Padanya, aku pernah mendapati
sesuatu yang dalam, yang mungkin telah banyak membaca sekitar. Tempat yang
hanya sesekali aku berani untuk mencuri dengar, mengintip sibakkannya walau
samar, sekejap. Yang dapat terlihat dengan mudah apakah sedang terundang tawanya
atau terpancing kesedihannya untuk pertanyaan-pertanyaan yang barangkali urung
ia temukan jawabannya, tanpa perlu aku melihat guratan pada bibir atau lekuk
alisnya. Ini juga adalah sesuatu yang tiada dari Abdullah bin Ummi Maktum,
namun jika boleh kutaksir, cerminnya tidak pernah khianat, tetap indah bahkan
boleh jadi lebih gemilang oleh karena syukurnya atas nikmat yang lebih besar yang
tersembunyi dibalik tiada dapat dinikmatinya salah satu inderanya itu.
Tidak, aku pun belum mengerti
betul apa sebab ketika suatu kali temanku berkata bahwa ia tak pernah sanggup
melihat sorot orang lain untuk waktu yang lama. Sehingga aku tersadar bahwa ada
Yang Maha dari apa yang sedang kumahakan dalam benak. Itu sepertinya adalah sebab
mengapa Angku Haji menikmati waktu berjam-jam di tepi dipan untuk mengenangkan
mendiang istrinya dengan menafakuri ayat-ayat suci.
Tempat yang paling indah? Ya, pernah
kudapati dalam suatu masa, sorot dalam matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar