Minggu, 08 Juni 2014

kuat-lembut


Bismillah..
Dalam sebuah cerita, ada masa dimana sang aktor menelungkupkan tangan pada wajahnya. Itu bias jadi adalah pengucapan untuk penyesalan atau syukur.
Baru saja kusaksikan, seseorang yang menulis benar – benar dengan hatinya. Ada juga yang beraksi dengan niatannya. Hatinya teguh karena yang dia kenal hanyalah keberanian menyampaikan kebenaran dan keteguhan. Orang – orang yang begini, kusarankan agar kau rajin – rajin mengamati mereka. Belajar dari mereka. Yang kusyukuri lebih jauh adalah mereka pantas menjadi imam. Tidak seperti seorang ikhwan yang meyakinkan saya berkali – kali untuk memegang suatu jabatan karena meyakini dirinya tak layak.
Justru, saya menyerang dia habis – habisan hanya lewat beberapa percakapan. Seharusnyalah laki – laki merenggut taring mereka yang hilang. Feminisme muncul karena mereka, sepatutnyalah dihilangkan oleh mereka jua. Jangan menjadi yang lemah. Jangan ragu menjadi imam.
Jika perempuan lebih tangguh dalam suatu kondisi, itu adalah atas izin-Nya sebagai pembuka mata dan pengetuk pintu hati bagi setiap laki – laki yang masih berada pada zona nyaman mereka. Kemudian jika jiwa perempuan tangguh ini mulai merasa lebih tangguh, perasaan itu bias muncul karena pembiaran dari laki – lakinya. Ragu – ragu dalam mengucap bacaan aba –aba gerakan shalat.
Porsi perempuan dalam sebuah pergerakan adalah pendamping. Ia duduk sempurna ketika berada disana. Karena yang memiliki tabiat ketegasan, penanaman, ada dalam sosok mudzakkir atau maskulin. Perempuan dengan segala perasaan kepekaan dan prasangkanya, baiknya tidak terlalu sering maju menjadi perisai. Ia paling baik dalam penjagaan formasi dan pemerhati koreografi inti gerakan.

Tulisan ini belum disempurnakan. Terinspirasi dari sebuah blog seorang calon imam yang tulisannya mempesona dan juga penggalan – penggalan kenangan yang masih disimpan tentang imam yang baik yang pernah memimpin (takbir tegas dan keras).

Kamar ibu, 2.05 pm (sedang dikejar deadline bab4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar