Rabu, 25 November 2015

Terima kasih. Kau guruku ketika aku fasilitatormu

Senyum, tawa dan segala keapaadaannya adalah suatu ajaran dan ajakan untuk bermuhasabah.  Pembeda anak - anak dengan orang berumur lebih (dewasa menurut negara) adalah takaran kejujuran dan kelugasan yang tentunya tidak akan bermain kesengajaan dalam segala laku karena pengetahuannya belum mencapai kadar yang sama dengan orang yang lebih banyak masa hidupnya.

Terima kasih. Bertemu muka denganmu mengajarkanku banyak hal. Salah satunya adalah teguran bahwa menjadi fasilitator adalah bukan menjadi penguasa masa - masa yang kita lewatkan bersama. Bukan penghukum dan pemberi hadiah untuk setiap laku yang dinilai subjektif (perspektif sempit) hitam-putih salah-benar menurut keilmuwan akademik.

Takutmu adalah artikulasi dari rasa belum bebas dan percayanya kamu padaku atau kami, untuk layak menjadi fasilitator di waktu - waktu berhargamu itu. Belum percayadirinya kamu adalah pengingat yang halus padaku bahwa ada yang perlu dipertanyakan sebagai konfirmasi: masihkah kita bersepakat  untuk sulit dalam memaafkan kesalahan - kesalahan meskipun kecil?

Yang kutarik dari interaksi singkat kita adalah aku senang kamu akhirnya mau menerimaku setidaknya sebagai teman yang nantinya bisa kamu percayai untuk berdiskusi tentang banyak hal. Termasuk mengenai pustaka hijau yang multifungsi karena bisa menjelma menjadi laboratorium, perpustakaan, arena bermain, dan ruang muhasabah kita bersama.

Terima kasih telah pernah mengizinkanku untuk menjadi bagian dari proses belajar apapun yang mungkin bisa kita petik manfaatnya bersama - sama. Tidak apa walau sedikit, karena untuk segala yang kita lakukan, percayalah, aku membeli hatimu dengan hatiku.

21Nov2015

Jumat, 06 November 2015

let the unseen, seen

Awal Maret 2015.

Masih dalam rangka pencarian 'obat'. Mereka memutuskan pergi keluar justru ketika kebanyakan yang lain sedang terlelap. Karena mungkin saja wajah jujur apa adanya hanya muncul ketika jarang pasang mata yang memperhatikan apa - apa saja yang tertimpa cahaya, katanya.

Siang untuk mencari rezeki dan malam untuk istirahat mungkin tidak berlaku dengan tegas bagi ia. Sosok yang menyapa mereka pertama kali di jalanan lengang. Seorang lelaki dengan gerobak di belakangnya. Dibalik sekat dari triplek di belakang punggungnya ia menyimpan salah satu harapan bekal masa depannya, seorang bocah yang dibangunkan agar menyantap apa yang mereka 9tawarkan di tengah malam rintik hujan selagi bapaknya masih menyusuri jalanan lengang.

Dingin menggigit kemudian dengan murah hati menunjukkan hal lain pada mereka kala itu. Ada seseorang yang dalam diam bertahan bersama plastik di sekujur tubuhnya disamping gerobaknya di tengah hujan yang terjun melembut. Ia mendekap lutut dan diam. Mereka kira ia sakit. Khawatir tapi tak bisa banyak berbuat kecuali menyapa dan coba berkomunikasi dalam gelap. Uluk tangan darinya cukup bisa dianggap sebagai respon yang luar biasa dari sosok yang kaku dan gamang ini.

Rintik juga mengiringi sekeluarga minus ayah yang dengan gaya dewasa dan ramahnya, si sulung mau mereka ajak berbicara dan ramah tamah ala kadarnya. Ia membersamai adik - adiknya mencari sampah - sampah bernilai ekonomi dalam gelapnya malam. Katanya mereka sudah dalam perjalanan pulang.

Tak berani membangunkan pulasnya wajah - wajah yang tertidur di trotoar samping rumah mewah. Mereka hnya mletakkan 'sapaan' sejumlah yang ada di bawah atap tenda bersanggakan gerobak.
Pulas betul anak beranak ini. Mungkin lelah.

Di tengah isu begal, kenekatan ini memang disengaja untuk mendapatkan kontrol secara nyata. Agar gembira tak terlalu dan sedih juga tak terlalu, ujar mereka.

"habis darimana?"
"mencari rezeki". Jawabnya singkat ketika kutanya.