dokumentasi /kit
Jika hari ini seorang Perdana
Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja
menaiki takhta
Jika hari ini Presiden sebuah
Negara
Jika hari ini seorang ulama yang
mulia
Jika hari ini seorang penulis
terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi
dewasa
Sejarahnya dimulakan oleh seorang
guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar
tulis-baca.
-Usman Awang 1979
Siapa yang kita sebut sebagai
guru? Ia yang kita sudah kenali sejak kecil memberikan pekerjaan pekerjaan
rumah untuk dikerjakan, esok ketika ada yang tidak mengerjakan, siap – siap lah
menerima hukuman. Guru adalah sosok yang juga menjelaskan banyak hal menarik
sejak kecil, menanamkan nilai – nilai kebaikan entah membantu teman atau
mempertahankan kejujuran. Guru memiliki banyak warna , dan macam – macam
rupanya. Ada yang teduh, ada yang riang penuh canda, ada yang gelap murung dan
tegas, ada yang tak pernah tersenyum kecuali saat pengambilan rapot saja. Itu
semua adalah sebuah identitas yang disematkan untuk orang – orang yang berdiri
di depan kelas memegang kapur atau spidol atau buku absen dan peluit (jika
olahraga). Mereka adalah guru. Selalu di depan kelas, akan berjalan ke belakang
kelas sesekali hanya jika sedang ulangan.
Beranjak besar, pemahaman sosok guru
kian berubah, ia bisa hadir dari bermacam – macam rupa dan bentuk. Ia adalah
juga seorang nenek keriput tua dengan senyum gigi ompong terindah yang
mengajarkan untuk terus berbuat baik dan ingat pada Allah, ia sudah tiada dapat
ditemui di bumi, kecuali dalam hati. Guru juga adalah seorang ibu rumah tangga
penjaja buku perpustakaan keliling. Guru juga adalah seorang nelayan yang teguh
menanamkan ajaran mencintai, berkomunikasi, berkawan dengan alam pada anaknya,
hal yang belum bisa didapatkan di sekolah formal. Guru juga adalah ibu atau
bapakmu ketika ia diam dan marah untuk kau yang pulang terlambat, terlalu
larut, atau lupa membalas pesan singkat. Teman yang menangis di hadapanmu
karena ketakutan telah membantu memalsukan tandatangan juga kemudian menjelma
menjadi guru. Jika definisi guru adalah pendidik nilai – nilai kebaikan dalam
kehidupan, maka setiap makhluk berpotensi untuk menjadi guru. Rasulullah juga
disebut sebagai Muallimul awwal fil islam, tanpa pernah ada satupun lembaga
kenegaraan yang menyematkan identitas tersebut pada beliau. Sesungguhnya identitas
sebagai pendidik sungguh semestinya berjalan apa adanya, alami, tanpa di reka –
reka apalagi sertifikasi dan lainnya.
Yang akan saya ceritakan dalam
kisah yang satu ini adalah guru yang memiliki legitimasi identitas untuk
menyandang predikat sebagai guru sekolah. Guru sekolah tentu berbeda dengan
guru kehidupan. Untuk menjadi guru sekolah, seseorang harus memiliki dan
melalui persyaratan – persyaratan tertentu. Sesuai dengan peraturan yang
digulirkan pemerintah.
Dukacita kerap menyelimuti
profesi guru ketika media mengabarkan beragam hal fakta buruk yang terjadi. Hal
ini tentu akan mempengaruhi citra seorang guru di mata masyarakat. Karena sudah
kita ketahui bahwa media berperan besar sebagai jendela informasi yang
dipercaya sangat amat akurat untuk diserap dan merupakan dominasi dari
kebenaran. Mulianya profesi keguruan tergerus dengan sangat hebat terutama
ketika masa – masa Ujian Nasional hendak diselenggarakan. Kecurangan yang berlangsung
secara sistemik dan melibatkan banyak lini dalam system pendidikan kita tentu
saja membuat guru sebagai sosok pertama yang akan disorot dan diinterogasi
pertanyaan masyarakat.
Berdasarkan sajak Usman Awang di
atas, guru adalah pusat kemuliaan dan kebermanfaatan bermula. Sajak tersebut
menyampaikan betapa kegiatan mendidik seorang guru adalah awal pembuka dan
penentu masuknya ilmu ke dalam orang - orang dengan beragam profesi lainnya
yang disebutkan di atas saat kanak - kanak. Pada 1979 kira – kira Indonesia
memang sedang mempersiapkan seluruh anak negeri untuk mampu mengenal tanda baca
latin. Istilah pemberantasan buta huruf semestinya tidak digunakan pada zaman
repelita tersebut. Karena meskipun tidak berkenalan dengan huruf latin,
sesungguhnya masyarkat lama telah mengenal huruf arab melayu.
Dalam perkembangan dunia
pendidikan modern di Indonesia, jika dikaitkan dengan sajak di atas sosok guru
kekinian justru mengeluh jika ada satu orang muridnya yang berbeda dari anak –
anak seusianya, belum mau dan mampu membaca atau berhitung dengan lancar.
Segala gagasan tentang mulianya profesi guru tergerus bahkan terlupakan oleh
para praktisinya. Setiap kemuliaan kemudian dianggap sudah semestinya
mendapatkan peng’harga’an. Harga yang benar – benar diartikan secara literal berupa naiknya gaji guru
ditambah tunjangan – tunjangan yang menggiurkan bagi guru PNS. Sehingga
pendidik memang menjadi profesi incaran namun orientasinya menjadi terbelokkan
dari yang banyak orang harapkan: materi dan kesejahteraan, bukannya kemuliaan
karena pahala dan cinta terhadap ilmu. Baru – baru ini saya temui pembicaraan
yang pertama dibuka untuk lowongan posisi sebagai guru adalah mengenai
fasilitas hak dan kenyamanan. Pembicaraan mengenai pembekalan dan kondisi
perpustakaan serta laboratorium justru ada di akhir, bahkan hampir tak dibahas
jika ak saya tanyakan. Sebuah potret dimana kondisi guru kita belum menyatu
erat dengan belahan jiwanya: ilmu (dalam hal ini direpresentasikan oleh
perpustakaan dan kultur akademik). Suatu fakta yang siapa saja layak untuk
merenungi kembali untuk kemudian mengheningkan cipta.
Seiring dengan kesadaran para
pembelajar pendidikan untuk kembali pada hakikat dan mulai berfilosofi tentang
sistem penyelenggaraan pendidikan yang kini tengah berjalan, muncul suatu
gagasan untuk kembali mengenal dan menerapkan pesan Ki Hajar Dewantara. Salah
satunya yang berkaitan dengan eksistensi guru adalah tentang trisentra
pendidikan.
Yang disebut dengan trisentra
pendidikan adalah: keluarga, masyarakat,
dan sekolah.
Ketiganya adalah unsur yang mesti
berkolaborasi tanpa sekat dalam membangunkan negeri dari tidur panjangnya.
Membawa obor pendidikan demi kemuliaan hakiki untuk menerangi peradaban
Indonesia. Melalui pesantren, melalui sekolah alternatif, melalui pendidikan
berbasis keluarga, kemunculan dan kebangkitan trisentra pendidikanlah yang
kemudian setiap pembelajar dapat mengembangkan makna guru, ilmu pengetahuan,
ruang kelas, dan sekolah dengan lebih luas daripada persepektif sempit yang
kini berlaku.
Guru tetaplah ia, mereka, dan
bisa jadi anda selama ia mau dan mampu membagi harta warisan paling berharga
yang manusia miliki sebagai bekal:
pendidikan, ilmu, dan pengetahuan kepada pihak lain dengan segenap hati
dan cintanya.
Sebuah anak – anak komunitas
blogger UNJ membuat perjanjian di antara mereka untuk menghargai dan membalas
budi baikmu lewat tulisan kecil sederhana. Aku masuk dalam komunitas tersebut.
Berikut pesan dariku untukmu, guru.
Untuk setiap guru kehidupan, aku
ingin menyapamu dengan manis dan santun. Haturkan rasa terimakasih yang dalam
karena akan menjadi insan yang seperti apa aku kelak, akan berada di barisan
yang mana aku di masa depan nanti, itu semua tergantung dari pendidikan yang
kuterima sejak ditiupkan ruh dalam rahim dan berjanji untuk beribadah pada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar