Rabu, 13 Januari 2016

Orang Berpayung

Percikan air yang jatuh satu-persatu di telapak tangan saya menyadarkan bahwa betapa pun kesalnya saya pada dingin yang menggigit, pada pak supir yang lambat sekali melaju kendaraannya, juga kepada sesuatu yang sempatsaya tangkap ketika sampai di pasar klender.

Seorang perempuan turun dari sebuah mobil membawa payungnya yang setengah terbuka. Mobil tersebut berhenti di dekat pintu pagar pasar namun tidak menepi. Akibat dari perbuatan si supir mobil tersebut, beberapa kendaraan, termasuk yang sedang saya tumpangi berhenti sejenak. Rasa sayang kita kepada sesuatu selain diri kita bisa jadi belum tentu selalu menjadi kebaikan atau keuntungan bagi yang lain. Saya percaya si supir mobil pasti juga mementingkan kepentingan kawannya yang baru saja turun. Agar lebih mudah menuju jalan keluar dari pasar, maka ia diturunkan di pagar yang jebol dan memiliki dataran lebih tinggi agar lebih rendah pula genangan air yang menutupi setapak tersebut,

Tangan saya masih terus saja memutih dan mengkerut. Kecepatan si supir masih saja sama, agaknya saya taksir di bawah 20 km/jam. Memasuki kawasan jatinegara kaum, saya memaksa otak yang ada pada saya untuk memikirkan apa yang bisa dipetik sebagai hikmah dalam suasana yang begini? Grateful is everything. Ms. Brightside, apa saja hikmah yang terserak dan belum sempat dikumpulkan?

Satu, air yang tumpah ruah menyapa Jakarta kali ini merupakan suatu wujud kasih sayang-Nya kepada keluhan seorang ibu di suatu pulau di gugusan kepulauan seribu. Ibu tersebut tanpa sengaja membuatkan kopi rasa asin untuk suami terkasihnya. Tak dinyana, air R.O (reverse osmosis) yang dibelinya ternyata masih saja memiliki kandungan mineral garam, Di hari lain, ia mengaku tetap merawat kebun hidroponiknya meski harus menginvestasikan uang lebih untuk dialokasikan membeli R.O untuk tanaman-tanamannya. Biasanya ia bisa mengginakan air hujan yang ditampung untuk menjadi air baku. Namun, el nino yang panjang tahun ini membuat ia tidak bisa menadah hujan lagi. Tadah hujan menjadi sesuatu yang menimbulkan gurat ragu di alis setiap kaum ibu kala itu.

Masih saja dengan memandangi butiran air yang jatuh, Jakarta, Bandung, Jogja, dan daerah Indonesia yang lainnya begitu dalam kerinduannya kepada hujan, kepada petrichor, kepada abu-abunya awan yang bergumpal, kepada angin yang menyejukkan, juga mungkin kepada kesempatan lain untuk lebih dalam menggumamkan do'a, mengumandangkan syukur dan memanjatkan pinta.

Orang berpayung.
Payung adalah suatu benda yang melindungi kepala, bagian
Seseorang yang terbiasa berjalan di bawah hujan pasti tahu ada dua hal yang saya pikirkan, yaitu ketika payung seseorang berpapasan dengan payung milik orang lain dan bagaimana orang dalam kendaraan memperlakukan orang berpayung.

Tidak seperti ketika kita berjalan di bawah terangnya cuaca. Dengan berpayung, seseorang membutuhkan  space lebih sesuai dengan diameter atap payung yang digunakan. Ketika satu oramg berpayung menjalankan peran dan fungsi sosialnya dengan orang berpayung yang lain, maka, kita mestinya lebih peka dalam berinteraksi. Berapa banyak orang yang bersepakat untuk menjaga dan melindungi interaksi yang terbangun di tengah hujan tersebut? Saiapakah yang akan merendahkan posisi ketinggian payungnya terlebih dahulu agar jalanan yang mungkin saja sempit dan terbatas untuk dilalui oleh dua orang berpayung bisa cukup untuk dilewati?

Jawabannya mungkin saja kita.


Lalu bagaimana pula sikap orang dalam kendaraan memperlakukan orang berpayung yang mesti melalui beragam jenis genangan air dengan beraneka ketinggian lubangnya? Dalam rintik hujan, bisa jadi siapa saja merasa terburu-buru untuk menunaikan urusannya, Tapi tidak menutup juga kemungkinan lain bahwa ada yang menikmati dan bersyukur dengan kehadiran hujan yang menyela aktivitasnya. Kita, seberapa jauh kita termenung memandangi apa-apa saja yang terjaid ketika hujan turun selain menghayati kenangan dan lamunan pribadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar