Rabu, 20 Agustus 2014

Satu Tubuh

Tepat pada peringatan kemerdekaan Negara Indonesia di pertengahan Agustus ini adalah juga gencatan senjata antara Palestina dan Israel. Hal ini membuat saya berpikir bahwa hubungan Palestina dengan Indonesia semakin erat dari hari ke hari. Bagaimana tidak, Palestina memiliki andil yang cukup besar sebagai bangsa pertama yang
mengakui kemerdekaan Indonesia 69 tahun silam.
 

Lewat kacamata hubungan internasional, yang pertama kali mengakui kemerdekaan sebuah Negara memilki tempat yang sangat spesial dalam hubungan bilateral. Maka, saudara muslim bagaikan satu tubuh rasanya benar-benar terjalin kental dan dipraktikkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dan Palestina. Indonesia sering disebut – sebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pandangan yang menjadi sorotan utama dimata masyarakat global itu nampaknya perlu ditransformasikan menjadi negara dengan penduduk paling cinta damai di dunia. Karena Islam tidak akan pernah terpisah dengan kedamaian, islam adalah cahaya, nuur untuk membimbing apa yang ada dalam kegelapan
menuju terang, dzulumati ilan nuur serta rahmatanlilalamin, rahmat
bagi seluruh alam. Maka, bukan hanya bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim, namun juga seluruh alam yang bukan hanya berarti dunia atau bumi atau sekedar galaksi bima sakti saja, melainkan alam semesta.

Kedamaian yang dibawa pada beberapa hari saja gencatan senjata perang Gaza bukan hanya berlangsung di Indonesia dimana
masyarakat sudah melupakan pilihan mereka pada 9 juli lalu dan kemudian terbawa asyik memenangkan hadiah-hadiah di atas batang pinang lalu berselimut oli bekas, ternyata sepercik kedamaian juga membelai lembut kebun binatang di Gaza. Tempat terindah bagi anak-anak Palestina menghibur diri di sela-sela perang dan tempat bermain diantara kesibukan menghapal Qur’an, tempat dimana mereka dapat melihat ayat – ayat Allah lewat binatang-binatang dan segala jenis laku di dalamnya, tempat itu berantakan (kalau tak boleh dikatakan luluh lantak) karena perang. Babon mengais-ngais tanah mencari makan tak jauh dari bangkai anak-anaknya yang tewas. Burung merak mati
terkapar di depan singa yang lapar, dan banyak lagi bisa dilihat kehancuran yang meratakan kebun binatang dengan tanah. Kebanyakan mati karena kelaparan dan kehausan karena sekitar 15 hari berpuasa tanpa berbuka akibat kedzhaliman yang terjadi di tanah mereka. Apa alasan Zionis Yahudi mengarahkan roketnya ke kebun binatang? Sudahlah, perang tak perlu mencipta seribu alasan karena akan lahir jutaan kebohongan demi kebohongan begitu dusta hati terkatakan dan tak mau atau mampu meyakini kebenaran. Summun bukmun umyun laa yarji’uun.

Selama gencatan senjata, kebun binatang sempat mendapat pasokan air dan beberapa ekor ayam dari wartawan internasional yang
menyumbang. Masyarakat pejuang Palestina sebagai khalifah di bumi Allah bagian Palestina tidak berdaya melindungi hak para monyet, singa, buaya, merak dan kawan-kawan dari roket Israel. Dimanakah PETA?
Apakah organisasi pencinta dan pelindung binatang itu hanya peduli dan berani atau bahkan mau menyuarakan kecaman-kecaman mereka di media masa atas bulu-bulu yang dikenakan artis Hollywood saja. Ada perbedaan yang signifikan antara mau dan mampu.

Kita kembali mengulas gencatan senjata yang berlangsung hanya beberapa hari saja di pertengahan Agustus 2014 ini. Seorang pemuda Indonesia menyunting gadis Palestina 17 Agustus lalu. Indah sekali ditengah-tengah konflik berkepanjangan ada yang berikrar mengguncang ‘arsy-Nya dengan janjinya untuk memindahkan tanggungjawab menjaga dan menafkahi serta mendidik seorang wanita. Jika maskulin identik dengan sifat lelaki yang sering tampil tergambar sebagai pelindung, pengayom, penolong, dan segala hal yang bersifat aktif, maka feminin dalam perempuan akan tampil lebih sering sebagai objek dari sifat di atas. Kalaupun tampil sebagai pelaku, feminin menggambarkan suatu proses kerja yang sifatnya halus lembut cenderung samar dengan kesetiaan yang berkepanjangan. Gampangnya adalah penggambaran sosok ayah dan ibu. Pemuda Indonesia yang menyunting Jena si gadis Palestina, bernama Husen. Pernikahan mereka seolah menggambarkan sebuah ikatan keluarga lewat membangun rumah tangga dua insan berbeda latar belakang geografi ini. Husen menyunting Jena seolah Indonesia yang menyunting Palestina. Indonesia dengan kekuatan lobi Internasionalnya diharapkan mampu mengubah lirik Michael Hart dalam We Will Not Go Down “while so called leaders of coutries so far, debated on who’s wrong or right”.

Sebagaimana yang disampaikan Nasarrudin Umar dalam kolom Tau-Litik, polemik dan konflik itu memiliki makna berbeda. Polemik muncul ketika beberapa orang berkumpul membahas suatu gagasan, lalu timbul perbedaan pendapat. Sedangkan konflik muncul dari beberapa orang yang berbeda pendapat berkumpul untuk membahas suatu gagasan. Hadits nabi perihal perbedaan pendapat dalam kaum adalah suatu rahmat, bukan diartikan bahwa perdebatan ada gunanya. Lihat juga
historis dari munculnya hadits tersebut. Menurut beliau, hadits
tersebut muncul karena pada saat itu ayat Qur’an baru akan turun
ketika sahabat nabi membawa suatu permasalahan untuk
diperbincangkan atau dimintai pendapat mengenai pemecahan perkaranya. Melalui perbedaan pendapat saat itulah akhirnya perbedaan pendapat dinilai sebagai rahmat.

Bagaimana dengan kini? Kita bisa menarik hikmah bahwa perbedaan pendapat seharusnya tidak lagi terjadi ketika kita benar-benar percaya bahwa pedoman ummat manusia sebagai yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengelola rahmat Allah menjadi berkah, yaitu Al Qur’an dan Sunnah sudah ada dalam genggaman sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, berapa banyak yang percaya khususnya di Indonesia? Berapa kadar kepercayaannya? Seberapa besar kemampuan mengimplementasikannya? Cukup direnungi dan tak usah dijawab, pertanyaan ini untuk saya sendiri juga.

Indonesia dengan maskulinitasnya, sebagai Negara merdeka yang masih diberi kesempatan memiliki fasilitas menyampaikan kebenaran pada masyarakat global, dan Palestina dengan segala kesabaran kelemahlembutan dan kesetiaan pada janji Allah yang memiliki keterbatasan fasilitas untuk menunjukkan taring dan cakar di hadapan musuhnya. Hubungan yang katanya politik ini, padahal karena satu tubuh sebagai saudara muslim, atau minimal sebagai sesama manusia di muka bumi, semoga dapat erat genggaman tangannya demi melawan kemunkaran dan membuka mata masyarakat global atas apa yang sesungguhnya terjadi.

Satu hal yang belakangan sangat terlambat saya sadari dan yakini, kekuatan Indonesia bukan hanya berada di punggung menteri luar negeri dan kawan–kawan saja, tapi juga seluruh muslim Indonesia sebagai duta dan humas yang merepresentasikan umat Muslim di bumi Allah. Perbaikan itu juga semestinya ada dalam diri kita. Salah satu cara menyuarakan bagaimana islam sesungguhnya dan membantu Palestina tanpa menunggu menjadi kaya untuk kemudian mengelola media masa
swasta masyarakat global adalah, menulis sedikit saja pikiran yang
terlintas di kepala. Maka, komunitas bloger UNJ hadir sebagai salah satu media bagi kita semua (mahasiswa UNJ) yang ingin memperbaiki bersama-sama cara mengikat ilmu dan cara bersuara tanpa bunyi agar pesan sampai dan konsisten disampaikan pada mereka siapa saja yang
digariskan Allah untuk menerima pesan demi pesan.

Mari memperbaiki diri ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar