Sabtu, 10 September 2016

Menemui Para Pendengar

Menemui Para Pendengar


dokumentasi oleh Reza Wulandari

Awalnya sampah
Kawan seperjalanan saya mual karena Kerapu yang terombang-ambing di bawah langit mendung dan gerimis pagi itu. Ia memuntahkan rasa mualnya ke dalam kantong plastik kresek ukuran kecil. Anehnya, itu terjadi justru ketika kapal merapat ke dermaga dan sebagian penumpang tengah melompat ke luar. "Ada bau bensin", begitu pengakuannya saat saya tanya apa sebab hingga ia mual ketika kapal tiba di dermaga. hehe Sembari menungguinya, saya menjawab sapaan dan pertanyaan dari kapten kapal.

"Kenapa temannya? Nangis ya karena pengen ketemu orang tua?" candanya. Kapten baik hati yang bersedia menunggu kami siap keluar kapal kemudian menyarankan untuk membuang saja sampahnya ke jendela kapal. Dua-tiga kali sarannya itu kami pertimbangkan sepersekian detik sambil saling tatap. Kekeuh, kami jawab," hehe tidak, terima kasih. Biar nanti ketika bertemu tong sampah saja, Pak."

Ucap salam sambil terima kasih karena telah menunggui kami, kami pamit keluar kapal. Ah, andai ia tahu, sampah lah yang membuat kami saling bertemu dan berkenalan hingga akhirnya sepakat untuk bermimpi bareng-bareng.

KI dan hujan
Kelas iklim tidak terlaksana hari itu karena dua anak yang tengah menunggu dalam gerimis sudah keburu pulang sebab belum muncul kawan-kawan lainnya dan juga fasilitator. Anak-anak dari Pulau Panggang yang sudah menyeberang pun dalam perjalanan memutar balik karena kondisi cuaca sedang ingin meluruhkan airnya ke bumi bersama angin. Buat kami yang berjalan menerabas gerimis, hal itu jadi peluang memetakan sekilas daerah mana saja yang baiknya ada LRB agar tidak ada lagi genangan air.

Taman Botol
Berempat bersama Bu Mahariah (biasa kami panggil Ibu) dan Bu Ratna kami mengeksekusi taman botol di kawasan hutan widu. Dimulai dengan saya menggambar pola bunga yang diingini di lahan samping kiri Rumah Hijau Mart. Kemudian, berdua bersama Bu Ratna, kami memindahkan pot-pot tanaman talas ke seberang. Kami menemukan ada lima-enam kawan sejenis cacing tetapi bukan cacing tanah di setiap pot yang dipindahkan. Seperti keluwing tapi merah dan besar hingga rasanya mata dan mulut senyumnya bisa saya lihat (oke ini berlebihan, tapi soal matanya, benar. Cek sendiri kalau ragu). Juga ada tiga-empat bekicot besar diantara seluruh pot yang dipindahkan. Saya memilih mantap mengangkat pot-pot yang ada cacingnya, dan Bu Ratna bersedia mantap mengangkat pot-pot yang ada bekicotnya. Bekicot itu hewan paling tidak setia setelah lintah karena mereka menempel pada apa saja. haha Oke, kembali pada kegiatan. Lalu agar lahan siap, kami menemukan ada empat pohon di sekitar lahan. Dua tanaman jahe, satu jenis rimpang lain, dan calon pohon sukun. Ada juga satu pohon yang batang besarnya masih tertanam menghujamkan akarnya ke bawah tapi saya lupa bertanya pada Mbok Mbun itu pohon apa. Berdasarkan keterangan Mbok Mbun dan Ibu, jahe itu panas, maka pertumbuhannya baiknya tidak berdampingan dengan tanaman yang rencananya akan ada di taman botol. Disepakatilah untuk memindahkan dua jahe tersebut ke polybag. Saya yang bertugas mengeksekusi itu merasa deg-degan juga. Semoga tidak mengganggu pertumbuhan dua jahe tersebut nantinya karena proses pemindahannya. Hati-hati menyekop akar.

Berikutnya, kami membantu Eja menyiapkan botol-botol air mineral bervolume 1,5 liter dan mengisinya dengan air berwarna dicampur cuka. Lumayan butuh perjuangan karena menimba air dari sumur itu butuh teknik agar embernya terisi penuh. Eksperimen warna juga hal yang seru ketika mendapati air racikan jadi mirip sirup temulawak, sirup jeruk, teh, atau daun cincau. Karena ada lima kelopak bunga, kami berhitung satu kelopak membutuhkan 44 botol. Jadi, agar kelopaknya sempurna mewujudkan taman botol, kami butuh 200 lebih botol! Baiklah, kami manfaatkan sampah yang ada di bank sampah. Setelah usai menyiapkan botol-botol berwarna, kami mulai mengerjakan lahan, yakni mulai menggali untuk menempatkan botol-botol tersebut ke dalam tanah sedalam 1/4 bagian botol. Kami menggunakam tiga perkakas saja untuk ini: sekop, golok, dan cangkul kecil (entah nama aslinya apa, gathuk, sepertinya). Yang paling cepat pengerjaannya adalah Ibu yang menggunakan golok karena butuh lubang yang berbentuk balok tanpa atap untuk dapat dimasuki botol-botol air mineral. Golok sangat baik untuk mencacah sekaligus memahat permukaan tanah. Ketika menggarap, tidak jarang kami berpapasan dengan akar dari tumbuhan lain. Kami mengikuti saja pola yang ada di dalam tanah dengan membiarkan jalur akar tetap berada di tempatnya.


Malam mikir, pagi aksi
Entah kenapa saya rasa, malam selalu menghadirkan gelora candu aneh untuk membuka ruang diskusi seluasnya untuk berpikir, merancang angan, atau bertukar ide. Pengganti yang cukup imbang dari ketiadaan anak-anak mengaji seperti biasa ketika saya menjadi tamu di rumah Ibu.
Dibuka dari sebuah buku tentang pencarian harta VOC yang kemudian mengawali diskusi tentang kolonialisme, nasionalisme, kapitalisme, tumbal modernisasi, hedonisme, konsumtif, hingga grass-root movement.

Permintaan dan penawaran vs kebutuhan dan ketersediaan.
Kini, kita didikte untuk menjadi orang lain. Sedangkan orang lain tersebut sesungguhnya tengah mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan. Ibu bilang bahwa Gus Dur suka sekali dengan sirkulasi. Sirkulasi titipan. Bahwa kita memiliki sesuatu yang melampaui kebutuhan kita, kita mesti memutar atau membagikannya kepada orang lain agar titipan tersebut mengalir. Petaka terjadi awal mula sejak ada ide untuk menyimpan atau menggudangkan apa yang kita miliki. Nabi Yusuf a.s juga mengajarkan, penyimpanan terbaik adalah dengan menanam. Bukan menahannya. Untuk memenuhi kebutuhan di masa depan, perlu untuk terus menanam. Bukan menyimpan dalam gudang. Agaknya, hal ini mirip dengan kulkas. Sejak munculnya kulkas, pembagian makanan antar tetangga berkurang atau hilang. Orang akan lebih senang menyimpan untuk cadangan. Padahal, barang yang disimpan lama di kulkas besar potensinya untuk menumpuk kuman. Paman saya di desa pernah bilang jika pohon mangganya sedang berbuah banyak, ia memilih untuk membagikannya kepada siapa saja yang lewat. Ketimbang menyimpannya dalam rumah atau kulkas. Padahal, dalam sistem sharing food ada silaturahim dan ada kegiatan bertani. Itu tradisi yang kini mulai hilang.

Masyarakat pedalaman dan tradisional indonesia dulu menerapkan hukum kebutuhan dan ketersediaan yang melambangkan perilaku hidup sederhana dan imbang dengan alam. Menginginkan lebih untuk memperkaya diri adalah tanda kerakusan dan keserakahan yang merupakan awal petaka kesejahteraan manusia lewat kekayaan yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Dan ujungnya adalah, munculnya mata uang yang sesungguhnya adalah alat tukar. Hanya alat tukar. Ibu menyontohkan, jika suatu hari seseorang membawa uang milyaran tapi tersesat di tengah hutan belantara. Useless.

Kemudian, sebagai bentuk kesadaran dan keinginan untuk perubahan, ada sebuah desa yang menerapkan sistem barter sebagai sistem jual belinya. (Ibu lupa nama desanya). Mungkin, suatu hari, kita bisa juga menerapkan sistem barter atau sharing tools. Untuk menekan laju konsumsi yang dapat mengurangi sampah, hidup lebih sehat, dan angka water footprints yang lebih sedikit.

Lalu, Ibu memaparkan poin yang kemudian menjadi favorit saya malam itu. Pernahkah kita berhitung dalam rupiah berapa besar yang telah dikeluarkan orang pulo sebagai modal untuk menjalankan roda pariwisata dan berapa besar keuntungan orang pulo yang didapatkan dari jalannya si pariwisata tersebut? Untuk menikmati karang indah, misalnya, butuh sense of art. Doesn't make sense kalau pengaku pencinta keindahan justru merugikan karang seperti menjadi penyebab karang yang patah atau rusak. Padahal, 1cm karang yang patah membutuhkan waktu sekian tahun untuk dapat tumbuh kembali. Itu pun perlu kondisi air yang memenuhi syarat agar karang tumbuh dengan baik. Sedangkan resiko kerusakan karang menjadi besar oleh karena pariwisata. Berikutnya, pohon-pohon yang ditebang untuk diambil lahannya guna mendirikan bangunan-bangunan baru seperti penginapan. Lalu, air tanah yang terus disedot untuk kemudian memenuhi kebutuhan wisatawan dalam penginapan. Ada lagi, pohon-pohon yang diambil kayunya untuk kemudian dijadikan bahan baku pembuatan kapal. Bahan bakar yang digunakan untuk hilir mudik kendaraan angkut. Dan akhirnya, masuk ke ranah dampak sosial untuk kebudayaan masyarakat lokal seperti pandangan, gaya, dan orientasi hidup. Rasanya tidak akan sebanding apa yang dikeluarkan dengan apa yang diterima sebagai gantinya. Padahal, orang pulolah yang paling cepat mesti menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, secara geografis dan juga sosial.

Jika kepariwisataan kita kini tengah berada di titik jenuh, sepertinya memang mesti ada gebrakan pandangan baru untuk sekaligus mengatasinya. Untuk ini, Ibu menyarankan segmentasi pengunjung. Karena level penikmat keindahan bisa jadi berbeda-beda dan tidak berbanding lurus dengan modal yang dimiliki. Jika dilakukan riset lebih lanjut, motif orang untuk mengadakan perjalanan wisata ke pulau pasti berbeda-beda ragamnya, seperti berenang, menyelam, menikmati bau laut, kuliner, menikmati budaya orang pulo, dlsb. Dan itu bisa dibuat segmentasi atau level agar lebih sinergi dengan konservasi yang sedang dilakukan.

Dulu, home stay dan tamu adalah sematan bermakna harfiah yang merujuk pada tempat tinggal warga sebagai induk semang dan siapa saja yang datang untuk berkenalan dengan apa yang ada di pulau, termasuk masyarakat dan budayanya. Bukan hanya alam. Tamu tinggal di rumah penduduk sekitar untuk belajar banyak. Dengan begitu, kontrol dan filter budaya lebih bisa dijaga ketimbang penggunaan konsep seperti yang ada saat ini. Dan budaya otomatis akan juga berdampak pada perilaku kita terhadap alam. Gerakan budaya yang lainnya adalah melalui pendidikan. Kini, di Pulau juga sudah digaungkan gerakan memasak di rumah unuk ibu-ibu agar setiap anak ke sekolah membawa bekalnya masing-masing. Upaya nyata mengurangi sampah dengan mengurangi jajan dan asupan nutrisi anak bangsa yang lebih baik.

Two hands in 15
Pagi sekali, kami coba melakukan two hands project selama 15 menit dekat panggung di sebelah barat laut pulau. Hasilnya, banyak sekali plastik kemasan ditemukan.  Dan dipastikan sampah-sampah tersebut adalah sampah hanyutan yang terbawa air saat pasang. Jaket, popok, balon, kresek, kemasan, botol plastik, botol bening, kayu, tongkat besi, dlsb. Itu saja hasil pengamatan sementara.

Selanjutnya, kami bersiap untuk keliling bersama pengurus rumah hijau mengeksekusi LRB dan kontrol hidroponik di beberapa titik.

Ar Rahiim, Al Lathif, Ash Shobur,
Jika Anda menengok time line akun sosial media VB, bisa dilihat bahwa tangan-tangan halus ibu-ibulah yang dominan muncul dalam eksekusi di tiap rumah. Hehe mungkin karena naluri sabar, memelihara, menyayangi, dan lembut yang dipunya kaum ibu untuk bergerak. Terampil, mantap, semangat mengaduk semen untuk bahan plesteran dan aci serta melubangi tanah dengan bor. Asyik dan seru! Anak-anak juga turut serta ikut belajar sambil menghibur. Biusan semangat. Bertani, hidup sehat, dan menjalin komunikasi yang baik dengan alam adalah mimpi indah ibu-ibu ini untuk rumah diri yang lebih hijau.
Superwomen.
:)

27-28 Agustus 2016

/kit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar