Kamis, 29 Oktober 2015

tombo ati ke enam. Padang Bulan.

30 agustus 2015

Darah seperti tersirap ketika ia dengan senyum manis misteriusnya dan aku yang manut mengikuti saja langkah kemana ia pergi dengan tanda tanya.

Jles... Kaki bertemu muka dengan sesuatu yang lembut dan sejuk. Agak menggelitik di mula. Telapak kaki menjejak, menyisir pasir - pasir. Tanpa alas.

Belum usai mata beradaptasi dengan nuansa malam yang minim lampu, kemudian menjadi tanpa lampu, serta kacamata pula, aku mendengar debur ombak. Lagunya berkawan dengan gelap. Angin menyapa tak terlalu kencang. Kemeresek gesekan cemara sesekali menyambut sapaan angin padanya. Aku menunduk memerhatikan langkah.

Tapi kemudian ketika mengangkat wajah, mata tanpa kacaku menangkap sesuatu yang besar menggantung di langit malam di atas lautan gelap. Di air laut terpantul indah sinar bulan yang belum begitu tinggi. Sebuah tangga di atas laut menuju ke bulan. Oh ternyata ke bulan tak perlu pakai becak atau kuda. hehe

Seperti terbius sensasi menyenangkan. Aku cuma bisa tertawa nyengir. Minim kata.

Ia bertanya pendek retoris

"gimana? bagus kan?"

haha baru ku tau. Ia romantis. Ia sukses membuatku cengar - cengar sampai beberapa bulan setelah peristiwa ini.

Tanpa bisa banyak menjawab. Aku hanya nyengir puas saja sambil ber "waw" pendek. Belum. Aku memang lama menemukan padanan kata kagum. Cukup sepihak saja komunikasi ini. Bulan dan teman - temannya sedang mengizinkan diri mereka untuk bisa dinikmati dan ditafakuri keindahannya oleh kami. Komunikasi sepihak ini indah. Maka, mungkin itu yang membuat kata - kataku tak keluar. Melemah di hadapan mereka.

Indah. Sekali harmoni ini. Gelap bertelanjang kaki angin sepoi dan cahaya rembulan.

Ketenangan menyelisip. Butuh untuk berdiam beberapa masa rasanya untuk menuruti egoisme. Aku inginkan momen itu tenang beberapa saat saja. Biar kurekam dengan baik tanpa gadget.

------------------------------------------------------

rupanya ia inisiatif melakukan itu karena ingin menghibur hati beberapa dari kami yang sempat patah karena tak jeli membaca jadwal sehingga ketinggalan kapal untuk pulang. Jujur saja, ketertinggalan tersebut kutanggapi dengan santai dan mudah untuk dilupa lupakan. Aku memang sedang mencari obat hati ke enam, tapi bukan untuk sebab luka yang itu. Karena ada duka lain yang lebih pedih.

tombo teko.


foto oleh Awalien Dhea Syafitrie.

Kamis, 15 Oktober 2015

tombo ati ke enam. Ghutsa dan ikan pasir

ghutsa dan ikan pasir. Yang satu terombang -ambing karena secuplik gedhe rumangsa dan yang lain sibuk berkamuflase agar tak terlihat jelas kasat mata karena hanya ingin dilihat oleh mereka yang memang beruntung ditakdirkan untuk melihat atau memang jeli dan berniat penuh untuk melihat.
pagi semilir mengantar langkahku untuk mantap mencari "obat". Asik. Air laut yang bening menembus higga dasar pasirnya di tepi batas pantai yang tidak lagi landai.
beberapa meter di hadapanku berdiri tegak rumpun rumpun mangrove. Bakau. Koloni yang memang memilih untuk tidak sanggup menjadi solitaire.
tombo ati ke enam.