Selasa, 25 November 2014

Pendidik Merengkuh CintaNya

dokumentasi /kit


Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja menaiki takhta
Jika hari ini Presiden sebuah Negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.
-Usman Awang 1979

 
Siapa yang kita sebut sebagai guru? Ia yang kita sudah kenali sejak kecil memberikan pekerjaan pekerjaan rumah untuk dikerjakan, esok ketika ada yang tidak mengerjakan, siap – siap lah menerima hukuman. Guru adalah sosok yang juga menjelaskan banyak hal menarik sejak kecil, menanamkan nilai – nilai kebaikan entah membantu teman atau mempertahankan kejujuran. Guru memiliki banyak warna , dan macam – macam rupanya. Ada yang teduh, ada yang riang penuh canda, ada yang gelap murung dan tegas, ada yang tak pernah tersenyum kecuali saat pengambilan rapot saja. Itu semua adalah sebuah identitas yang disematkan untuk orang – orang yang berdiri di depan kelas memegang kapur atau spidol atau buku absen dan peluit (jika olahraga). Mereka adalah guru. Selalu di depan kelas, akan berjalan ke belakang kelas sesekali hanya jika sedang ulangan.

Beranjak besar, pemahaman sosok guru kian berubah, ia bisa hadir dari bermacam – macam rupa dan bentuk. Ia adalah juga seorang nenek keriput tua dengan senyum gigi ompong terindah yang mengajarkan untuk terus berbuat baik dan ingat pada Allah, ia sudah tiada dapat ditemui di bumi, kecuali dalam hati. Guru juga adalah seorang ibu rumah tangga penjaja buku perpustakaan keliling. Guru juga adalah seorang nelayan yang teguh menanamkan ajaran mencintai, berkomunikasi, berkawan dengan alam pada anaknya, hal yang belum bisa didapatkan di sekolah formal. Guru juga adalah ibu atau bapakmu ketika ia diam dan marah untuk kau yang pulang terlambat, terlalu larut, atau lupa membalas pesan singkat. Teman yang menangis di hadapanmu karena ketakutan telah membantu memalsukan tandatangan juga kemudian menjelma menjadi guru. Jika definisi guru adalah pendidik nilai – nilai kebaikan dalam kehidupan, maka setiap makhluk berpotensi untuk menjadi guru. Rasulullah juga disebut sebagai Muallimul awwal fil islam, tanpa pernah ada satupun lembaga kenegaraan yang menyematkan identitas tersebut pada beliau. Sesungguhnya identitas sebagai pendidik sungguh semestinya berjalan apa adanya, alami, tanpa di reka – reka apalagi sertifikasi dan lainnya. 

Yang akan saya ceritakan dalam kisah yang satu ini adalah guru yang memiliki legitimasi identitas untuk menyandang predikat sebagai guru sekolah. Guru sekolah tentu berbeda dengan guru kehidupan. Untuk menjadi guru sekolah, seseorang harus memiliki dan melalui persyaratan – persyaratan tertentu. Sesuai dengan peraturan yang digulirkan pemerintah. 

Dukacita kerap menyelimuti profesi guru ketika media mengabarkan beragam hal fakta buruk yang terjadi. Hal ini tentu akan mempengaruhi citra seorang guru di mata masyarakat. Karena sudah kita ketahui bahwa media berperan besar sebagai jendela informasi yang dipercaya sangat amat akurat untuk diserap dan merupakan dominasi dari kebenaran. Mulianya profesi keguruan tergerus dengan sangat hebat terutama ketika masa – masa Ujian Nasional hendak diselenggarakan. Kecurangan yang berlangsung secara sistemik dan melibatkan banyak lini dalam system pendidikan kita tentu saja membuat guru sebagai sosok pertama yang akan disorot dan diinterogasi pertanyaan masyarakat.

Berdasarkan sajak Usman Awang di atas, guru adalah pusat kemuliaan dan kebermanfaatan bermula. Sajak tersebut menyampaikan betapa kegiatan mendidik seorang guru adalah awal pembuka dan penentu masuknya ilmu ke dalam orang - orang dengan beragam profesi lainnya yang disebutkan di atas saat kanak - kanak. Pada 1979 kira – kira Indonesia memang sedang mempersiapkan seluruh anak negeri untuk mampu mengenal tanda baca latin. Istilah pemberantasan buta huruf semestinya tidak digunakan pada zaman repelita tersebut. Karena meskipun tidak berkenalan dengan huruf latin, sesungguhnya masyarkat lama telah mengenal huruf arab melayu.

Dalam perkembangan dunia pendidikan modern di Indonesia, jika dikaitkan dengan sajak di atas sosok guru kekinian justru mengeluh jika ada satu orang muridnya yang berbeda dari anak – anak seusianya, belum mau dan mampu membaca atau berhitung dengan lancar. Segala gagasan tentang mulianya profesi guru tergerus bahkan terlupakan oleh para praktisinya. Setiap kemuliaan kemudian dianggap sudah semestinya mendapatkan peng’harga’an. Harga yang benar – benar diartikan  secara literal berupa naiknya gaji guru ditambah tunjangan – tunjangan yang menggiurkan bagi guru PNS. Sehingga pendidik memang menjadi profesi incaran namun orientasinya menjadi terbelokkan dari yang banyak orang harapkan: materi dan kesejahteraan, bukannya kemuliaan karena pahala dan cinta terhadap ilmu. Baru – baru ini saya temui pembicaraan yang pertama dibuka untuk lowongan posisi sebagai guru adalah mengenai fasilitas hak dan kenyamanan. Pembicaraan mengenai pembekalan dan kondisi perpustakaan serta laboratorium justru ada di akhir, bahkan hampir tak dibahas jika ak saya tanyakan. Sebuah potret dimana kondisi guru kita belum menyatu erat dengan belahan jiwanya: ilmu (dalam hal ini direpresentasikan oleh perpustakaan dan kultur akademik). Suatu fakta yang siapa saja layak untuk merenungi kembali untuk kemudian mengheningkan cipta.

Seiring dengan kesadaran para pembelajar pendidikan untuk kembali pada hakikat dan mulai berfilosofi tentang sistem penyelenggaraan pendidikan yang kini tengah berjalan, muncul suatu gagasan untuk kembali mengenal dan menerapkan pesan Ki Hajar Dewantara. Salah satunya yang berkaitan dengan eksistensi guru adalah tentang trisentra pendidikan. 

Yang disebut dengan trisentra pendidikan adalah:  keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Ketiganya adalah unsur yang mesti berkolaborasi tanpa sekat dalam membangunkan negeri dari tidur panjangnya. Membawa obor pendidikan demi kemuliaan hakiki untuk menerangi peradaban Indonesia. Melalui pesantren, melalui sekolah alternatif, melalui pendidikan berbasis keluarga, kemunculan dan kebangkitan trisentra pendidikanlah yang kemudian setiap pembelajar dapat mengembangkan makna guru, ilmu pengetahuan, ruang kelas, dan sekolah dengan lebih luas daripada persepektif sempit yang kini berlaku.
Guru tetaplah ia, mereka, dan bisa jadi anda selama ia mau dan mampu membagi harta warisan paling berharga yang manusia miliki sebagai bekal:  pendidikan, ilmu, dan pengetahuan kepada pihak lain dengan segenap hati dan cintanya.

Sebuah anak – anak komunitas blogger UNJ membuat perjanjian di antara mereka untuk menghargai dan membalas budi baikmu lewat tulisan kecil sederhana. Aku masuk dalam komunitas tersebut. Berikut pesan dariku untukmu, guru.

Untuk setiap guru kehidupan, aku ingin menyapamu dengan manis dan santun. Haturkan rasa terimakasih yang dalam karena akan menjadi insan yang seperti apa aku kelak, akan berada di barisan yang mana aku di masa depan nanti, itu semua tergantung dari pendidikan yang kuterima sejak ditiupkan ruh dalam rahim dan berjanji untuk beribadah pada-Nya.