Senin, 20 Mei 2013

Pencarian... tatapan awal yang salah




JBF. Jakarta Book Fair 2012. Sambil menunggu teman – teman lain memburu buku masing – masing, aku berusaha terus mencari sebuah novel fiksi. Gawat, aku lupa penerbitnya. Googling sebentar, barulah kemudian aku menemukan penerbit dari novel incaran. Serambi mizan penerbitnya, Rahasia Meedejudulnya, E.S Ito pengarangnya, 2008 tahun terbitnya. Mas – mas di Mizan bilang, jika buku sudah tidak ada di peredaran, akan dikembalikan ke percetakan. Maka aku tanya dimana percetakan Mizan. “Jagakarsa” katanya. Mengapa aku sampai segitunya berusaha mendapatkan novel itu? Begini ceritanya..
Awalnya saya bingung, kenapa judul novel ini adalah Rahasia Meede? Memang, di dalam buku ini menggunakan sedikit percakapan dan istilah – istilah Belanda. Barulah di 2/3 dari halaman buku, saya menemukan alasannya. Meede adalah nama putri dari Sr Erberveld. Dan Erberveld adalah keturunan dari salah satu anggota Monsterverbond. Suatu kelompok yang memegang kunci dimana letak harta karun VOC berada.
Yang membuat novel ini menarik adalah, novel ini memuat unsur – unsur yang tidak dimuat pada novel lain pada umumnya. Politik, sejarah, budaya dan hukum negeri kita tercinta, Indonesia. Semuanya dikemas dalam cerita yang menarik dan gagasan – gagasan cerdas. Pernah membaca komik Death Note? Menonton City Hunter? Seperti itulah kira - kira. Kejar – kejaran antara seorang dari organisasi intel profesional Sandi Yudha yang bernama Rudi, dengan seorang yang di cap sebagai buronan kejahatan politik, Attar Malaka.
Kamu tau apa lagi yang menarik? Seluruhnya di balut sastra, sajak potongan Chairil Anwar dan Tan Malaka. Novel ini menggambarkan dua orang sahabat yang saling memburu, mempertahankan ideology dan pemahaman masing – masing. Mereka sama – sama mencintai sastra, cinta Indonesia, namun bergerak dalam jalan masing – masing. Satu tokoh penting adalah seorang dengan nama sandi Melati Putih, ia sebagai eksekutor andal yang menumpas orang – orang kebal hukum (jadi seperti Lee Min Ho di City Hunter).
Pemburuan pemuda – pemuda mentawai yang bertato pada era Soeharto, kekecewaan mendalam terhadap eksekusi Tan Malaka, retaknya hubungan dwitunggal Hatta dan Soekarno, perburuan sahabat terbaik sekaligus musuh terhebat di pelosok Banda, hingga terpecahnya misteri kebangkrutan VOC dan emas – emas negeri yang direnggut Monsterverbond dari VOC. Rasanya, seluruh aspek dikemas oleh E,S Ito dalam novel ini. Komik secerdas dan selugas Death Note, Conan, City Hunter ditampilkan dalam novel ini. Rahasia Meede adalah novel pintar yang beraroma nuasantara. Salah satu bacaan yang menarik bagi kamu yang kritis akan perpolitikan Indonesia, penikmat sejarah dan pencinta sastra. Nusantara sangat. Puitis. Kritis. Nasionalis. Dan mengharukan.. J

#Kisah 2 pemuda yang merepresentasikan kecintaan pada negeri dengan cara berbeda, hingga akhirnya mereka tersadar, masa depan negeri kaya nan melarat ini ada di tangan generasi berikutnya!! Competition is not the way out, Cooperation is the most important.

btw, nama sandi salah satu tokoh utama disini adalah Attar Malaka. Saya dapet hal menarik dari Meraba Indonesia dan biografi Mohammad Hatta
Tan Malaka : nama aslinya Ibrahim, Malaka adalah nama gelar yang diberikan oleh penduduk Payakumbuh (desanya)
Mohammad Athar (Bung Hatta) : sejak kecil mendapat nama panggilan Atta

Minggu, 19 Mei 2013

khawatir #1

-Janji- 
sambil pegang hape, buru2 mau masuk kelas, baru aja selesai rapat acara A, acara B, dihadang ditengah jalan, dititipi pesan untuk acara C. Angguk2 aja sambil ngetik jarkom untuk acara A. 
Besoknya? Lupa dan lalai udah janji apa untuk acara C. 
Janji yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Lupa dicatet di note, apalagi di otak. 
Bukan hanya berjanji, kadang juga tanpa sadar mendesak yang lain untuk berjanji. Tapi dia sendiri lupa mungkin telah membuat org lain berjanji. 
Contoh: 
"taun depan bantu saya yaa..." 
berkali diucapkan. Anggukan kecil lawan bicara dianggap konfirmasi 'setuju' 
*spertinya sering terjadi di akhir kepengurusan organisasi. 



suatu sore. 
kulihat ia. Kemudian kutanya, "dalam berjanji, mana yang lebih sering kau jadikan pertimbangan untuk ditepati?" 
"Yang pertama datang, tentunya." katanya. 
Aku mengangguk. 
"bukan urgensi?" tanyaku lagi. 
dia menggeleng. 


Dikatakan urgensi belum tentu benar2 urgensi bila tak dini diutarakan. 
Dahulukan yang pertama datang (utk hal2 yg ada di taraf yang sama)

Jumat, 17 Mei 2013

Mencari Guru di Bukhara


Bocah berumur lima tahun itu asik saja bermain – main di halaman rumahnya. Kemudian ibunya, Sattarah, berpikir, apakah yang dapat dikerjakan anak seumuran dia agar waktunya bermanfaat? Maka Ayahnya, Abdullah, mencarikan guru untuknya. Anak seusia lima tahun, daripada membuang – buang waktunya, lebih baik ia belajar Al Qur’an dan dasar – dasar agama pada Syekh Nahawi.

Lima tahun kemudian. Bocah itu, Abu Ali ibn Sina, melantunkan ayat Qur’an ketika Syekh Nahawi bertamu kerumahnya. Tau apa yang ingin dikatakan Syekh pada orang tua Abu Ali? Tak ada secuil ilmu pun yang berbeda antara dirinya dan diri muridnya. Al Qur’an pun sudah dihapal oleh Abu Ali. Betapa rasa syukur memenuhi rongga dada Abdullah. Sepuluh tahun, dan Abu Ali sudah mampu memahami ayat Qur’an. Karena tak ada apapun lagi yang dapat diajarkan oleh Syekh Nahawi, daripada waktu Abu Ali terbuang percuma, Syekh Nahawi menyarankan agar Abu Ali mencari guru lain selain dirinya.

Setelah belajar ilmu agama, Abu Ali selalu berpindah dari satu guru ke guru lainnya. Setelah belajar ilmu matematika, hasad dan aljabar, dilanjutkan ilmu filsafat dan logika, barulah kemudian waktu Abu Ali diisi dengan membaca buku kedokteran.

Pada saat itu, Bukhara penuh dengan guru, maka siapapun akan dengan mudah mencari guru sesuai bidang yang diingini.
Dikutip dari:
(Tawanan Benteng Lapis Tujuh, Husayn Fattahi, 2011:13-26)


Dari cerita diatas dapat ditangkap bagaimana cara menimba ilmu pengetahuan pada tahun 900M. Belajar pada guru mulanya memang untuk mengisi waktu kosong, dan yang menimba ilmu sedalam Abu Ali memang akan berakhir menjadi seorang ilmuwan ternama seperti Al Firdausi, Al Biruni, dll. Ilmu dan pendidikan pada masa itu memang tidak diwajibkan, kalaupun ada yang menimba, memang untuk menjadi ilmuwan atau kedokteran atau bidang keahlian lainnya.

Perbedaan yang sangat mencolok dengan sistem menimba ilmu pada zaman sekarang. Sekolah memang wajib, tapi karena penyeragaman serta pengkotak – kotakan yang kerap terjadi jsutru mampu membunuh kreativitas dan identitas kecerdasan alami subyek pendidikan kedua.
Pada cerita diatas juga didapatkan bahwa pendidikan terpenting yang mesti pertama kali diajarkan pada seseorang adalah pendidikan agama. Dengan mengenal Tuhannya, diaharpakan kedepannya orang ini mampu memaknai ilmu dengan bijak. Tidak terjebak filsafat sana – sini, apalagi sampai meragukan Tuhannya. Karena seperti yang dipaparkan Imam Al Gahazali, tujuan pendidikan adalah menjadi insan kamil, sebaik – baiknya manusia.

Further reading:
Bangsa terdidik atau tersekolah- Prof, Winarno
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan- Drs. Abidin Ibnu Rusn(pnrjmh)

Rabu, 15 Mei 2013


Paparan (retell)


Judul : Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Penerbit : Pustaka Pelajar
Penerjemah : Drs. Abidin Ibnu Rusn
Tahun Terbit : cetakan I 1998, Cetakan II 2009
Tebal Buku : 144 halaman

rangkuman:
Tokoh ini lebih terkenal dengan karya filsafatnya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf) yang kontroversial dan menganggap mematikan kekritisan umat Islam.  Al-Ghazali dilahirkan pada masa munculnya mazhab – mazhab dalam ummat Islam. Pemikirannya termasuk fenomenal karena ia merasa manusia dilahirkan sudah dalam keadaan fitrahnya sebagai muslim, sedangkan orang tua serta lingkungannyalah yang membuat kita terkotak-kotak. Nasrani, Yahudi, Hidu, Budha, termasuk penganut aliran atau mazhab – mazhab tertentu. Begitulah profil singkat Al-Ghazali.

Al-Ghazali sendiri telah banyak menghasilkan karya – karya bermanfaat bagi khalayak. Salah satunya adalah Ihya' 'Ulumiddin, karyanya sebagai tokoh pendidikan. Al Ghazali menjalani profesi terakhirnya sebagai ahli pendidikan yang kurang banyak disorot oleh orang – orang. Ihya' 'Ulumiddin kemudian menjadi dasar yang sebagian besar digunakan sebagai landasan pengulasan buku pemikiran tentang pendidikan menurut Al Ghazali ini.

Bab setelah pengenalan tokoh adalah pemikiran Al Ghazali tentang manusia, esensi, awal tercipta serta pengklasifikasiannya. Al Ghazali menglasifikasikan manusia sebagai umum, khusus, dan khusussul khusus. Dalam penjelasannya dapat diinterpretasikan bahwa penggolongan tersebut adalah berdasarkan Islam. Tentang bagaimana seorang manusia memandang dunia dan membandingkan pemahaman mereka akan akhirat.

Kemudian penjelasan tentang Ilmu. Dalam Ihya' 'Ulumiddin, Al Ghazali membagi Ilmu menjadi tiga cabang yaitu:
Epistemologis: cabang ilmu filsafat tentanh dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
Ontologis: cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup.
Dan Aksiologis: 1 kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia; 2 kajian tentang nilai, khususnya etika: (K
Dalam skema tersebut, terlihat bahwa Al Ghazali menghubungkan semua bidang ilmu hanya demi untuk kepentingan akhirat dan sesuai dengan kaidah Islami.

 Dalam bab selanjutnya, dipaparkan pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan. Pengertian pendidikan menurut Al Ghazali adalah
“Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.” (Rusn 2009: 56)
Dan tujuan dari pendidikan menurut Al Ghazali adalah untuk menjadi manusia shalih, menuntut ilmu hingga mencapai tingkat menyerupai malaikat dan tujuan jangka pendeknya adalah menjadi manusia yang bermanfaat di dunia.

SUBYEK DIDIK
Al Ghazali membagi subyek didik menjadi dua, yaitu Guru atau pendidik serta murid. Al Ghazali menerangkan bahwa sebagai guru, peran, kewajiban dan pahalanya lebih besar daripada orangtua. Karena orangtua adalah perantara seorang anak terlahir di dunia, sedangkan guru adalah perantara seorang anak mengenal dan berbekal di akhirat. Guru pun harus bersikap sebagai pengganti orangtua, bukan hanya orang asing yang dibayar untuk mentransfer ilmu semata. Karena kembali lagi pada tujuan pendidikan adalah demi mendekatkan diri pada Allah.

Murid dalam pandangan Al Ghazali mestinya seorang yang senantiasa tawadhu dalam belajar dan diajar. Bagai tanaman kering yang disiram oleh air yang menyejukkan, mesti senantiasa bersemangat dan sangat menjunjung tinggi seorang guru. Tawadhu dalam menuntut ilmu juga diartikan tidak sombong terhadap ilmu yang telah dimiliki atau sedang dipelajari. Juga, seorang murid mesti senantiasa memiliki pemahaman dasar sebelum bertukar pendapat. Agar tidak seenaknya mendebat atau menyanggah apalagi menyatakan sesuatu adalah salah.

 Pemahaman dasar itu penting.
Memahami tujuan serta manfaat pengajaran dan pendidikan pun penting bagi murid, agar senantiasa lurus tujuannya, akhlakul karimah.

KURIKULUM PENDIDIKAN
 Al Ghazali menyayangkan system pendidikan yang menerapkan system sekuler. Pemisahan aturan agama dengan duniawi. Pendidikan saat ini yang berlaku di Indonesia juga seperti itu, menganut pragmatism John Dewey. Yang sebetulnya menguntungkan kaum kapitalisme dan tidak lain tidak bukan, hasil dari pendidikan saat ini adalah calon – calon pekerja. Bukan pemikir.
         Maka, Al Ghazali menyarankan suatu system kurikulum yang kembali lagi menuju akhirat. Berpegangan pada dua peninggalan nabi besar Muhammad saw. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Al Ghazali meyakini bahwa manusia (ruh atau jiwa) pada awalnya adalah sama, akan senantiasa mendekatkan diri pada Allah. Namun setelah menyatu dengan fisik, manusia menjadi berbeda – beda. Tidak bisa dan tidak boleh disamakan. Maka, berdasarkan HR Ibnu Hibban dari Anas bin Malik, Al Ghazali membedakan tahap tahap pembelajaran berdasarkan usia dan psikologis seorang manusia sejak usia: 0-6 tahun, 6-9 tahun, 9-13 tahun, 13-16 tahun serta 16 tahun keatas.

Seluruh tahap disesuikan dengan peran serta bimbingan orang tua, serta tahap pertanggungjawabannya dihadapan Allah nantinya.

Terdapat empat bentuk pendidikan ala Al Ghazali; pendidikan akal, agama, akhlak, dan jasmani. Dengan menekankan pada pendidikan agama dan akhlak. Al Ghazali menekankan kurikulum yang berdasarkan Al Qur’an, yakni membaca, menghafal, memahami arti, dan mengkaji maksud. Maka Al Ghazali tidak memisahkan metode pendidikan seperti yang saat ini terjadi. Karena Al Qur’an memang tidak pernah memisahkan aspek satu dengan lainnya. System pendidikan yang terintegrasi.

Al Ghazali juga menerangkan tentang evaluasi. Apa pentingnya evaluasi bagi pemimpin, subyek didik, wali murid, dan tenaga administrasi.
Didukung oleh kutipan sebagai berikut;
Nabi Muhammad saw, bersabda: “Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya”

Inti: Al Ghazali bukan hanya ahli tasawuf, sedikit orang yang telah mengenalnya sebagai ahli pendidikan.  Ia dipahami memandang pendidikan dengan sistem integrasinya. Hal ini diterapkan dalam system pendidikan di pesantren. Integrasi antara iman, ilmu, dan amal. Ia juga mengritik pemisahan yang dilakukan oleh pemikir – pemikir Barat yang berorientasi pada pragmatism. Hal yang justru memporakporandakan tujuan pendidikan sesungguhnya: mendekatkan diri pada Allah.

Kesimpulan: Buku ini sangat padat, ringkas dan lengkap. Karena membahas secara detail dari awal mula, tokoh yang dibahas, pandangannya tentang manusia, pendidikan, aktualisasinya terhadap pendidikan dewasa ini.

Untukmu yang ingin tau lebih banyak asal – usul tercetusnya integrated learning, buku ini sangat direkomendasikan.

-pandang yang baik, tak usah terlalu
dipusingkan yang tak dianggap benar-
(KIT)