Sabtu, 10 September 2016

If Tomorrow Never Comes

Tiga variabel out of the box di Cikini


dokumentasi /kit

Sabtu, 20 Agustus 2016. Siang itu cuaca cukup panas. Kendaraan tidak terlalu banyak dan rapat begitu masuk kawasan Cikini. Pandangan mata kami menyapu sisi kiri jalan, mencari-cari plang Ke:kini. Tapi sulit ditemukan sampai dua kali kami berputar dan melawan arus di pinggir sejauh 40 meter. Saya turun untuk bertanya pada petugas parkir di sana tapi ia mengaku tidak tahu. Maka kawan saya, Wibowo, menelepon pihak penyelenggara dan bertanya posisi persisnya. Akhirnya kami mendapatkan lokasinya dan masuk.

Bertiga dari Variabel Bebas, saya, Reza, dan Wibowo menghadiri sebuah undangan terbuka, Share stories, namanya. Lokasinya di markas Ke:kini, Cikini raya. Pukul 13.00 lewat, acara dimulai dengan pembukaan dari Mbak Felincia Hutabrat selaku host dari Ke:kini. Mbak Felin kemudian memperkenalkan pembicara yang akan buka suara di siang hari itu, Mas Iboy dari MakeDoNia, Mas Erwin dari unjuk.in, dan Mas Adi dari LabTanya.

Jujur saja, pertama membaca leaflet undangan terbukanya, saya masing puzzling, acaranya akan seperti apa dan diagram kaitannya akan seperti apa. Dan masuklah Mas Iboy sebagai pembuka.

Maker
Lewat Hackethon, Makerthon, dan thon-thon (marathon) lainnya, banyak orang khususnya pemuda di seluruh dunia (mungkin khususnya di Asia, Tenggara) yang berpartisipasi dalam event ini. Konsepnya simple, yaitu membuat suatu karya tangan dalam rentang waktu tertentu (12/24/36 jam) nonstop bersama kelompok masing-masing untuk kemudian dipresentasikan di hadapan juri. Finalis-finalis dari berragam titik event akan dipertemukan dan kemudian diadu lagi. Itu penjelasan teknisnya.

Penjelasan historisnya lebih seru. Konsep. Ia yakin sebenarnya setiap orang bisa membuat apa saja asalkan berlatih. Budaya DIY (Do it yourself) mesti dikembangkan lagi agar lebih banyak gerakan masif dari masyarakat untuk bisa mandiri. Ia sendiri pun belajar apa saja termasuk crocheting. Di Singapura, ada saja kursus untuk menyeberang. Dan Mas Iboy punya modulnya. Mas Iboy ini nyaris punya modul untuk apa saja karena memang itu lah yang kini banyak dicari orang. Ide dari MakeDoNia itu ya dari sana. Sayangnya, ketika suatu produk hasil makethon sudah dipresentasikan, putus. Berhenti sampai kompetisi saja. Ia merasa ada yang salah. Misal, untuk sebuah karya seni. Karyanya kemudian entah dikemanakan karena untuk dilelang pada kolektor pun secara kualitas tidak matang dan kurang karena pengerjaan yang hanya dalam hitungan jam saja. Apresiasi terhadap karya tangan sendiri masih sangat memprihatinkan di Indonesia. Itu sebabnya ia menggandeng Mas Adi agar bisa berkolaborasi dalam pembuatan karya yang sustainable dan bermanfaat.

Sustainable living, death preparation
Kemudian Mas Adi masuk. Ia adalah seorang arsitek yang sempat mengalami kegalauan dan akhirnya rasa galau itu menjadi inspirasinya untuk mengubah pola pikirnya selama ini. Sebagai seorang arsitek, alur yang biasa ia jalani adalah menerima telepon dari klien untuk tawaran merancang sebuah bangunan. Ketika hendak membangun, otomatis ia dan tim akan melakukan analisis persmasalahan di lingkungan sekitar site untuk kemudian membuat rancang bangun yang sesuai dan pas. Tapi di sisi lain, ia menemukan bahwa permasalahan lingkungan muncul salah satunya dari tata arsitektur kota dan bangunan yang berantakan dan egois. Jangan-jangan, keputusan untuk tidak membangun adalah suatu keputusan arsitektural? Ini yang kemudian menginspirasinya untuk berhenti menjadi arsitek penunggu panggilan telepon.

Malang melintang di dunia desain arsitektur membuatnya ikut rutin menjadi peserta lomba-lomba desain yang dilaksanakan secara regional maupun nasional. Suatu ketika, karyanya masuk daftar label provokatif namun tidak mendapatkan tempat sebagai juara (saya lupa kategori tepatnya). Ketika ia bertanya sebabnya, jawaban para juri adalah karyanya tidak mungkin diaplikasikan pada saat ini di Indonesia. Baru akan bisa dilaksanakan nanti sekitar 50-100 tahun lagi. Sejak saat itu, ia hanya yakin ide dan perspektif visinya akan terus berbenturan jika menempuh jalur formal. Dan ia akan memiliki jalur cerita lain jika menempuh jalur nonformal untuk merealisasikan ide dan visinya untuk menepis kegalauan tanggung jawab sebagai seorang arsitek yang juga manusia.

Susiadi Wibowo menggarap LabTanya dengan tagline zero waste city. Tagline ini bukanlah tujuan mereka. Mereka hanya penasaran dan mencari tahu apakah memungkinkan zero waste city terwujud. Jadi, yang mereka lakukan bukanlah untuk mencapai tujuan, melainkan mencari tahu kemungkinan realisasinya. Mungkin seperti sebuah paragraf deduktif-induktif. Yang Mas Adi pilih adalah menjadi paragraf induktif, bukan deduktif. Zero waste city tidak mungkin terwujud jika kita tidak mengubah cara kita memandang permasalahan. Selama ini, jika kita menemukan suatu masalah, lantas menelurkan solusi namun kemudian timbul lagi masalah-masalah lain dari solusi tersebut, jangan-jangan yang kita pandang sebagai masalah, bukanlah masalah yang sebenarnya. Bagaimana jika ternyata masalahnya sesungguhnya adalah konteks atau cara kita memadang masalah?

Paradigma kita terhadap sampah misalnya. Apakah selesai jika kita menyelesaikan persoalan sampah dengan mengangkutnya ke Tempat Pembuangan Umum secara teratur? Tidak. Karena sampah tersebut tidaklah hilang. Melainkan berpindah tempat saja. Termasuk incinerator yang seperti sulap menghilangkan segala jenis sampah, padahal kandungan zat berbahaya dari sisa pembakarannya menguap ke atas dan tak kasat mata sehingga sulit dideteksi.

Jadi, karena sampah itu dihasilkan dari proses konsumsi kita, ya aksi nyata untuk mengurangi sampah adalah dengan mengurangi  konsumsi kita dong. Dalam hal ini, memang pada kenyataannya, kita berhadapan dengan industri produsen. Tapi karena sampah dihasilkan dari dalam rumah, maka, kita bisa bantu untuk menguranginya dengan memilih barang yang kita konsumsi. Itu lebih efektif efisien ketimbang daur ulang yang belum tentu semua jenis sampah plastik bisa didaur ulang, pun kalau ada yang bisa didaur ulang menjadi produk baru, maka kualitasnya akan turun.

Persoalan sampah bukan hanya kewajiban dan hak para sarjana atau master teknologi lingkungan atau titel apapun yang berkaitan dengan lingkungan. Karena toh kita semua dengan berragam latar belakang dan status, memproduksi sampah dari rumah masing-masing dan lingkungan memang milik kita semua. Jadi, paradigm mengenai batasan disiplin ilmu sudah saatnya diganti. Sudah saatnya kita membicarakan konteks dari suatu permasalahan agar penyelesaiannya lebih efektif dan sustainable (berkelanjutan).

Kolaborasi
Gerakan makerthon nanti bisa dibilang sebagai suatu trigger agar masyarakat terutama kaum muda lebih mau bereksperimen membuat atau memproduksi sesuatu namun tidak turut serta menambah permasalahan lingungan yang baru dan karyanya berkelanjutan. Mas Adi menyarankan semua yang hadir untuk menyepakati dulu mengubah pandangan terhadap teknologi. Karena yang dimaksud teknologi tidak selalu berkaitan dengan modernisasi dan kecanggihan-kecanggihan konstruksi atau desain yang rumit yang hanya dimengerti segelintir orang. Cangkul, engsel pintu, dan benda tradisional lainnya pun sebuah teknologi. Ada dua hal penting yang saya catat sepulang dari sana, yaitu, bangga terhadap karya sendiri (sekecil apa pun, atau meski manfaatnya hanya baru bisa untuk diri sendiri) dan lebih tepat memilih jalan keluar untuk suatu masalah dengan memandang konteksnya.
Kamu, berani out of the box?

20 Agustus 2016

/kit

Menemui Para Pendengar

Menemui Para Pendengar


dokumentasi oleh Reza Wulandari

Awalnya sampah
Kawan seperjalanan saya mual karena Kerapu yang terombang-ambing di bawah langit mendung dan gerimis pagi itu. Ia memuntahkan rasa mualnya ke dalam kantong plastik kresek ukuran kecil. Anehnya, itu terjadi justru ketika kapal merapat ke dermaga dan sebagian penumpang tengah melompat ke luar. "Ada bau bensin", begitu pengakuannya saat saya tanya apa sebab hingga ia mual ketika kapal tiba di dermaga. hehe Sembari menungguinya, saya menjawab sapaan dan pertanyaan dari kapten kapal.

"Kenapa temannya? Nangis ya karena pengen ketemu orang tua?" candanya. Kapten baik hati yang bersedia menunggu kami siap keluar kapal kemudian menyarankan untuk membuang saja sampahnya ke jendela kapal. Dua-tiga kali sarannya itu kami pertimbangkan sepersekian detik sambil saling tatap. Kekeuh, kami jawab," hehe tidak, terima kasih. Biar nanti ketika bertemu tong sampah saja, Pak."

Ucap salam sambil terima kasih karena telah menunggui kami, kami pamit keluar kapal. Ah, andai ia tahu, sampah lah yang membuat kami saling bertemu dan berkenalan hingga akhirnya sepakat untuk bermimpi bareng-bareng.

KI dan hujan
Kelas iklim tidak terlaksana hari itu karena dua anak yang tengah menunggu dalam gerimis sudah keburu pulang sebab belum muncul kawan-kawan lainnya dan juga fasilitator. Anak-anak dari Pulau Panggang yang sudah menyeberang pun dalam perjalanan memutar balik karena kondisi cuaca sedang ingin meluruhkan airnya ke bumi bersama angin. Buat kami yang berjalan menerabas gerimis, hal itu jadi peluang memetakan sekilas daerah mana saja yang baiknya ada LRB agar tidak ada lagi genangan air.

Taman Botol
Berempat bersama Bu Mahariah (biasa kami panggil Ibu) dan Bu Ratna kami mengeksekusi taman botol di kawasan hutan widu. Dimulai dengan saya menggambar pola bunga yang diingini di lahan samping kiri Rumah Hijau Mart. Kemudian, berdua bersama Bu Ratna, kami memindahkan pot-pot tanaman talas ke seberang. Kami menemukan ada lima-enam kawan sejenis cacing tetapi bukan cacing tanah di setiap pot yang dipindahkan. Seperti keluwing tapi merah dan besar hingga rasanya mata dan mulut senyumnya bisa saya lihat (oke ini berlebihan, tapi soal matanya, benar. Cek sendiri kalau ragu). Juga ada tiga-empat bekicot besar diantara seluruh pot yang dipindahkan. Saya memilih mantap mengangkat pot-pot yang ada cacingnya, dan Bu Ratna bersedia mantap mengangkat pot-pot yang ada bekicotnya. Bekicot itu hewan paling tidak setia setelah lintah karena mereka menempel pada apa saja. haha Oke, kembali pada kegiatan. Lalu agar lahan siap, kami menemukan ada empat pohon di sekitar lahan. Dua tanaman jahe, satu jenis rimpang lain, dan calon pohon sukun. Ada juga satu pohon yang batang besarnya masih tertanam menghujamkan akarnya ke bawah tapi saya lupa bertanya pada Mbok Mbun itu pohon apa. Berdasarkan keterangan Mbok Mbun dan Ibu, jahe itu panas, maka pertumbuhannya baiknya tidak berdampingan dengan tanaman yang rencananya akan ada di taman botol. Disepakatilah untuk memindahkan dua jahe tersebut ke polybag. Saya yang bertugas mengeksekusi itu merasa deg-degan juga. Semoga tidak mengganggu pertumbuhan dua jahe tersebut nantinya karena proses pemindahannya. Hati-hati menyekop akar.

Berikutnya, kami membantu Eja menyiapkan botol-botol air mineral bervolume 1,5 liter dan mengisinya dengan air berwarna dicampur cuka. Lumayan butuh perjuangan karena menimba air dari sumur itu butuh teknik agar embernya terisi penuh. Eksperimen warna juga hal yang seru ketika mendapati air racikan jadi mirip sirup temulawak, sirup jeruk, teh, atau daun cincau. Karena ada lima kelopak bunga, kami berhitung satu kelopak membutuhkan 44 botol. Jadi, agar kelopaknya sempurna mewujudkan taman botol, kami butuh 200 lebih botol! Baiklah, kami manfaatkan sampah yang ada di bank sampah. Setelah usai menyiapkan botol-botol berwarna, kami mulai mengerjakan lahan, yakni mulai menggali untuk menempatkan botol-botol tersebut ke dalam tanah sedalam 1/4 bagian botol. Kami menggunakam tiga perkakas saja untuk ini: sekop, golok, dan cangkul kecil (entah nama aslinya apa, gathuk, sepertinya). Yang paling cepat pengerjaannya adalah Ibu yang menggunakan golok karena butuh lubang yang berbentuk balok tanpa atap untuk dapat dimasuki botol-botol air mineral. Golok sangat baik untuk mencacah sekaligus memahat permukaan tanah. Ketika menggarap, tidak jarang kami berpapasan dengan akar dari tumbuhan lain. Kami mengikuti saja pola yang ada di dalam tanah dengan membiarkan jalur akar tetap berada di tempatnya.


Malam mikir, pagi aksi
Entah kenapa saya rasa, malam selalu menghadirkan gelora candu aneh untuk membuka ruang diskusi seluasnya untuk berpikir, merancang angan, atau bertukar ide. Pengganti yang cukup imbang dari ketiadaan anak-anak mengaji seperti biasa ketika saya menjadi tamu di rumah Ibu.
Dibuka dari sebuah buku tentang pencarian harta VOC yang kemudian mengawali diskusi tentang kolonialisme, nasionalisme, kapitalisme, tumbal modernisasi, hedonisme, konsumtif, hingga grass-root movement.

Permintaan dan penawaran vs kebutuhan dan ketersediaan.
Kini, kita didikte untuk menjadi orang lain. Sedangkan orang lain tersebut sesungguhnya tengah mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan. Ibu bilang bahwa Gus Dur suka sekali dengan sirkulasi. Sirkulasi titipan. Bahwa kita memiliki sesuatu yang melampaui kebutuhan kita, kita mesti memutar atau membagikannya kepada orang lain agar titipan tersebut mengalir. Petaka terjadi awal mula sejak ada ide untuk menyimpan atau menggudangkan apa yang kita miliki. Nabi Yusuf a.s juga mengajarkan, penyimpanan terbaik adalah dengan menanam. Bukan menahannya. Untuk memenuhi kebutuhan di masa depan, perlu untuk terus menanam. Bukan menyimpan dalam gudang. Agaknya, hal ini mirip dengan kulkas. Sejak munculnya kulkas, pembagian makanan antar tetangga berkurang atau hilang. Orang akan lebih senang menyimpan untuk cadangan. Padahal, barang yang disimpan lama di kulkas besar potensinya untuk menumpuk kuman. Paman saya di desa pernah bilang jika pohon mangganya sedang berbuah banyak, ia memilih untuk membagikannya kepada siapa saja yang lewat. Ketimbang menyimpannya dalam rumah atau kulkas. Padahal, dalam sistem sharing food ada silaturahim dan ada kegiatan bertani. Itu tradisi yang kini mulai hilang.

Masyarakat pedalaman dan tradisional indonesia dulu menerapkan hukum kebutuhan dan ketersediaan yang melambangkan perilaku hidup sederhana dan imbang dengan alam. Menginginkan lebih untuk memperkaya diri adalah tanda kerakusan dan keserakahan yang merupakan awal petaka kesejahteraan manusia lewat kekayaan yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Dan ujungnya adalah, munculnya mata uang yang sesungguhnya adalah alat tukar. Hanya alat tukar. Ibu menyontohkan, jika suatu hari seseorang membawa uang milyaran tapi tersesat di tengah hutan belantara. Useless.

Kemudian, sebagai bentuk kesadaran dan keinginan untuk perubahan, ada sebuah desa yang menerapkan sistem barter sebagai sistem jual belinya. (Ibu lupa nama desanya). Mungkin, suatu hari, kita bisa juga menerapkan sistem barter atau sharing tools. Untuk menekan laju konsumsi yang dapat mengurangi sampah, hidup lebih sehat, dan angka water footprints yang lebih sedikit.

Lalu, Ibu memaparkan poin yang kemudian menjadi favorit saya malam itu. Pernahkah kita berhitung dalam rupiah berapa besar yang telah dikeluarkan orang pulo sebagai modal untuk menjalankan roda pariwisata dan berapa besar keuntungan orang pulo yang didapatkan dari jalannya si pariwisata tersebut? Untuk menikmati karang indah, misalnya, butuh sense of art. Doesn't make sense kalau pengaku pencinta keindahan justru merugikan karang seperti menjadi penyebab karang yang patah atau rusak. Padahal, 1cm karang yang patah membutuhkan waktu sekian tahun untuk dapat tumbuh kembali. Itu pun perlu kondisi air yang memenuhi syarat agar karang tumbuh dengan baik. Sedangkan resiko kerusakan karang menjadi besar oleh karena pariwisata. Berikutnya, pohon-pohon yang ditebang untuk diambil lahannya guna mendirikan bangunan-bangunan baru seperti penginapan. Lalu, air tanah yang terus disedot untuk kemudian memenuhi kebutuhan wisatawan dalam penginapan. Ada lagi, pohon-pohon yang diambil kayunya untuk kemudian dijadikan bahan baku pembuatan kapal. Bahan bakar yang digunakan untuk hilir mudik kendaraan angkut. Dan akhirnya, masuk ke ranah dampak sosial untuk kebudayaan masyarakat lokal seperti pandangan, gaya, dan orientasi hidup. Rasanya tidak akan sebanding apa yang dikeluarkan dengan apa yang diterima sebagai gantinya. Padahal, orang pulolah yang paling cepat mesti menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, secara geografis dan juga sosial.

Jika kepariwisataan kita kini tengah berada di titik jenuh, sepertinya memang mesti ada gebrakan pandangan baru untuk sekaligus mengatasinya. Untuk ini, Ibu menyarankan segmentasi pengunjung. Karena level penikmat keindahan bisa jadi berbeda-beda dan tidak berbanding lurus dengan modal yang dimiliki. Jika dilakukan riset lebih lanjut, motif orang untuk mengadakan perjalanan wisata ke pulau pasti berbeda-beda ragamnya, seperti berenang, menyelam, menikmati bau laut, kuliner, menikmati budaya orang pulo, dlsb. Dan itu bisa dibuat segmentasi atau level agar lebih sinergi dengan konservasi yang sedang dilakukan.

Dulu, home stay dan tamu adalah sematan bermakna harfiah yang merujuk pada tempat tinggal warga sebagai induk semang dan siapa saja yang datang untuk berkenalan dengan apa yang ada di pulau, termasuk masyarakat dan budayanya. Bukan hanya alam. Tamu tinggal di rumah penduduk sekitar untuk belajar banyak. Dengan begitu, kontrol dan filter budaya lebih bisa dijaga ketimbang penggunaan konsep seperti yang ada saat ini. Dan budaya otomatis akan juga berdampak pada perilaku kita terhadap alam. Gerakan budaya yang lainnya adalah melalui pendidikan. Kini, di Pulau juga sudah digaungkan gerakan memasak di rumah unuk ibu-ibu agar setiap anak ke sekolah membawa bekalnya masing-masing. Upaya nyata mengurangi sampah dengan mengurangi jajan dan asupan nutrisi anak bangsa yang lebih baik.

Two hands in 15
Pagi sekali, kami coba melakukan two hands project selama 15 menit dekat panggung di sebelah barat laut pulau. Hasilnya, banyak sekali plastik kemasan ditemukan.  Dan dipastikan sampah-sampah tersebut adalah sampah hanyutan yang terbawa air saat pasang. Jaket, popok, balon, kresek, kemasan, botol plastik, botol bening, kayu, tongkat besi, dlsb. Itu saja hasil pengamatan sementara.

Selanjutnya, kami bersiap untuk keliling bersama pengurus rumah hijau mengeksekusi LRB dan kontrol hidroponik di beberapa titik.

Ar Rahiim, Al Lathif, Ash Shobur,
Jika Anda menengok time line akun sosial media VB, bisa dilihat bahwa tangan-tangan halus ibu-ibulah yang dominan muncul dalam eksekusi di tiap rumah. Hehe mungkin karena naluri sabar, memelihara, menyayangi, dan lembut yang dipunya kaum ibu untuk bergerak. Terampil, mantap, semangat mengaduk semen untuk bahan plesteran dan aci serta melubangi tanah dengan bor. Asyik dan seru! Anak-anak juga turut serta ikut belajar sambil menghibur. Biusan semangat. Bertani, hidup sehat, dan menjalin komunikasi yang baik dengan alam adalah mimpi indah ibu-ibu ini untuk rumah diri yang lebih hijau.
Superwomen.
:)

27-28 Agustus 2016

/kit