Bismillah..
Dalam sebuah cerita, ada masa dimana sang aktor menelungkupkan
tangan pada wajahnya. Itu bias jadi adalah pengucapan untuk penyesalan atau
syukur.
Baru saja kusaksikan, seseorang yang menulis benar – benar dengan
hatinya. Ada juga yang beraksi dengan niatannya. Hatinya teguh karena yang dia
kenal hanyalah keberanian menyampaikan kebenaran dan keteguhan. Orang – orang yang
begini, kusarankan agar kau rajin – rajin mengamati mereka. Belajar dari
mereka. Yang kusyukuri lebih jauh adalah mereka pantas menjadi imam. Tidak
seperti seorang ikhwan yang meyakinkan saya berkali – kali untuk memegang suatu
jabatan karena meyakini dirinya tak layak.
Justru, saya menyerang dia habis – habisan hanya lewat
beberapa percakapan. Seharusnyalah laki – laki merenggut taring mereka yang
hilang. Feminisme muncul karena mereka, sepatutnyalah dihilangkan oleh mereka
jua. Jangan menjadi yang lemah. Jangan ragu menjadi imam.
Jika perempuan lebih tangguh dalam suatu kondisi, itu adalah
atas izin-Nya sebagai pembuka mata dan pengetuk pintu hati bagi setiap laki –
laki yang masih berada pada zona nyaman mereka. Kemudian jika jiwa perempuan
tangguh ini mulai merasa lebih tangguh, perasaan itu bias muncul karena
pembiaran dari laki – lakinya. Ragu – ragu dalam mengucap bacaan aba –aba
gerakan shalat.
Porsi perempuan dalam sebuah pergerakan adalah pendamping.
Ia duduk sempurna ketika berada disana. Karena yang memiliki tabiat ketegasan,
penanaman, ada dalam sosok mudzakkir atau maskulin. Perempuan dengan segala
perasaan kepekaan dan prasangkanya, baiknya tidak terlalu sering maju menjadi
perisai. Ia paling baik dalam penjagaan formasi dan pemerhati koreografi inti
gerakan.
Tulisan ini belum disempurnakan. Terinspirasi dari sebuah
blog seorang calon imam yang tulisannya mempesona dan juga penggalan –
penggalan kenangan yang masih disimpan tentang imam yang baik yang pernah
memimpin (takbir tegas dan keras).
Kamar ibu, 2.05 pm (sedang dikejar deadline bab4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar