Sabtu, 29 Desember 2012

Baca,Tulis,Diskusi



Kupandangi matanya, sorotnya mengatakan bahwa aku pasti bisa. Senyumnya senantiasa mengabarkan bahwa aku pasti mampu. Kata – katanya memotivasi menyampaikan bahwa aku akan menjadi pembelajar, sanggup untuk belajar. Dari kebuntuan jalanku, kutemukan peta awal darinya. Tentang pendidikan.
Aku memang hanya berbekalkan kepedulian. Tak lebih. Belum pernah mendapat atau mempersiapkan bekal selain pengalaman serta peranku sebagai consumer pendidikan (pengajaran). 12 tahun dalam bangku sekolah, cukup menyisakan tanda tanya besar padaku. Untuk apa selama ini aku belajar? Apa sih tujuannya? Pendidikan itu apa selalu memuakkan seperti ini? Dimana yang salah sebenarnya?
Begitulah. Kuyakini takkan ada yang sia – sia. Pasti ada hikmahnya.
Nekat saja aku mengikuti diskusi – diskusi agar mengerti. Lama kelamaan akhirnya benar juga, diskusi ini menyegarkan otak. Bisa bertukar pertanyaan atau pemikiran. Ini seru ya ternyata,,
Kemudian kusadari bahwa dari sekian banyak diskusi, tak ada satupun yang mampu kusampaikan pada teman yang lain. Khususnya pada teman yang berhalangan hadir dalam diskusi. Bagaimana agar aku bisa berbagi? Menulis adalah salah satu cara. Karena aku belum pede dan mampu menguasai public speaking.
Terang saja aku tak mampu mempresentasikan dengan lancer apa yang ada di benak. Aku terlalu panic, hingga mudah lupa, jadi, solusinya adalah mencatat. Aku mulai mencatat forum apapun yang kudatangi. Aku pelupa, jadi butuh pengingat. Yaitu pena dan kertas.
Sampai saat ini satu yang belum kupelajari sambil merangkak.. public speaking.

Metromini 49 : jalur pulang dan pergi yang tak sama



Bismillahirrahmaanirrahiim..
tujuan : share. Memenuhi janji pada seorang teman diskusi yang asik. Yang tentunya berhalangan hadir pada forum family day. Dia kepo ternyata.

Hari itu kamis, 15 November 2012, atau 1 Muharram 1434 Hijriyah. Cemberut saya menaiki tangga busway transjakarta, sambil ber dadah dadah pada ayah dan kakak yang batal mengantar sampai taman suropati. Apa yang saya risaukan? Nyasar.
Taman suropati. Pernah saya kesana untuk acara upgrading BEMJ, tapi diantar ayah. Kali ini, hem.. ibu sempat bilang untuk membatalkan agenda hari ini, karena adik saya sudah pergi dan rencananya akan pergi juga sekeluarga. Makin bertumpuklah keraguan bersua bersama teman – teman fsi-ku.
Tapi kemudian saya meyakinkan langkah untuk terus menaiki tangga busway. Saya yakin dan berdo’a untuk dipermudah dalam perjalanan. Berbekal pesan dari kakak, “naik metro 49, pas dia mau balik ke pulogadung, lewat taman suropati.” Saya bertanya, “pas didepan tamannya?” “iya”, jawabnya singkat. Karena saya terbayang – bayang jauhnya berjalan kaki dari taman suropati hingga bertemu kendaraan umum yang bisa dinaiki.
Satu jam kemudian, saya sukses menjejakkan kaki di taman suropati. Alhamdulillah..
Hingga saya bertemu seorang teman, yang pertanyaan-pertanyaannya tak saya jawab dengan pasti. Menggantung, datar, abstrak. Bisa bocor mata ini bila diceritakan sedetail mungkin. Hehe
Naik apa aja? Sama siapa? Tapi nanya – nanya jalan?
Dan keraguan, lelah, sesal, terutama lapar hilang semua ketika mendapatkan semangkok bakso gratis. Hehe
Engga deng. Hilang semua ragu saat semua sudah berkumpul dalam satu banner. Bercanda, cerita, guyon, lawak, dan lain – lain.
QODHOYA
Malam sebelumnya Alhamdulillah sudah saya tanyakan apa artinya qodhoya pada kadiv saya yang cantik (ehem). Artinya adalah curhatan, cerita, isi hati, hem semacam itu yang saya ingat. Jadi, saat sang mas’ul berkata, saya tidak bertanya lagi apa artinya qodhoya.
Kemudian satu persatu mulai bercerita, mulai dari kabar (jasmani, ruhiyah, keluarga, kuliah, organisasi, bahkan iklan untuk menjadi juri lomba) hehe
Betapa terbuka, santai, rileks dan dekatnya kita semua saat itu. Walau jarak antara akhwat dan ikhwan yang berseberangan mengurangi intensitas pendengaran, apalagi keakuratan, tapi itu semua dapat diatasi, karena masing – masing kubu merekam sebagian besar pernyataan, curhat, pertanyaan.
Pertanyaan penting
Pengumpulan puisi tak jadi dilaksanakan saat itu juga seperti yang saya kira. Agenda curhat dilanjutkan berbarengan dengan agenda isi rongga usus yang lapang. Tidak mengurangi konsentrasi, focus tetap mampu dibagi dua.
Diantara sayup – sayup suara ikhwan, satu yang paling diingat. Terdengar, tepatnya, karena mengalami pengulangan berkali – kali hingga gema nya sampai ke kubu akhowat.
“menurut kalian, FSI-KU itu apa?”
Ada lagi yang saya ingin ungkapkan secara jujur, “jangan – jangan ada yang baru tau wajah saudara seperjuangannya di FSI-KU, misal : oh itu toh mas’ul nya fsi-ku”
Sesungguhnya itu sedikit berlaku pada saya, tapi tidak sepenuhnya. Alhamdulillah yang hadir saat family day kemarin, saya sudah tau nama masing – masing peserta. Menurut saya, tak apa terlambat, asal memang ada usaha untuk mengejarnya.
2 poin penting yang meluluhlantakan keragu – raguan saya dalam pemilihan agenda. Kado dan keinginan mengejar (sebagai bentuk realisasi janji).
Selalu ada hikmah. Itu yang saya yakini. Maka, goresan tajam pintu metromini yang sempat menegatifkan niat, peluh bertanya sana – sini yang menggoyahkan keinginan memegang janji. Kesendirian yang sempat mengajak untuk kabur dan lari. Semua lenyap karena satu pernyataan dari seseorang yang kemudian menjadi pertanyaan beruntun untuk giliran berikutnya : dulu masuk FSI-KU kenapa?
Kemudian ada sedikit pernyataan – pernyataan yang menanggapi, dan yang saya ingat dan tangkap adalah dualisme mendaftar sebagai pengurus FSI-KU. Satu, sebagai orang yang ingin dan senantiasa rindu pada orang – orang soleh. Seperti penggalan sebuah lagu yang dipopulerkan kembali oleh Opick, “..kaping limo, uwong soleh kumpulono. Berkumpullah dengan orang soleh.” Kedua, FSI-KU adalah wadah atau perkumpulan yang lebih fokus pada upaya mencetak kader – kader dakwah.
refleksi: mungkin seperti seorang guru, apakah karena ingin belajar, atau mengajar. Solusi yang terpikirkan adalah belajar sambil mengajar. Maka, jadilah pembelajar.
Seperti metromini 49 jurusan pulo gadung – manggarai. Awal saya masuk FSI-KU adalah karena beberapa hal. Satu, surat dari seorang saudari yang isinya menyemangati, sangat. “…jangan berhenti buat dakwah ya dek.” Batere saya menjelma menjadi bertenaga surya setiap kali membaca kembali surat itu saat lelah dan  keluh menyerang. Ajaib! Tanpa repot mencari terminal untuk isi ulang batere.
Dua, ketika membantu salah satu proker FSI-KU. Saya melihat keikhlasan seseorang disana. Dan memang, beberapa teman yang sudah dari dulu bergabung dengan FSI-KU memiliki hal sama. Hingga sekarang. Yaitu, senyuman yang menerima kembali walau berkali – kali dengan atau tanpa sengaja di/ter tinggal-kan.
Tiga. Alasan ketiga adalah dikarenakan alasan satu dan dua. Yaitu, penasaran. Stigma – stigma negatif yang sempat tersematkan pada teman – teman LDF. Saya ingin sekali membuktikan bahwa mereka salah, praduga mereka tak berlandaskan hal mutlak. Alias, negative thinking semata.
Kemudian, hati saya dirundung hujan bulan November. Mendung. Saat baru saja tersadar, muktamar sebentar lagi. Masya Allah. Belum sempat saya memenuhi janji saya untuk berkontribusi secara serius pada FSI-KU tercinta. Jadilah saya pulang kerumah hari itu membawa bekal : mulai dari penasaran, pulang dengan pemahaman dan tekad untuk terus bergerak, menjadi pembelajar.
Rasanya ingin bilang, “kawan, dakwahmu sampai padaku. Terimakasih”
walau itu hanya terang dalam gelapnya jauh.
kuyakin do’aku pasti sampai
padamu.
Sering ku berputus asa padamu
Mengingkari janjiku, menuruti lelah, mengulang maaf.
Tapi kau selalu tersenyum lembut
ketika kukembali dalam sesal,
terbakar semangat lagi,
itu FSI-KU yang kukenal
-mahasiswi biasa-

Tentang guru, untuk calon guru




Amal yang tiada berhenti
Bakti yang ikhlas diberi

Sebagai mahasiswa cagur (calon guru), beberapa mungkin masih ada yang tidak yakin atau bangga dengan profesi keguruan yang dipilih. Dan beberapa mahasiswa yang mendalami ilmu murni mungkin merasa terbebas dan lega, bahkan merasa beruntung karena ‘calon guru’ tidak tersematkan dalam diri mereka. Dan Kampus hijau ini merupakan tempat yang menjadi persinggungan antara keduanya karena fungsinya sebagai Universitas sekaligus pencetak guru.
Ketidakbanggaan yang menyerang sebagian mahasiswa profesi keguruan menjadi tidak beralasan saat melirik kutipan Imam Al Ghazali berikut
“Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiripun harum…”

Dari kutipan diatas tergambarkan betapa bahagia dan beruntungnya mereka yang menjadi pembelajar sekaligus mengajar. Mempelajari ilmu demi kepuasan diri sekaligus mengamalkannya. Kebaikannya untuk mendalami ilmu pengetahuan tidak dipendam sendiri, melainkan senantiasa dialirkan kepada subyek didik lainnya, yaitu murid.
Saya sendiri senantiasa mengingat apa yang guru biologi saya katakan perihal ‘pendam sendiri’. Seperti air pada laut mati. Kadar garamnya tinggi hingga mampu membuat makhluk hidup sekarat bahkan mati. Akhirnya tak ada satupun makhluk yang mampu memanfaatkan sumber air tersebut. Apa sebabnya? Air pada laut mati tak  memiliki aliran ke tempat lain. Sehingga mineral yang dijatuhkan langit lama kelamaan terpendam, menumpuk, hanya ditempat itu saja. Air yang dikenal menyuburkan, dalam hal ini justru mematikan. Itulah akibatnya bila memendam sendiri apa yang kita miliki, termasuk ilmu pengetahuan.
Masih juga merasa malu dan belum berbangga menjadi cagur? Baiklah.
Menjelang ujian Nasional, disaat saudara, tetangga, keluarga bertanya mau jadi apa setelah SMA? Tidak lain tidak bukan, kebanyakan akan menjawab profesi murni. Entah dalam bidang pengetahuan alam, sosial, budaya, hukum, ekonomi, linguistic dll. Tapi, berapa banyak yang mantap bertekad baja menyatakan akan menjadi guru? Tidak banyak. Belum, semoga. Namun, taukah kau hai cagur, pada penggalan puisi ini?

Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja menaiki tahkhta
Jika hari ini Presiden sebuah Negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang peguam yang menang bicara
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa.
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.
-Usman Awang 1979-

Dan untukmu yang sudah bangga dan sepenuhnya siap ikhlas menjadi cagur, hendaknya tak terlepas perangainya dari tauladan kita, nabi besar, Muhammad saw. yang dinobatkan sebagai muallimul awwal fil Islam (guru pertama dalam Islam). ‘Aisyah kerap dikunjungi ummat untuk dimintai pendapat dalam memecahkan masalah. Diantara Ummul Mukminin, memang ‘Aisyah lah yang hapal betul apapun yang nabi lakukan, baik adab, maupun pemecahan masalah. Mengapa? Karena ‘Aisyah mengaplikasikan apa yang Rasulullah sabdakan. Ilmu dan aplikasinya ternyata sangat berkaitan.
Pun diluar tujuan penghapalan, ada sebuah petuah yang layak dijadikan pegangan. “Sebaik – baik nasihat adalah teladan”. Hal ini sesuai dengan QS al Baqarah:44
“Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri..”
Guru, yang merupakan pendidik akhlak murid, pengajar ilmu, serta pembimbing kekritisan dan kepekaan kehidupan sekitar sudah selayaknya menyadari posisinya sebagai mitra belajar sekaligus pusat dalam kelas. Keteladanan menjadi penting disaat murid menyerap apapun yang hadir dalam benaknya.
Berbanggalah cagur. Pahala sebagai pembelajar akan berkali lipat karena mengajar. Saya melihat keindahan dan kemuliaan seorang guru dari kacamata saya sebagai mahasiswa non-pendidikan.

-mahasiswi biasa-

Stop stop stop…. Mundurrrr Jeg!






Maghrib menjelang isya. Aku yang menunduk dengan kacamata turun di ujung hidung tersentak. Kuangkat kepala dan mencoba focus, argh berat sekali kelopak ini berdamai untuk focus. 2 gang lagi aku harus turun! Dalam angkutan umum trayek pondok gede – kampung melayu aku kelabakan menyiapkan uang recehan. Aku bersiap untuk turun dan mengetukkan jari pada papan triplek yang menempel pada atap mobil mikrolet. Bismillah, semoga aku tak salah ucap seperti dulu. Saat SMA, aku refleks mengetukkan jari pada atap mikrolet, namun yang keluar dari mulutku bukannya “kiri, bang”, melainkan “Assalamu’alaykum!”. Dan semua mata melirikku, gawat, aku kurang konsentrasi. Eh, atau terlalu konsentrasi, hingga grogi? Atau lupa minum maijon? Hehe

Oke. Kembali ke mikrolet. Aku sukses turun tanpa mendapat balasan salam. Dengan goyah, dan masih (mencoba tetap focus), aku mengisyaratkan pada perkumpulan bapak – bapak gaek di mulut gang, “ojek bang”. Kudapatkan satu ojek, dengan santai dan menahan lapar (lupa belum makan), aku duduk miring, dan ojek berjalan. Sambil menggali isi kantong tas bagian depan, tetap berpegangan pada jok belakang, sambil menghadapi goncangan dari posisi tidur (pokoknya ribet). Mataku tertuju pada kain yang melambai  - lambai dibawah sana. Bukan! Bukan horror. Itu rokku yang melambai – lambai tertiup angin.

Kembali aku berusaha mengambil uang dari kantung depan. Setelah dalam genggaman, kunikmati saja perjalanan. Meliuk – liuk motor melewati tikungan, turunan, tanjakan, dan… sret sret sret…. Kenapa ada yang menarik rok bagian kiriku? Apa ini!? Gawat, makin kencang. Kurenggut  rok bagian kiri. Dengan ekstrem,tegas, dan jelas aku menginstruksikan Bapak ojeg. 

“STOP bang, stop stop stop” seruku pelan, (malu kalo kenceng2, ntar ada yang tau >,< ). 

“Kenapa neng?” tanyanya. 

“Rok nya nyangkut, nyangkut ke besi-besi. Stop bang” ujarku cepat. 

Begitu motor berhenti, “sekarang, MUNDUR bang, mundur mundur mundur”. 

Dengan sigap seiring perlahannya motor mundur, kutarik rokku perlahan. Daaannn… FREE!! Huff, Alhamdulillah. Hehe kadung malu dan lelah, tak ku lirik lagi siapa saja yang melihat insidennya mundurnya motor ojeg.

“Kenapa tadi neng?” Tanya bapak ojeg. 

“Nyangkut di gerigi bang, besi nya itu” jawabku. 

“Kok bisa? Jauh banget ya berarti” kata bapak ojeg. 

“Hehehe iya kayanya” cengengesku asal.

Terbayang beberapa kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat tersangkutnya sesuatu, entah kain, entah tali, entah jas hujan. Ya Allah, terimakasih Engkau telah menyelamatkan aku, sekaligus menegurku untuk terus waspada, meski dalam kelelahan.