Rabu, 24 September 2014

Laut pun Enggan Menelan


Jika saya bisa hadir ke acara tersebut dengan cara yang baik, maka saya juga mestinya hanya bisa pulang dengan cara yang sama seperti saya pergi. 

Bismillah… 

Usai sudah pelatihan relawan GERBANG yang dihelat selama dua hari (18 – 20 September) oleh panitia: SPKP SAMO – SAMO dan Variabel Bebas. Kertas harapan yang dibagikan panitia begitu memasuki meja registrasi di hari pertama tidak sempat saya kumpulkan, maka saya tuliskan disini. Harapan saya ketika berangkat adalah saya dapat menularkan pengetahuan, pengalaman dan semangat merengkuh pengelolaan sampah – sampah mulai dari sampah yang berasal dari kita sendiri pada anggota keluarga di rumah, tetangga, dan teman – teman nyata maupun maya. Seperti halnya sebuah kesadaran yang sampai pada seseorang, sebesar kesadaran itulah yang kemudian harus juga ditularkan kepada kawan - kawan manusia lainnya (idealnya). 

Saya percaya hanya atas izin-Nya lah yang kemudian menggariskan saya mampu hadir secara utuh dalam mengikuti rangkaian agenda pelatihan. Lima orang dari Variabel Bebas yang lolos hasil seleksi tulisan oleh panitia adalah Saya, Tiara, Chintya, Abul, dan Mariyadi. Kami berlima berangkat pada kamis pagi bersama Karyadi (UNJ), Yola(UNJ), Dini (UIN), dan Lia (UIN). Syukur kemudian menghiasi ketika memandang menghadap dan merasai besarnya kekuasaan Ia yang jiwa saya dalam genggaman-Nya lewat salah satu ciptaan terbesarnya di bumi: lautan. Ini benar – benar hanya sedikit dari bocorannya surga. Tebusan setimpal atas hawa memabukkan terombang ambing seperti ayunan mau putus yang ditanggung kami sebagai penumpang di dek bawah . 

Pelatihan relawan pegelolaan sampah botol plastik ini tentunya berfokus pada sampah. Sampah yang sering dijadikan permasalahan dan fokus orang – orang ternyata berasal dari kita sendiri. Saya benar – benar mencatat itu dalam hati ketika malam penutupan pembacaan puisi oleh Karyadi dan juga ketika perjalanan pulang. Saya sengaja duduk di balkon lantai dua kapal kayu sepanjang perjalanan hanya untuk mengamati lautan. Maha Besar Allah yang menciptakan lautan beserta segala isinya. Ombak rasanya terus menerus berdizikir dengan nada dan kesyahduan yang berganti – ganti. Dari penuh harap, menjadi cinta, menyimpan rahasia, malu tapi tenang, kemudian wajahnya serasa muram menahan emosi tertahan menginterogasi botol – botol plastik bekas minuman manusia yang mengembara sendirian di tengah lautan. Seolah laut tak pernah mengizinkannya menyatu ke dasarnya. Plastik memang takkan pernah diterima dengan pelukan terbuka oleh laut, laut konsisten menjaga perasaannya itu. Plastik tak pernah menyatu, dalam jangka waktu tertentu ia memecah diri kecil – kecil untuk kemudian sering menipu biota laut yang ada. Hubungan emosional antara laut dan plastik tersebut hanya disebabkan oleh kita, manusia. 

pengamatan sekilas perjalanan pulang, saya menemukan bahwa barisan sampah hanya ditemukan ketika kapal tengah dekat dengan sebuah pulau. Tandanya, sampah hanya ada pada tempat dimana terdapat aktivitas manusia di dalamnya. Rasanya campur aduk, lebih mual dan miris ketimbang terombang – ambing mencicip kapal kayu kali pertama ketika menyaksikan sungguh kontras warna air dalam perjalanan pulang Pulau Pramuka – Muara Angke. Biru turquoise menjadi biru laut kemudian menjadi biru tua lalu di saat tertentu menjadi hijau toska lalu menjadi hijau cincau lalu hijau tua kemudian menjadi hijau kehitaman lalu hitam dengan sampah yang banyak mengapung. 

Muara Angke, suatu tempat dimana warga kepulauan menyebutnya sebagai Darat. Sumber darimana barang – barang kebutuhan pokok diperoleh. Semestinya, jika pedagang warga kepulauan menyaksikan selama ini betapa kontrasnya warna air, mereka akan terketuk hatinya untuk menjaga pulau mereka dari menjadi muara angke. Dan kesadaran itu lebih besar diperoleh oleh kaum tua dari pedagang dan juga kaum muda terpelajar masyarakat kepualauan. 

Pelajaran yang dapat saya ambil adalah fakta bahwa masih adanya jarak antara label keilmuwan dengan kondisi permasalahan masyarakat. Sunggguh, sematan identitas sebagai pelajar mahasiswa terkadang sangat mengganggu dan hanya menjadikan jarak. Mungkin itu adalah konsekuensi dari system pendidikan nasional yang membedakan urusan ilmu pengetahuan dengan kehidupan. Begitulah akibatnya dari sesuatu yang sesungguhnya adalah alat dan bekal mengarungi kehidupan justru dalam perkembangannya lewat tangan – tangan dzalim penguasa digolongkan menjadi barang yang potensial untuk masuk pasar. Keuntungan dan uang dibungkus menjadi satu – satunya penolong agar selamat dalam menjalani kehidupan yang Cuma setetes dari jari di tengah lautan. Tri Dharma perguruan tinggi juga sering melupakan pengabdian masyarakat. Dianggapnya tri Dharma ketiga tersebut dapat ditutupi dengan balutan KKN yang cuma beberapa waktu saja. Jika tak ada KKN maka PKL pun jadi diartikan sebagai pengabdian. 

Sesuatu yang akhirnya saya ketahui dari agenda satu frame dengan relawan perwakilan pulau - pulau besar adalah pentingnya memahami medan atau kondisi social yang berlaku ketika berada dalam lingkungan tertentu. Akan menjadi tidak tepat ketika saya belajar konsep pengelolaan sampah berbekal pengetahuan permasalahan dan dampak yang terjadi di darat saja. Ternyata permasalahan dan dampak dari sampah yang tak terkelola dengan baik di kepualauan berbeda dengan yang di daratan. Masyarakat kepulauan memiliki kedekatan permasalahan tentang air tawar atau air bersih, jumlah dan kualitas tangkapan ikan, serta sektor pariwisata yang digencarkan pemerintah pusat maupun daerah. Semua tidak jauh dari pembahasan mengenai system perekonomian dan pendapatan masyarakat. 

Secara umum, pelatihan sangat menarik karena mencoba menghadirkan tokoh – tokoh inspiratif yang bergerak dalam konservasi lingkungan. Selain sisipan materi yang bersifat ilmiah, juga disisipkan praktik langsung membuat media tanam yang baik dan penggalian kreativitas mengubah barang sampah menjadi barang layak jual. Peserta yang didominasi masyarakat tua memang lebih senang dan betah berlama – lama pada sesi praktik langsung. Apresiasi untuk acara pelatihan relawan sampah. 

Namun dalam membuka kesadaran yang coba diungkapkan dengan bahasa akademis, rasanya tidak terlalu mengena dan membuka pemikiran. Justru lebih menyentuh dan mengetuk dengan kencang ketika komunikasi dilakukan tanpa microphone seperti yang terjalin saat FGD di malam kedua. Pembacaan puisi juga mampu menyapa hati siapapun yang mendengar. Hadir dalam jelmaan audio mengucapkan salam dan mematri lagi kesadaran bahwa di tangan manusia lah kebaikan dan kehancuran bumi ini nantinya. Efek dari pembacaan puisi juga mampu membuat kebanyakan peserta berdiam mencoba mendengar dan meresapi betapa seharusnya tak berjarak antara aktivitas manusia dengan Rabb sang Khalik. Sampah juga adalah ciptan-Nya. Dan kita manusia adalah makhluk yang dipercaya untuk mampu memimpin bumi beserta isinya. 

Tiara juga mengatakan bahwa relawan dari kaum muda dapat belajar dan mereguk ilmu dari relawan kaum tua untuk bagaimana menularkan kesadaran dan pemahaman ini pada anak – anak sebagai pembekalan di hari nanti. Karena seruan kebaikan dalam keluarga akan lebih mudah dilakukan ketika posisi sudah menyandang status sebagai orangtua. Dan kaum muda memiliki kekuatan untuk menularkannya pada teman – teman sesama kaum muda. Karena Indonesia memiliki banyak sekali kaum muda, sama seperti sampah, segala yang berlebihan dapa tmenjadi musibah atau anugerah tergantung pada tangan pengelolanya. 

Ario Salaka dari Sangga Buana juga mengatakan bahwa pedoman yang ia lakukan selama bergelut di bidang konservasi lingkungan adalah bukan bagaimana menjadikan sesuatu sebagai tujuan. Tapi tujuannya adalah bagaimana segala sesuatunya dapat berubah menjadi manfaat. 

Yang juga penting dengan pelatihan relawan sampah adalah terjalinnya persaudaraan. Suatu poin yang disebutkan oleh tim REGER (Relawan Gerbang) sebagai salahs satu langkah dalam merealisasikan impian adalah: Cari Teman Sevisi. 

Pelatihan kemarin seperti menghubungkan variabel – variabel lainnya untuk kemudian bisa bergerak bersama mentransformasikan harapan menjadi kenyataan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap variabel yang berkumpul kemarin adalah manusia - manusia yang mencoba ingin kembali menjadi manusia yang memanusia. Memperbaiki diri dari hal terkecil dan sering terlupakan: sampah. Sebagai akar dari upaya menjalani kehidupan yang bersih dan sehat sebagaimana eratnya umat islam dengan syarat sah shalat: wudhu.

2 komentar:

  1. Wawwwww.
    Keren, ajak2 lagi ya kalau ada event seperti itu lagi.

    BalasHapus
  2. okesip mas Ario...
    Weekend depan in syaa Allah ada AHB (Aksi Hari Bumi) di pulau pramuka. Lengkapnya bisa cek di tkp www.variabelbebas.org hehe

    BalasHapus