Kamis, 25 Februari 2016

Presipitasi


Tersenyumlah, atau gusar sekalian. 

Hanya ketika hujan turun.
Partikel air yang serentak turun menyapa bumi belahan tertentu memang biasanya memancing emosi-emosi yang kadarnya lebih dari biasa. Rasulullah pun menyapa hujan secara langsung karena hujan adalah ciptaan Allah yang segera menyapa seluruh penghuni bumi begitu ia tercipta. Fresh from the oven.

Segala macam doa yang berpilin naik menyambar rentetan partikel yang senantiasa turun bergandengan. Sebelum hingga akhirnya percik dapat kita rasai di kulit, partikel air menghadapi pintu-pintu rintangan tertentu untuk kemudian dapat ditentukan apakah diterjemahkan menjadi hujan atau akan lainnya. Sebelum partikel-partikel air menerjang turun, perlu adanya kerja sama antara awan, angin, dan atmosfer (suhu permukaan) suatu kawasan agar pada akhirnya kita menyebutnya hujan. Karena jika angin meniupkan awan ke tempat yang memiliki suhu panas, partikel air yang turun seketika akan buyar memecah ke segala arah untuk kemudian naik kembali menjadi uap, dan kita menamainya virga atau hujan yang batal.

Jika ada partikel air yang turun dari awan pun tidak lekas dapat disebut hujan. Kenapa? Karena jika ia turun sendirian, ia pasti dan tidak mungkin sebuah hujan. Hujan adalah partikel air yang akan bersama-sama dengan kawan-kawan lainnya menaati pola tertentu agar tunduk pada keteraturan. Hal yang dapat mengecohkan formasinya mungkin hanya angin. Itu pun hanya sebagai pengecoh arah, bukan pengecoh formasi dan kehadirannya hanya sebagai pelengkap, bukan hal yang pasti selalu ada ketika hujan turun.

Jika mendengar kata hujan, apa lagi yang langsung terpikirkan? Petrichorkah salah satunya?
Harum yang menyerupai aerosol akan dengan segera menyapa indera penciuman semua makhluk. Ia adalah sebuah akibat dari partikel air yang ketika menghujam tanah akan langsung menghasilkan gelembung-gelembung super kecil yang menghentak kemudian melayang ke udara mengikuti arah angin agar tersebar ke segala penjuru. Sesuatu yang membuat kita menyadari turunnya hujan meskipun kita berada jauh dari ruang terbuka. Bau tanah.


El Nino La Nina 
Ingatkah ketika musim panas lalu, hampir setiap berita televisi menyiarkan bahwa seluruh kota besar sedang dilanda krisis air bersih. Jual beli air terjadi dengan harga yang tinggi, masyarakat pegunungan bahkan mesti rela bergilir di setiap pekan untuk mendapatkan pasokan air dari pegunungan, masyarakat kepulauan menghadapi intrusi air laut yang membuat sumur-sumur asin dan tidak memungkinkannya tadah hujan dilakukan untuk menyirami pepohonan, bahkan, menghadapi kenyataan rusaknya membran pada alat Seawater reverse osmosis milik swasta yang menjadi andalan masyarakat dalam mendapatkan air bersih meski dengan membeli seharga tujuh ribu rupiah per galon kecilnya.

Indonesia tandus, tanah merahnya retak, pegunungannya bergilir mendapat air, sawah mesti rela gagal panen dan ikan-ikan mesti rela pula dipetik paksa jika hujan belum juga turun.

Lalu kemudian kita seperti belajar sukarnya air pada musim panas lalu. Musim hujan kali ini meskipun mengakibatkan munculnya genangan di beberapa tempat dan angin badai yang hadir lebih deras dari biasanya, keluhan tidak banyak dilontarkan. Namun, siapkah kita jika nanti roda berputar lagi dan musim panas hadir kembali?

Seiring dengan kecanggihan teknologi dan kemampuan manusia zaman ini yang menobatkan diri sebagai manusia modern untuk belajar cepat, mestinya juga diimbangi dengan kesiapan adaptasi atau masuk pada pola baru dari perubahan-perubahan yang ada.

Berkah
Dalam rangka bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, populasi kita yang kian bertambah (dan disinyalir menjadi faktor penyebab dari segala problem yang baru-baru ini muncul, katanya) mestinya juga dibarengi dengan usaha memperbaiki dan menabung sumber daya serta energi. Hemat. Musim hujan tiba mestinya rumah-rumah kita telah siap dengan fasilitas sumur resapan atau penampungan di atap untuk dapat memanen air. Perbaikan water table (muka air tanah) juga dapat dilakukan dengan pembuatan Lubang Resapan Biopori sebagai teknologi tepat guna. Sehingga rahmat yang datang, benar-benar dapat kita rasai sebagai berkah yang berkepanjangan. Bukan hanya sesuatu yang kita rasai dan maknai ketika ia turun menyapa.
Bukan jumlah yang menjadi masalah, melainkan kemampuan kita menghadapi dan menyelesaikan problema yang ada dengan kecanggihan dan keunggulan manusia dari pada makhluk lainnya berupa akal. Bagaimana kemudian kita dapat mengakali masalah yang ada dengan memperbaiki perilaku hidup kita, dari yang kecil hingga yang besar.

Masih ada salju dan virga selain hujan sebagai output dari siklus hidrologi yang berjalan. Hanya saja, hujan merupakan barokah untuk kita yang dapat diambil hikmah atas kehadirannya. Sebuah biji akan menjadi bibit tanaman untuk kemudian menjadi pohon yang dapat kita petik manfaatnya secara berkelimpahan.

Jika kita lupa membawa payung atau jaket, jangan pernah kecewa dan menyalahkan hujan sebagai penyebab dari ketidaknyamanan yang menimpa. Ingat saja sebab dari adanya tanaman-tanaman yang ada di sekitar, dan berhujan-hujananlah sesekali. Menyewa jasa ojek payung juga tidak buruk. Siapa tahu memang Allah menakdirkan untuk dapat bersilaturahim dengan seseorang hanya jika hujan turun ketika itu. Dan lalu jika ada banyak waktu luang,  kita bisa memperhatikan pekerjaan apa saja yang hanya muncul justru ketika hujan turun. Seperti seorang bapak yang berjalan santai dengan gerobaknya yang dipenuhi jas-jas hujan dagangan. Barangkali ada sebersit syukur dan takjub.

Jikapun ia rela turun, ia kan turun bukan karena ingin kita. Namun, karena memang Allah menghendaki untuk itu. Ia, yang dengan kehadirannya dapat membawa gumam-gumaman dalam bathin meski hanya sepintas.


/kit

3 komentar: