Kamis, 02 Januari 2014

kotak pandora

  1. Niat dan realita
Pada awal kemunculannya, televisi dimaksudkan untuk menyapa masyarakat Indonesia secara langsung. Lewat satu – satunya lembaga penyiaran publik:TVRI, Soeharto kemudian meluncurkan satelit palapa. Itulah pertama kali televisi merambah sektor publik. Dalam perkembangannya kemudian, banyak pihak yang berlomba – lomba membuat lembaga penyiaran swasta. Semula untuk memberikan informasi jarak jauh, kemudian kini menjelma menjadi katalog bagi produsen menanamkan mental konsumtif pada masyarakat.

Setiap hari masyarakat dibombardir olah iklan dari produsen yang menjajakan barang dagangannya. Jika semula kita meyakini bahwa produsen lah yang membutuhkan konsumen, hal itu dapat dibalik, konsumenlah yang butuh produsen. Kebutuhan akan membeli barang tersebut adalah usaha menanamkan mental konsumtif, sehingga nantinya lewat familiarisasi, terjadilah interpelasi. Dimana produk sudah seperti menjadi identitas bagi konsumen itu sendiri. Dirinya seakan bukanlah seperti apa yang ia definisikan jika tanpa produk itu. Kesuksesan produsen dalam menarik konsumen tentu saja tidak terlepas dari pencitraan. Pendefinisian ulang lewat repetisi, jadi seperti doktrinasi. Contohnya adalah produk kecantikan. Seorang perempuan tidak akan dianggap sebagai seorang yang cantik bila tanpa pemutih. Ini juga berlaku untuk berbagai macam kategori seperti pintar, cantik, modern, kaya, terpandang, popular, bahkan baik.

Konsep yang terus menerus ditanamkan adalah konsep menurut produsen, tanpa kita sadari, Budaya pop juga mempengaruhi apa yang dipaparkan televisi, Sehingga sesuatu akan dianggap sukses atau sesuai dengan standar ketika sama dengan yang lainnya. Tanpa sadar, pemirsa dijebak dalam uniformitas.
Darimana dapat dilihat suatu paham atau budaya buatan sukses di pasaran? Ketika dilihat, pasar mulai menggunakannya, bahkan ketergantungan atasnya. Gangnam style, Boy band, girl band, krim pemutih, operasi wajah, ketika semua berbondong – bondong melakukannya, itulah artinya kesuksesan bagi pengusaha.

Hal ini senada dengan tim kreatif suatu program acara televisi. Tidak peduli apa yang disebabkan oleh acara yang mereka suguhkan pada publik, atas nama entertaining, pengejaran target demi mencapai rating tertinggi adalah sah – sah saja. Kita sudah menilik sebelumnya bahwa rating mempengaruhi pendapatan program dan stasiun televisi karena kebutuhan produsen untuk mengiklankan produknya. Sebenarnya antisipasi untuk bombardir iklan sudah ada lewat remote control, tapi yang terjadi justru pendidikan moral atau karakter seakan sia - sia. Contoh: ketika rasa kemanusiaan kita dikuras oleh suatu program televisi mengenai kesulitas saudara kita yang jauh di pelosok, tapi kemudian setelahnya, 15 menit kita sudah dipaparkan secara terus menerus kemewahan sebuah hotel atau gadget keren. remote control gagal menjadi tameng untuk menahan hawa konsumtif heavy viewers. Meluruhlah pendidikan karakter lewat televisi.

Kita sudah pernah mendapati siswa SD yang meninggal dunia akibat meniru tayangansmackdown. Seperti biasa, suatu kebijakan atau fenomena baru disadari sebagai suatu kesalahan ketika sudah memakan korban. Anak diyakini merupakan periode yang memiliki kelemahan dalam filterisasi. Maka, akibat pemaparan dari media televisi yang menggebu, yang dapat dilakukan anak sebagai pelampiasan adalah imitate (meniru) apa yang ia saksikan. Karena pada akhirnya, tayangan yang pantas untuk anak - anal bukanlah sekedar kartun atau tidaknya, tetapi lebih ke konten dan isi program itu sendiri. Disebutkan oleh Rasyid bahwa dari survey yang dilakukan di Jepang, program anak - anak seperti Sailor Moon dll, justru memberikan contoh pada anak - anak untuk bersikap anto sosial seperti tokoh2 di dalamnya.

Kecanggihan media

Kemirisan terjadi ketika masyarakat yang daya analisis literasi krtisinya kurang. Dapat kita tebak bahwa masyarakat yang daya analisis kritis terhadap literasinya kurang adalah masyarakat golongan menengah kebawah. Terbukti, dibandingkan menginvestasikan uang untuk belanja buku, masayarakat lebih memilih untuk membelikan televise. Tidak heran jika kita kerap menilai masyarakt kita belum siap menghadapi globaslisai karena terjadi ketimpangan dalam mendefinisikan globalisasi itu sendiri. Mengartikannya jadi sempit, maka pemuda desa berlomba mengikuti gaya kota yang hedonis dan materialistic, karena itulah yang dipaparkan televisi. Fenomena dimana pecandu berat penonton televisi (heavy viewer)  mengalami kesulitan dalam membedakan mana yang nyata dan yang buatan disebut sebagai kultivasi (George Gerbner).

Kehadiran televisi yang pada mulanya adalah solusi untuk merangkul penduduk dari Sabang hingga Merauke justru meluruhkan niatan itu sendiri. Terbukti, sebagao media komunikasi, televisi sebenarnya sama saja dengan banner. Satu arah. Monolog. Bukan komunikasi anatara dya pihak. Yang terjadi adalah kepalsuan, penonton yang pasif menyimak dan mendengarkan, seolah hal yang ada di televisi adalah kenyataan dan benar - benar menyapa secara langsung. Hal ini sebenarnya berbahaya, karena penonton tak lagi dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang benar - benar terjadi. Keberpihakan media juga mempengaruhi terhadap apa yang didapat atau diterima (disajikan) kepada penonton. Dalam situs Kompasiana disebutkan bahwa perbedaan humas dengan jurnalis adalah, humas: berkata baik atau diam, jurnalis: berkata benar walau pahit. Yang terjadi kini adalah media masa diragukan tingkat independensinya. Sangat terasa, apalagi menjelang tahun politik ini. Sebagai receiver, penonton terbiasa terima jadi tanpa mengetahui proses pembuatan beritanya.

Dalam analisis wacana menurut Eriyanto, jurnalis bisa saja membentuk atau mengkonstruk berita yang disajikan dengan dua hal: membatasi pandangan receiver atau menyajikan opini - opini. Sehingga bukan penilaian secara menyeluruh yang akan dilakukan receiver, melainkan pilihan untuk memilih pandangan yang disajikan atau melihat pandangan yang sudah dipilah?

Dikonstruksi pasar
Saya seringkali berpikir, jika kita mendapatkan tontonan gratis semacam ini, darimana kemudian pengusaha media mendapatkan keuntungan ya? Barulah saya sadari ketika suatu acara televisi menyebut – nyebut istilah rating yang kemudian saya ketahui sebagai data minat penonton terhadap suatu program televise.
Dari suatu program televise yang sedang tinggi ratingnya, perusahaan produsen kemudian berlomba – lomba untuk menaruh iklannya dalam acara tersebut. Data yang diperoleh pada tahun 2012 cukup mencengangkan, belanja kotor iklan media di Indonesia mencapai 87,471 triliun rupiah, dan 11.172 juta spots/hari untuk televisi. Maka, dari iklan produk – produklah stasiun televise mendapatkan keuntungan. Pasar yang menggirukan inilah yang membuat pengusaha media berlomba – lomba menaikkan rating untuk mengeruk keuntungan. Darimana kemudian tim kreatif suatu program acara televise mengkonsepkan acara – acara yang akan dikemas untuk ditampilkan di depan public? Dunia perbisnisan bergantung pada pasar. Kita sudah paham soal ini, dimana dalam mencari keuntungan, pasarlah yang berkuasa.

‘ibu asuh’ dalam pendidikan
Penelitan di Amerika menunjukan bahwa menonton televise pada bayi proses wiring , dimana penyambungan di antara sel – sel saraf dalam otak tidak semourna. Anak – anak belum mendapatkan pengalaman empiris, sehingga konsentrasi anak terganggu akibat virtualisasi yang meloncat – loncat (rasyid, 2013:183).
Kesibukan masyarakat modern yang seringkali membiarkan anak menonton televisi tanpa pengawasan sebenarnya adalah hal yang menkhawatirkan untuk kesehatan anak itu sendiri. Televisi sudah mampu menggantikan peran seorang ibu sebagai madrasah pertama, pendidik perdana. Kecanggihannya dalam membombardir selama 24 jam terjaga nonstoplah sifat unggulya.

Hal yang baru saya ketahui adalah pembagian jadwal penayangan program televisi. prime time (18.00-21.30) menjadi waktu yang sangat diburu produsen untuk menaruh spot iklan mereka. Itu pula waktu diana keluarga Indonesia kerap menghabiskan waktu bersama untuk menonton. Untuk tayangan golongan kode D, dapat ditayangkan mulai pukul22.00-03.00, yang saya baru ketahui pula, iklan rokok harusnya juga ditayangkan mulai pukul 21.30 keatas. Di luar negeri, seleksi program tv sangat ketat dilaksanakan. Untuk setiap kekerasan (verbal non verbal) sudah memiliki aturannya tersendiri, masyaraktnya juga sudah sadar apa dampak yang ditimbulkan oleh kotak hitam tersebut.
Indonesia sebenarnya memiliki KPI sebagai wadah resmi pengawalan program sehat. Namun, masih sangat kurang dan memprihatinkan kesadaran masyarkat dalam literasi media. Televisi sendiri memiliki pengaruh positif bagi pendidikan yaitu memicu anak untuk merasa ingin tahu lebih. Tetapi, hal itu juga memiliki konsekuensi mematikan kreativitas anak untuk eksplorasi langsung dan mendapatkan pengalaman empiris karena apa yang dipaparkan di televisi seolah adalah nyata,


Solusi
Dari serangan kotak Pandora yang merajalela, karena tampaknya sudah membudaya, dapat ditanggulangi atau dicegah bahayanya dengan beberapa poin berikut ini
  1. Lakukan penyeleksian secara ketat tontonan apa yang akan dilihat keluarga anda (terutama yang masih kecil)
  2. Sediakan DVD edukatif selalu sebagai cadangan ketika tidak ditemukan acara yang baik
  3. Lakukan pengaduan ke lembaga KPI untuk konten acara yang meresahkan
  4. Terus lakukan pendampingan dan bimbingan kepada penonton yang masih dibawah umur/kecil
  5. Matikan tivi anda, ganti dengan membaca buku – buku.

Karena kemunculan televisi termasuk diawali dari sebuah mimpi untuk dapat melihat jendela dunia. Mengapa tidak ganti jendela dunia tersebut dengan buku jika sudah tak mampu memformat dan membentuknya sesuai hati?

pendamping:
Kekerasan di Layar Kaca, Muhammad Riyanto Rasyid, Kompas:2013
Analisis Wacana, Eriyanto