Tiga variabel out of the box
di Cikini
Sabtu, 20
Agustus 2016. Siang itu cuaca cukup panas. Kendaraan tidak terlalu banyak dan
rapat begitu masuk kawasan Cikini. Pandangan mata kami menyapu sisi kiri jalan,
mencari-cari plang Ke:kini. Tapi sulit ditemukan sampai dua kali kami berputar
dan melawan arus di pinggir sejauh 40 meter. Saya turun untuk bertanya pada
petugas parkir di sana tapi ia mengaku tidak tahu. Maka kawan saya, Wibowo,
menelepon pihak penyelenggara dan bertanya posisi persisnya. Akhirnya kami
mendapatkan lokasinya dan masuk.
Bertiga dari
Variabel Bebas, saya, Reza, dan Wibowo menghadiri sebuah undangan terbuka,
Share stories, namanya. Lokasinya di markas Ke:kini, Cikini raya. Pukul 13.00
lewat, acara dimulai dengan pembukaan dari Mbak Felincia Hutabrat selaku host dari Ke:kini. Mbak Felin kemudian
memperkenalkan pembicara yang akan buka suara di siang hari itu, Mas Iboy dari
MakeDoNia, Mas Erwin dari unjuk.in, dan Mas Adi dari LabTanya.
Jujur saja,
pertama membaca leaflet undangan terbukanya, saya masing puzzling, acaranya
akan seperti apa dan diagram kaitannya akan seperti apa. Dan masuklah Mas Iboy
sebagai pembuka.
Maker
Lewat
Hackethon, Makerthon, dan thon-thon (marathon) lainnya, banyak orang khususnya
pemuda di seluruh dunia (mungkin khususnya di Asia, Tenggara) yang
berpartisipasi dalam event ini. Konsepnya simple,
yaitu membuat suatu karya tangan dalam rentang waktu tertentu (12/24/36 jam)
nonstop bersama kelompok masing-masing untuk kemudian dipresentasikan di
hadapan juri. Finalis-finalis dari berragam titik event akan dipertemukan dan
kemudian diadu lagi. Itu penjelasan teknisnya.
Penjelasan
historisnya lebih seru. Konsep. Ia yakin sebenarnya setiap orang bisa membuat
apa saja asalkan berlatih. Budaya DIY (Do it yourself) mesti dikembangkan lagi
agar lebih banyak gerakan masif dari masyarakat untuk bisa mandiri. Ia sendiri
pun belajar apa saja termasuk crocheting.
Di Singapura, ada saja kursus untuk menyeberang. Dan Mas Iboy punya modulnya.
Mas Iboy ini nyaris punya modul untuk apa saja karena memang itu lah yang kini
banyak dicari orang. Ide dari MakeDoNia itu ya dari sana. Sayangnya, ketika
suatu produk hasil makethon sudah dipresentasikan, putus. Berhenti sampai
kompetisi saja. Ia merasa ada yang salah. Misal, untuk sebuah karya seni.
Karyanya kemudian entah dikemanakan karena untuk dilelang pada kolektor pun
secara kualitas tidak matang dan kurang karena pengerjaan yang hanya dalam
hitungan jam saja. Apresiasi terhadap karya tangan sendiri masih sangat
memprihatinkan di Indonesia. Itu sebabnya ia menggandeng Mas Adi agar bisa
berkolaborasi dalam pembuatan karya yang sustainable
dan bermanfaat.
Sustainable
living, death preparation
Kemudian Mas
Adi masuk. Ia adalah seorang arsitek yang sempat mengalami kegalauan dan
akhirnya rasa galau itu menjadi inspirasinya untuk mengubah pola pikirnya
selama ini. Sebagai seorang arsitek, alur yang biasa ia jalani adalah menerima
telepon dari klien untuk tawaran merancang sebuah bangunan. Ketika hendak
membangun, otomatis ia dan tim akan melakukan analisis persmasalahan di
lingkungan sekitar site untuk
kemudian membuat rancang bangun yang sesuai dan pas. Tapi di sisi lain, ia
menemukan bahwa permasalahan lingkungan muncul salah satunya dari tata
arsitektur kota dan bangunan yang berantakan dan egois. Jangan-jangan,
keputusan untuk tidak membangun adalah suatu keputusan arsitektural? Ini yang
kemudian menginspirasinya untuk berhenti menjadi arsitek penunggu panggilan
telepon.
Malang
melintang di dunia desain arsitektur membuatnya ikut rutin menjadi peserta
lomba-lomba desain yang dilaksanakan secara regional maupun nasional. Suatu
ketika, karyanya masuk daftar label provokatif namun tidak mendapatkan tempat
sebagai juara (saya lupa kategori tepatnya). Ketika ia bertanya sebabnya,
jawaban para juri adalah karyanya tidak mungkin diaplikasikan pada saat ini di
Indonesia. Baru akan bisa dilaksanakan nanti sekitar 50-100 tahun lagi. Sejak
saat itu, ia hanya yakin ide dan perspektif visinya akan terus berbenturan jika
menempuh jalur formal. Dan ia akan memiliki jalur cerita lain jika menempuh
jalur nonformal untuk merealisasikan ide dan visinya untuk menepis kegalauan
tanggung jawab sebagai seorang arsitek yang juga manusia.
Susiadi Wibowo
menggarap LabTanya dengan tagline zero
waste city. Tagline ini bukanlah tujuan mereka. Mereka hanya penasaran dan
mencari tahu apakah memungkinkan zero
waste city terwujud. Jadi, yang mereka lakukan bukanlah untuk mencapai
tujuan, melainkan mencari tahu kemungkinan realisasinya. Mungkin seperti sebuah
paragraf deduktif-induktif. Yang Mas Adi pilih adalah menjadi paragraf
induktif, bukan deduktif. Zero waste city
tidak mungkin terwujud jika kita tidak mengubah cara kita memandang
permasalahan. Selama ini, jika kita menemukan suatu masalah, lantas menelurkan
solusi namun kemudian timbul lagi masalah-masalah lain dari solusi tersebut,
jangan-jangan yang kita pandang sebagai masalah, bukanlah masalah yang
sebenarnya. Bagaimana jika ternyata masalahnya sesungguhnya adalah konteks atau
cara kita memadang masalah?
Paradigma kita
terhadap sampah misalnya. Apakah selesai jika kita menyelesaikan persoalan
sampah dengan mengangkutnya ke Tempat Pembuangan Umum secara teratur? Tidak.
Karena sampah tersebut tidaklah hilang. Melainkan berpindah tempat saja.
Termasuk incinerator yang seperti sulap menghilangkan segala jenis sampah,
padahal kandungan zat berbahaya dari sisa pembakarannya menguap ke atas dan tak
kasat mata sehingga sulit dideteksi.
Jadi, karena
sampah itu dihasilkan dari proses konsumsi kita, ya aksi nyata untuk mengurangi
sampah adalah dengan mengurangi konsumsi
kita dong. Dalam hal ini, memang pada kenyataannya, kita berhadapan dengan
industri produsen. Tapi karena sampah dihasilkan dari dalam rumah, maka, kita
bisa bantu untuk menguranginya dengan memilih barang yang kita konsumsi. Itu
lebih efektif efisien ketimbang daur ulang yang belum tentu semua jenis sampah
plastik bisa didaur ulang, pun kalau ada yang bisa didaur ulang menjadi produk
baru, maka kualitasnya akan turun.
Persoalan
sampah bukan hanya kewajiban dan hak para sarjana atau master teknologi
lingkungan atau titel apapun yang berkaitan dengan lingkungan. Karena toh kita
semua dengan berragam latar belakang dan status, memproduksi sampah dari rumah
masing-masing dan lingkungan memang milik kita semua. Jadi, paradigm mengenai
batasan disiplin ilmu sudah saatnya diganti. Sudah saatnya kita membicarakan
konteks dari suatu permasalahan agar penyelesaiannya lebih efektif dan
sustainable (berkelanjutan).
Kolaborasi
Gerakan makerthon nanti bisa
dibilang sebagai suatu trigger agar masyarakat terutama kaum muda lebih mau
bereksperimen membuat atau memproduksi sesuatu namun tidak turut serta menambah
permasalahan lingungan yang baru dan karyanya berkelanjutan. Mas Adi
menyarankan semua yang hadir untuk menyepakati dulu mengubah pandangan terhadap
teknologi. Karena yang dimaksud teknologi tidak selalu berkaitan dengan
modernisasi dan kecanggihan-kecanggihan konstruksi atau desain yang rumit yang
hanya dimengerti segelintir orang. Cangkul, engsel pintu, dan benda tradisional
lainnya pun sebuah teknologi. Ada dua hal penting yang saya catat sepulang dari
sana, yaitu, bangga terhadap karya sendiri (sekecil apa pun, atau meski
manfaatnya hanya baru bisa untuk diri sendiri) dan lebih tepat memilih jalan
keluar untuk suatu masalah dengan memandang konteksnya.
Kamu, berani out of the box?
20 Agustus
2016
/kit