan kemunkaran dan membuka mata masyarakat global atas apa yang sesungguhnya terjadi.

Satu hal yang belakangan sangat terlambat saya sadari dan yakini, kekuatan Indonesia bukan hanya berada di punggung menteri luar negeri dan kawan–kawan saja, tapi juga seluruh muslim Indonesia sebagai duta dan humas yang merepresentasikan umat Muslim di bumi Allah. Perbaikan itu juga semestinya ada dalam diri kita. Salah satu cara menyuarakan bagaimana islam sesungguhnya dan membantu Palestina tanpa menunggu menjadi kaya untuk kemudian mengelola media masa
swasta masyarakat global adalah, menulis sedikit saja pikiran yang
terlintas di kepala. Maka, komunitas bloger UNJ hadir sebagai salah satu media bagi kita semua (mahasiswa UNJ) yang ingin memperbaiki bersama-sama cara mengikat ilmu dan cara bersuara tanpa bunyi agar pesan sampai dan konsisten disampaikan pada mereka siapa saja yang
digariskan Allah untuk menerima pesan demi pesan.

Mari memperbaiki diri ^^

Kamis, 07 Agustus 2014

Kebiasaan Merayakan Kelupaan.


Raya itu identik dengan pesta pora.
mungkin juga sudah pasti diartikan
begitu. Harusnya diri tau, layakkah
berpesta pora sedang diri belum
memenangi suatu apapun dalam
sebulan pelatihan? merayakan kan
artinya ada sesuatu yang diraih
atau dimenangi bukan?

semangat menyambut pesta
poranya, tapi lupa melihat kembali,
apakah diri menang dalam
peperangan menaklukkan diri?
jadi.. budayanya yang berlaku /
diberlakukan saat ini adalah lupa
perang tapi semangat merayakan.

Jadi seperti berpesta pora
merayakan kelupaan tentang perang
melawan apa dan bagaimana hasil
perang, juga mau apa setelah
perang.

sebegitunyakah kita membutuhkan
hiburan atau perayaan demi
mengisi hari - hari yang
menyulitkan? Hingga entertainment
menghadirkan diri nyaris setiap
saat dalam televisi dengan kedok
sebagai 'kebutuhan'.

dikira kita tak bisa tertawa selain
dari tekevisi mungkin?

hem perang masih berlanjut.
Perang terbesar dalam sejarah
kehidupan adalah prrang melawan
hawa nafsu sendiri tentunya.
*asah senjata

Daun Jati Meranggas


Apa yang biasa kita rindukan dari
sebuah pohon kalau bukan
daunnya?

Kerindangan dan warnanya yang
hijau mampu menyejukkan setiap
mata yang memandang karena hijau
mampu menstransformasikan
kelelahan menjadi kelegaan,
kesejukkan, dan keteduhan. Lewat
bantuan angin, keindahan dan
kesejukkan saat berada di dekat
pohon seakan bertambah – tambah
nikmatnya. Melalui sebuah pohon,
kita bisa di ajak untuk merenungi
banyak hal dalam kehidupan.
Segala ciptaan Allah di muka bumi
sudah selayaknya mampu menjadi
sarana pengamatan untuk
memikirkan dan ngrasani segala
macam yang terjadi di bumi
manusia ini. Ah tampaknya saya
egois bila menyebut bumi ini
adalah bumi manusia saja. Bumi ini
tentu dihuni oleh sekian banyak
makhluk ciptaan-Nya selain
manusia. Semua yang ada di langit
dan di bumi bertasbih pada-Nya
bukan?

Lewat angin yang bertiup
menyalami helai – helai daun, kita
bisa menarik pelajaran bahwa
sudah sifat angin untuk tidak
pernah berhenti bertiup. Karena
tatkala ia hening menghentikan
lajunya, ia kita panggil udara.
Bukan lagi angin. Sejak SD kita
disepakati penyebutan bahwa udara
yang bergerak ialah angin, kan?
Pada proses silaturahim angin pada
daun yang menjadikannya kadang
luruh, kita kerap melupakan
bagaimana nasib sehelai daun.
Seorang penulis mengatakan bahwa
daun menggambarkan sifat
keikhlasan, ketaatan, dan
penyerahan diri secara total pada
sang pencipta. Hendak dibawa
kemana ia oleh angin yang terburu
– buru hingga tidak pernah sempat
meminta izin pada pohon, daun
tidak pernah tau, pohon juga
begitu.

Ada satu waktu yang menjadi
suratan takdir beberapa jenis
pohon untuk mengalami kondisi
fisik yang berbeda dari pohon –
pohon lainnya. Yaitu ketika musim
kemarau menyapa hutan jati. Daun
pada pohon jati ini merelakan
dirinya dibawa pergi angin untuk
berdansa jauh hingga angin tak
mampu lagi membopongnya dan
kemudian berhenti menjadi undara
lalu mereka jatuh berdua. Daun jati
ini pergi bukan karena sudah tua
seperti pada musim lainnya. Ia
mulai dilepas oleh pohon ketika
pohon sudah tidak kuat lagi
memberikan daun jatah air untuk
mengebulkan dapur agar
didistribusikan secara adil hingga
akar. Akar sudah berusaha setotal
totalnya demi mendapatkan air
untuk daun tapi tetap saja sukar.
Sedangkan cahaya melimpah dari
matahari yang setia menyinari bumi
Allah tidak terbendung.

Maka, diceritakan, daun jati di
musim kemarau tidak pernah
bertindak egois. Ia sadar bahwa
dapur bukanlah tumpuan hidup
agar pohon bertahan. Induk
kesayangan mereka itu senantiasa
membumi, akarnya menghujam
ketanah. Kekuatan dari sebatang
pohon bukan dinilai dari banyak
dan hijaunya rimbunan dedaunan.
Melainkan akar yang dengan
kesabaran dan kerendahan hatinya
senantiasa tak pernah tampil cantik
apalagi menarik mata, kokoh
menopang pohon, batang, serta
daun.

Air tak sampai pada diri, pohon
sudah menceritakan segalanya
lewat diam dan kering kulit
kayunya. Daun sudah mendapat
penjelasan besar apa perannya
sebagai daun. Ia memang mahkota
dari keindahan pohon, ia juga
dapur tempat keadilan pembagian
nutrisi bermula. Tetapi, ia jugalah
yang melakukan tugas mulia di
musim kemarau: berdansa dengan
angin – angin. Perpisahan dengan
pohon baginya tidak pernah sia –
sia karena ia paham, ia sebaga
imakhluk tidaklah dilihat dari
bagaimanapenampilan luarnya
dalam mempercantik pohon seperti
mahkota pada manusia. Melainkan
bagaimana dan untuk apa peran
terakhirnya di bumi Allah mesti
berakhir. Ia sebgai yang gugur pada
musim kemarau, merebahkan diri
menyatu dengan tanah dengan
harapan adik – adiknya akan
bermunculan dengan rimbun di
musim penghujan nanti. Mampu
menjadi penyejuk mata masyarakat
hutan jati, peneduh manusia, dapur
yang lebar dan kuat, hingga
luruhannya nanti banyak
dimanfaatkan sebagai bungkus
tempe tradisional ataupun nasi
lengkong.

Saatnya daun jati dijemput angin.
Gemuruh angin yang datang kala
itu terdengar seperti salam yang
sopan dan menyejukkan. Salam
janji keselamatan dan
kesejahteraan bagi yang disapa:

“Assalamu’alaykum warahmatullah
wabarokatuh..
have a nice flight my dear friend