Senin, 31 Maret 2014

bosan gerak

mereka bergerak, hanya ketika ada yang familiar.
kami menengadah pada kreativitas, tapi dia membuang muka.
suatu saat, aku bergumul pada kebingungan.
karena aku bingung apa yang kubingungkan.
Padahal, itulah pertanda kekosongan.

dia berteriak "Mandiri!"
entah dia guru yang baik atau mentor yang keji
mungkin minus kacamataku yang bertambah
jadi aku melihat semuanya seperti buram

menjadi warna yang berbeda dalam trotoar,
aku seperti harus bertahan dalam ketulian.
kenapa harus ada prasangka sebelum mengenal?
ah ya, karena tak ada kepercayaan diantara kita

aku jadi sepertimu, berteriak pada kreativitas
"Kamu dimana?!"
dalam gerakan ini terdeteksi adanya bosan
tapi yang mendeteksi sebagian cuma diam
atau malas, jadi menyelipkan temuannya,

dia malas, engkau malas, aku juga jadi malas
padahal, kreativitas menengadahkan tangannya sambil berteriak pada media
tapi aku, kamu, dan dia cuma menengok dan bilang "Oh!"
kenapa kita masih jalan di tempat kalau begitu?

karena kreativitas kita lihat cuma mengais puing - puing tradisi peninggalan tetua kita, yang anti perubahan barang secuil,
secuil saja, mendapat tatapan sinis, dibilang gak logis karena gak pragmatis.
aku, kamu, dan dia. Kita sama - sama berparasangka pada media.

Idealisme Gie Sunyi






Ada beberapa hal yang saya tangkap setelah menonton film Soe Hok Gie. Salah satunya adalah kesepiannya sebelum mati. Ketika ia tertawa di pagar rumah Ira setelah ditolak ibunya Ira, ia justru tertawa. Tawa yang menyadarkannya bahwa ia sudah kesepian. Gie yang seorang bersuara lantang, kritis, rajin membaca keadaan dan hatinya selalu berkiblat pada rakyat. Titik awal yang membuatnya terjatuh adalah ketika ia justru sibuk dengan pacarnya. Seperti ketika saya menyaksikan fil Soekarno. Buang - buang waktu saja.

Ia seharusnya senantiasa meraptkan diri pada teman- temannya agar pemikirannya terjaga. Bukan hanya suara lantangnya yang kemudian menggaungkan nasib kekosongan seperti ketika ia akan mati. Ia mungkin masih bisa bersama teman - temannya untuk menjalankan aktivitas cita - citanya: kita nonton film dan naik gunung aja, tapi sekali - sekali, kita hantam kesewenangan pemerintah!

baiklah, yang saya lakukan nayatanya hanyalah merutuki apa yang di cover oleh sutradara film. Tidak lebih. Pelajaran menarik yang dapat dipetik adalah, film ini puitis. Saya harus menundukkan kepala demi lebih seksama menangkap apa yang dibunyikan pada tiap - tiap kosakata puisi. Lebih mengena. Imaji saya lebih berwarna daripada yang dapat dinikmati secara visual dari layar.

Gie mencintai sastra. Saya hanya menyukai sepertinya. Gie mahasiswa sastra. Saya  juga. Gie adalah pengamat yang tak ingin tercebur ke dunia politik kotor. Saya cenderung mengadopsi sedikit sifat - sifatnya yang ini.

Sungguh yang terasa kini adalah perbedaan yang mencolok, antara aktivis kampus jaman Gie, dengan aktivis kampus masa kini. Saya sendiri juga jadi malu, tak banyak yang saya baca. Saya juga tak pernah ingin terjun aksi. Bahwa kita harus berpihak pada yang lemah, melindungi kaum lemah dari kesewenang - wenangan, itu sangat benar. Bahwa burung bisa merenggut kebebasan karena belajar terbang, itu nyata.

Tapi ada lagi, menyampaikan kebenaran itu baik. Namun cara juga penting. Maka, untuk hal yang satu ini, Islam mengaturnya dengan pelajaran adab.

Saya menonton Gie, saya dapat membaca bukunya, saya mahasiswa seperti Gie, saya menyukai sastra seperti dia juga. Tapi yang ada kini adalah berbeda. Saya bisa meniru beberapa keteladanan darinya, termasuk dalam berpikir.
#terbawa