Selasa, 14 November 2023

empat menuju lima


Terkadang ad amasa ia meminta sesuatu dengan segera. Muncul di hadapannya.

Fase ini adalah tantangan buat kami untuk mengenalkan sesuatu yang bernama proses. Mungkin saja ini saat yang tepat untuk mengajaknya terlibat pada banyak kegiatan domestik agar mengamati bahwa semua butuh proses yang tidak instan.

Terpikir di benakku untuk mengajaknya memasak mie instan dan melibatkan kontribusinya sepenuhnya dan mungkin saja mengenalkannya pada durasi, waktu yang termakan dalam sebuah proses.


Tiba-tiba ia sudah bisa mengayuh sepeda berpedalnya, merupakan sesuatu yang cukup mengagetkan aku. Karena aku sungguh butuh waktu untuk mencapai titik itu. Sedangkan ia, sungguh cepat. Tentu saja ini bukan rasa iri, melainkan mungkin bisa jadi sarana mengenalkannya bahwa pencapaian tiap orang bisa jadi berbeda. Ah, mengenai keragaman ini sungguh sudah sekian kali kusimulasikan  di benak demi bersiap menjawab tantangan dari si sulungku ini.

kuingin berpuisi, tapi belum bisa. Literasi yang kuserap kurun waktu 5 tahun ini bukanlah kata-kata, melainkan segala kejadian nyata yang menantang di hadapanku.

Sabtu, 10 September 2016

If Tomorrow Never Comes

Tiga variabel out of the box di Cikini


dokumentasi /kit

Sabtu, 20 Agustus 2016. Siang itu cuaca cukup panas. Kendaraan tidak terlalu banyak dan rapat begitu masuk kawasan Cikini. Pandangan mata kami menyapu sisi kiri jalan, mencari-cari plang Ke:kini. Tapi sulit ditemukan sampai dua kali kami berputar dan melawan arus di pinggir sejauh 40 meter. Saya turun untuk bertanya pada petugas parkir di sana tapi ia mengaku tidak tahu. Maka kawan saya, Wibowo, menelepon pihak penyelenggara dan bertanya posisi persisnya. Akhirnya kami mendapatkan lokasinya dan masuk.

Bertiga dari Variabel Bebas, saya, Reza, dan Wibowo menghadiri sebuah undangan terbuka, Share stories, namanya. Lokasinya di markas Ke:kini, Cikini raya. Pukul 13.00 lewat, acara dimulai dengan pembukaan dari Mbak Felincia Hutabrat selaku host dari Ke:kini. Mbak Felin kemudian memperkenalkan pembicara yang akan buka suara di siang hari itu, Mas Iboy dari MakeDoNia, Mas Erwin dari unjuk.in, dan Mas Adi dari LabTanya.

Jujur saja, pertama membaca leaflet undangan terbukanya, saya masing puzzling, acaranya akan seperti apa dan diagram kaitannya akan seperti apa. Dan masuklah Mas Iboy sebagai pembuka.

Maker
Lewat Hackethon, Makerthon, dan thon-thon (marathon) lainnya, banyak orang khususnya pemuda di seluruh dunia (mungkin khususnya di Asia, Tenggara) yang berpartisipasi dalam event ini. Konsepnya simple, yaitu membuat suatu karya tangan dalam rentang waktu tertentu (12/24/36 jam) nonstop bersama kelompok masing-masing untuk kemudian dipresentasikan di hadapan juri. Finalis-finalis dari berragam titik event akan dipertemukan dan kemudian diadu lagi. Itu penjelasan teknisnya.

Penjelasan historisnya lebih seru. Konsep. Ia yakin sebenarnya setiap orang bisa membuat apa saja asalkan berlatih. Budaya DIY (Do it yourself) mesti dikembangkan lagi agar lebih banyak gerakan masif dari masyarakat untuk bisa mandiri. Ia sendiri pun belajar apa saja termasuk crocheting. Di Singapura, ada saja kursus untuk menyeberang. Dan Mas Iboy punya modulnya. Mas Iboy ini nyaris punya modul untuk apa saja karena memang itu lah yang kini banyak dicari orang. Ide dari MakeDoNia itu ya dari sana. Sayangnya, ketika suatu produk hasil makethon sudah dipresentasikan, putus. Berhenti sampai kompetisi saja. Ia merasa ada yang salah. Misal, untuk sebuah karya seni. Karyanya kemudian entah dikemanakan karena untuk dilelang pada kolektor pun secara kualitas tidak matang dan kurang karena pengerjaan yang hanya dalam hitungan jam saja. Apresiasi terhadap karya tangan sendiri masih sangat memprihatinkan di Indonesia. Itu sebabnya ia menggandeng Mas Adi agar bisa berkolaborasi dalam pembuatan karya yang sustainable dan bermanfaat.

Sustainable living, death preparation
Kemudian Mas Adi masuk. Ia adalah seorang arsitek yang sempat mengalami kegalauan dan akhirnya rasa galau itu menjadi inspirasinya untuk mengubah pola pikirnya selama ini. Sebagai seorang arsitek, alur yang biasa ia jalani adalah menerima telepon dari klien untuk tawaran merancang sebuah bangunan. Ketika hendak membangun, otomatis ia dan tim akan melakukan analisis persmasalahan di lingkungan sekitar site untuk kemudian membuat rancang bangun yang sesuai dan pas. Tapi di sisi lain, ia menemukan bahwa permasalahan lingkungan muncul salah satunya dari tata arsitektur kota dan bangunan yang berantakan dan egois. Jangan-jangan, keputusan untuk tidak membangun adalah suatu keputusan arsitektural? Ini yang kemudian menginspirasinya untuk berhenti menjadi arsitek penunggu panggilan telepon.

Malang melintang di dunia desain arsitektur membuatnya ikut rutin menjadi peserta lomba-lomba desain yang dilaksanakan secara regional maupun nasional. Suatu ketika, karyanya masuk daftar label provokatif namun tidak mendapatkan tempat sebagai juara (saya lupa kategori tepatnya). Ketika ia bertanya sebabnya, jawaban para juri adalah karyanya tidak mungkin diaplikasikan pada saat ini di Indonesia. Baru akan bisa dilaksanakan nanti sekitar 50-100 tahun lagi. Sejak saat itu, ia hanya yakin ide dan perspektif visinya akan terus berbenturan jika menempuh jalur formal. Dan ia akan memiliki jalur cerita lain jika menempuh jalur nonformal untuk merealisasikan ide dan visinya untuk menepis kegalauan tanggung jawab sebagai seorang arsitek yang juga manusia.

Susiadi Wibowo menggarap LabTanya dengan tagline zero waste city. Tagline ini bukanlah tujuan mereka. Mereka hanya penasaran dan mencari tahu apakah memungkinkan zero waste city terwujud. Jadi, yang mereka lakukan bukanlah untuk mencapai tujuan, melainkan mencari tahu kemungkinan realisasinya. Mungkin seperti sebuah paragraf deduktif-induktif. Yang Mas Adi pilih adalah menjadi paragraf induktif, bukan deduktif. Zero waste city tidak mungkin terwujud jika kita tidak mengubah cara kita memandang permasalahan. Selama ini, jika kita menemukan suatu masalah, lantas menelurkan solusi namun kemudian timbul lagi masalah-masalah lain dari solusi tersebut, jangan-jangan yang kita pandang sebagai masalah, bukanlah masalah yang sebenarnya. Bagaimana jika ternyata masalahnya sesungguhnya adalah konteks atau cara kita memadang masalah?

Paradigma kita terhadap sampah misalnya. Apakah selesai jika kita menyelesaikan persoalan sampah dengan mengangkutnya ke Tempat Pembuangan Umum secara teratur? Tidak. Karena sampah tersebut tidaklah hilang. Melainkan berpindah tempat saja. Termasuk incinerator yang seperti sulap menghilangkan segala jenis sampah, padahal kandungan zat berbahaya dari sisa pembakarannya menguap ke atas dan tak kasat mata sehingga sulit dideteksi.

Jadi, karena sampah itu dihasilkan dari proses konsumsi kita, ya aksi nyata untuk mengurangi sampah adalah dengan mengurangi  konsumsi kita dong. Dalam hal ini, memang pada kenyataannya, kita berhadapan dengan industri produsen. Tapi karena sampah dihasilkan dari dalam rumah, maka, kita bisa bantu untuk menguranginya dengan memilih barang yang kita konsumsi. Itu lebih efektif efisien ketimbang daur ulang yang belum tentu semua jenis sampah plastik bisa didaur ulang, pun kalau ada yang bisa didaur ulang menjadi produk baru, maka kualitasnya akan turun.

Persoalan sampah bukan hanya kewajiban dan hak para sarjana atau master teknologi lingkungan atau titel apapun yang berkaitan dengan lingkungan. Karena toh kita semua dengan berragam latar belakang dan status, memproduksi sampah dari rumah masing-masing dan lingkungan memang milik kita semua. Jadi, paradigm mengenai batasan disiplin ilmu sudah saatnya diganti. Sudah saatnya kita membicarakan konteks dari suatu permasalahan agar penyelesaiannya lebih efektif dan sustainable (berkelanjutan).

Kolaborasi
Gerakan makerthon nanti bisa dibilang sebagai suatu trigger agar masyarakat terutama kaum muda lebih mau bereksperimen membuat atau memproduksi sesuatu namun tidak turut serta menambah permasalahan lingungan yang baru dan karyanya berkelanjutan. Mas Adi menyarankan semua yang hadir untuk menyepakati dulu mengubah pandangan terhadap teknologi. Karena yang dimaksud teknologi tidak selalu berkaitan dengan modernisasi dan kecanggihan-kecanggihan konstruksi atau desain yang rumit yang hanya dimengerti segelintir orang. Cangkul, engsel pintu, dan benda tradisional lainnya pun sebuah teknologi. Ada dua hal penting yang saya catat sepulang dari sana, yaitu, bangga terhadap karya sendiri (sekecil apa pun, atau meski manfaatnya hanya baru bisa untuk diri sendiri) dan lebih tepat memilih jalan keluar untuk suatu masalah dengan memandang konteksnya.
Kamu, berani out of the box?

20 Agustus 2016

/kit

Menemui Para Pendengar

Menemui Para Pendengar


dokumentasi oleh Reza Wulandari

Awalnya sampah
Kawan seperjalanan saya mual karena Kerapu yang terombang-ambing di bawah langit mendung dan gerimis pagi itu. Ia memuntahkan rasa mualnya ke dalam kantong plastik kresek ukuran kecil. Anehnya, itu terjadi justru ketika kapal merapat ke dermaga dan sebagian penumpang tengah melompat ke luar. "Ada bau bensin", begitu pengakuannya saat saya tanya apa sebab hingga ia mual ketika kapal tiba di dermaga. hehe Sembari menungguinya, saya menjawab sapaan dan pertanyaan dari kapten kapal.

"Kenapa temannya? Nangis ya karena pengen ketemu orang tua?" candanya. Kapten baik hati yang bersedia menunggu kami siap keluar kapal kemudian menyarankan untuk membuang saja sampahnya ke jendela kapal. Dua-tiga kali sarannya itu kami pertimbangkan sepersekian detik sambil saling tatap. Kekeuh, kami jawab," hehe tidak, terima kasih. Biar nanti ketika bertemu tong sampah saja, Pak."

Ucap salam sambil terima kasih karena telah menunggui kami, kami pamit keluar kapal. Ah, andai ia tahu, sampah lah yang membuat kami saling bertemu dan berkenalan hingga akhirnya sepakat untuk bermimpi bareng-bareng.

KI dan hujan
Kelas iklim tidak terlaksana hari itu karena dua anak yang tengah menunggu dalam gerimis sudah keburu pulang sebab belum muncul kawan-kawan lainnya dan juga fasilitator. Anak-anak dari Pulau Panggang yang sudah menyeberang pun dalam perjalanan memutar balik karena kondisi cuaca sedang ingin meluruhkan airnya ke bumi bersama angin. Buat kami yang berjalan menerabas gerimis, hal itu jadi peluang memetakan sekilas daerah mana saja yang baiknya ada LRB agar tidak ada lagi genangan air.

Taman Botol
Berempat bersama Bu Mahariah (biasa kami panggil Ibu) dan Bu Ratna kami mengeksekusi taman botol di kawasan hutan widu. Dimulai dengan saya menggambar pola bunga yang diingini di lahan samping kiri Rumah Hijau Mart. Kemudian, berdua bersama Bu Ratna, kami memindahkan pot-pot tanaman talas ke seberang. Kami menemukan ada lima-enam kawan sejenis cacing tetapi bukan cacing tanah di setiap pot yang dipindahkan. Seperti keluwing tapi merah dan besar hingga rasanya mata dan mulut senyumnya bisa saya lihat (oke ini berlebihan, tapi soal matanya, benar. Cek sendiri kalau ragu). Juga ada tiga-empat bekicot besar diantara seluruh pot yang dipindahkan. Saya memilih mantap mengangkat pot-pot yang ada cacingnya, dan Bu Ratna bersedia mantap mengangkat pot-pot yang ada bekicotnya. Bekicot itu hewan paling tidak setia setelah lintah karena mereka menempel pada apa saja. haha Oke, kembali pada kegiatan. Lalu agar lahan siap, kami menemukan ada empat pohon di sekitar lahan. Dua tanaman jahe, satu jenis rimpang lain, dan calon pohon sukun. Ada juga satu pohon yang batang besarnya masih tertanam menghujamkan akarnya ke bawah tapi saya lupa bertanya pada Mbok Mbun itu pohon apa. Berdasarkan keterangan Mbok Mbun dan Ibu, jahe itu panas, maka pertumbuhannya baiknya tidak berdampingan dengan tanaman yang rencananya akan ada di taman botol. Disepakatilah untuk memindahkan dua jahe tersebut ke polybag. Saya yang bertugas mengeksekusi itu merasa deg-degan juga. Semoga tidak mengganggu pertumbuhan dua jahe tersebut nantinya karena proses pemindahannya. Hati-hati menyekop akar.

Berikutnya, kami membantu Eja menyiapkan botol-botol air mineral bervolume 1,5 liter dan mengisinya dengan air berwarna dicampur cuka. Lumayan butuh perjuangan karena menimba air dari sumur itu butuh teknik agar embernya terisi penuh. Eksperimen warna juga hal yang seru ketika mendapati air racikan jadi mirip sirup temulawak, sirup jeruk, teh, atau daun cincau. Karena ada lima kelopak bunga, kami berhitung satu kelopak membutuhkan 44 botol. Jadi, agar kelopaknya sempurna mewujudkan taman botol, kami butuh 200 lebih botol! Baiklah, kami manfaatkan sampah yang ada di bank sampah. Setelah usai menyiapkan botol-botol berwarna, kami mulai mengerjakan lahan, yakni mulai menggali untuk menempatkan botol-botol tersebut ke dalam tanah sedalam 1/4 bagian botol. Kami menggunakam tiga perkakas saja untuk ini: sekop, golok, dan cangkul kecil (entah nama aslinya apa, gathuk, sepertinya). Yang paling cepat pengerjaannya adalah Ibu yang menggunakan golok karena butuh lubang yang berbentuk balok tanpa atap untuk dapat dimasuki botol-botol air mineral. Golok sangat baik untuk mencacah sekaligus memahat permukaan tanah. Ketika menggarap, tidak jarang kami berpapasan dengan akar dari tumbuhan lain. Kami mengikuti saja pola yang ada di dalam tanah dengan membiarkan jalur akar tetap berada di tempatnya.


Malam mikir, pagi aksi
Entah kenapa saya rasa, malam selalu menghadirkan gelora candu aneh untuk membuka ruang diskusi seluasnya untuk berpikir, merancang angan, atau bertukar ide. Pengganti yang cukup imbang dari ketiadaan anak-anak mengaji seperti biasa ketika saya menjadi tamu di rumah Ibu.
Dibuka dari sebuah buku tentang pencarian harta VOC yang kemudian mengawali diskusi tentang kolonialisme, nasionalisme, kapitalisme, tumbal modernisasi, hedonisme, konsumtif, hingga grass-root movement.

Permintaan dan penawaran vs kebutuhan dan ketersediaan.
Kini, kita didikte untuk menjadi orang lain. Sedangkan orang lain tersebut sesungguhnya tengah mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan. Ibu bilang bahwa Gus Dur suka sekali dengan sirkulasi. Sirkulasi titipan. Bahwa kita memiliki sesuatu yang melampaui kebutuhan kita, kita mesti memutar atau membagikannya kepada orang lain agar titipan tersebut mengalir. Petaka terjadi awal mula sejak ada ide untuk menyimpan atau menggudangkan apa yang kita miliki. Nabi Yusuf a.s juga mengajarkan, penyimpanan terbaik adalah dengan menanam. Bukan menahannya. Untuk memenuhi kebutuhan di masa depan, perlu untuk terus menanam. Bukan menyimpan dalam gudang. Agaknya, hal ini mirip dengan kulkas. Sejak munculnya kulkas, pembagian makanan antar tetangga berkurang atau hilang. Orang akan lebih senang menyimpan untuk cadangan. Padahal, barang yang disimpan lama di kulkas besar potensinya untuk menumpuk kuman. Paman saya di desa pernah bilang jika pohon mangganya sedang berbuah banyak, ia memilih untuk membagikannya kepada siapa saja yang lewat. Ketimbang menyimpannya dalam rumah atau kulkas. Padahal, dalam sistem sharing food ada silaturahim dan ada kegiatan bertani. Itu tradisi yang kini mulai hilang.

Masyarakat pedalaman dan tradisional indonesia dulu menerapkan hukum kebutuhan dan ketersediaan yang melambangkan perilaku hidup sederhana dan imbang dengan alam. Menginginkan lebih untuk memperkaya diri adalah tanda kerakusan dan keserakahan yang merupakan awal petaka kesejahteraan manusia lewat kekayaan yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Dan ujungnya adalah, munculnya mata uang yang sesungguhnya adalah alat tukar. Hanya alat tukar. Ibu menyontohkan, jika suatu hari seseorang membawa uang milyaran tapi tersesat di tengah hutan belantara. Useless.

Kemudian, sebagai bentuk kesadaran dan keinginan untuk perubahan, ada sebuah desa yang menerapkan sistem barter sebagai sistem jual belinya. (Ibu lupa nama desanya). Mungkin, suatu hari, kita bisa juga menerapkan sistem barter atau sharing tools. Untuk menekan laju konsumsi yang dapat mengurangi sampah, hidup lebih sehat, dan angka water footprints yang lebih sedikit.

Lalu, Ibu memaparkan poin yang kemudian menjadi favorit saya malam itu. Pernahkah kita berhitung dalam rupiah berapa besar yang telah dikeluarkan orang pulo sebagai modal untuk menjalankan roda pariwisata dan berapa besar keuntungan orang pulo yang didapatkan dari jalannya si pariwisata tersebut? Untuk menikmati karang indah, misalnya, butuh sense of art. Doesn't make sense kalau pengaku pencinta keindahan justru merugikan karang seperti menjadi penyebab karang yang patah atau rusak. Padahal, 1cm karang yang patah membutuhkan waktu sekian tahun untuk dapat tumbuh kembali. Itu pun perlu kondisi air yang memenuhi syarat agar karang tumbuh dengan baik. Sedangkan resiko kerusakan karang menjadi besar oleh karena pariwisata. Berikutnya, pohon-pohon yang ditebang untuk diambil lahannya guna mendirikan bangunan-bangunan baru seperti penginapan. Lalu, air tanah yang terus disedot untuk kemudian memenuhi kebutuhan wisatawan dalam penginapan. Ada lagi, pohon-pohon yang diambil kayunya untuk kemudian dijadikan bahan baku pembuatan kapal. Bahan bakar yang digunakan untuk hilir mudik kendaraan angkut. Dan akhirnya, masuk ke ranah dampak sosial untuk kebudayaan masyarakat lokal seperti pandangan, gaya, dan orientasi hidup. Rasanya tidak akan sebanding apa yang dikeluarkan dengan apa yang diterima sebagai gantinya. Padahal, orang pulolah yang paling cepat mesti menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, secara geografis dan juga sosial.

Jika kepariwisataan kita kini tengah berada di titik jenuh, sepertinya memang mesti ada gebrakan pandangan baru untuk sekaligus mengatasinya. Untuk ini, Ibu menyarankan segmentasi pengunjung. Karena level penikmat keindahan bisa jadi berbeda-beda dan tidak berbanding lurus dengan modal yang dimiliki. Jika dilakukan riset lebih lanjut, motif orang untuk mengadakan perjalanan wisata ke pulau pasti berbeda-beda ragamnya, seperti berenang, menyelam, menikmati bau laut, kuliner, menikmati budaya orang pulo, dlsb. Dan itu bisa dibuat segmentasi atau level agar lebih sinergi dengan konservasi yang sedang dilakukan.

Dulu, home stay dan tamu adalah sematan bermakna harfiah yang merujuk pada tempat tinggal warga sebagai induk semang dan siapa saja yang datang untuk berkenalan dengan apa yang ada di pulau, termasuk masyarakat dan budayanya. Bukan hanya alam. Tamu tinggal di rumah penduduk sekitar untuk belajar banyak. Dengan begitu, kontrol dan filter budaya lebih bisa dijaga ketimbang penggunaan konsep seperti yang ada saat ini. Dan budaya otomatis akan juga berdampak pada perilaku kita terhadap alam. Gerakan budaya yang lainnya adalah melalui pendidikan. Kini, di Pulau juga sudah digaungkan gerakan memasak di rumah unuk ibu-ibu agar setiap anak ke sekolah membawa bekalnya masing-masing. Upaya nyata mengurangi sampah dengan mengurangi jajan dan asupan nutrisi anak bangsa yang lebih baik.

Two hands in 15
Pagi sekali, kami coba melakukan two hands project selama 15 menit dekat panggung di sebelah barat laut pulau. Hasilnya, banyak sekali plastik kemasan ditemukan.  Dan dipastikan sampah-sampah tersebut adalah sampah hanyutan yang terbawa air saat pasang. Jaket, popok, balon, kresek, kemasan, botol plastik, botol bening, kayu, tongkat besi, dlsb. Itu saja hasil pengamatan sementara.

Selanjutnya, kami bersiap untuk keliling bersama pengurus rumah hijau mengeksekusi LRB dan kontrol hidroponik di beberapa titik.

Ar Rahiim, Al Lathif, Ash Shobur,
Jika Anda menengok time line akun sosial media VB, bisa dilihat bahwa tangan-tangan halus ibu-ibulah yang dominan muncul dalam eksekusi di tiap rumah. Hehe mungkin karena naluri sabar, memelihara, menyayangi, dan lembut yang dipunya kaum ibu untuk bergerak. Terampil, mantap, semangat mengaduk semen untuk bahan plesteran dan aci serta melubangi tanah dengan bor. Asyik dan seru! Anak-anak juga turut serta ikut belajar sambil menghibur. Biusan semangat. Bertani, hidup sehat, dan menjalin komunikasi yang baik dengan alam adalah mimpi indah ibu-ibu ini untuk rumah diri yang lebih hijau.
Superwomen.
:)

27-28 Agustus 2016

/kit

Kamis, 25 Agustus 2016

Belajar lagi



Ini  bukan contekan. Bukan suatu barang yang bisa dibagi untuk kemudian menyelamatkan status dan muka di hadapan teman-teman dan guru. Ini merupakan sikap dan sikap tidak akan pernah terlahir dari ketakutan dalam memutuskan.

Ini bukan tentang gengsi atau status kita di mata orang lain. Ini merupakan laku alami yang muncul dan lahir dari buah pikiran mana yang kau anggap baik untuk dilakukan. Kita itu muridan, yang berkehendak. Dan kehendak itu bukan timbul setelah dipecut, melainkan tergagas dari inisiatif diri. 

Jika ada sejumput rasa takut membuat kesalahan, mungkin itu merupakan kesalahan tradisi mendidik leluhur bangsa ini yang selalu yakin bahwa anak adalah cangkir atau kertas kosong. Melompong. Kopong. Dan kita jadi terbiasa dimaki ketika berbuat salah ketimbang dipuji ketika melakukan kebaikan atau kebenaran. Bukan, sama sekali bukan untuk pencapaian derajat tawadhu, melainkan karena sudah ada asumsi kurang baik sejak pertemuan pertama dalam nuansa belajar.


Kawan, ini sama sekali bukan tentang muka dan status kita. Ini tentang identitas dan watak mendasar kita sebagai muridan. Kita hanya lupa, kita hanya perlu mengingatnya bahwa setiap dari kita, untuk naik takhta hingga mencapai tingkat khalifah, kita tidak boleh terlepas dari semangat untuk belajar. Tidak boleh.

Termasuk, belajar menghadapi sosok diri.

Sabtu, 23 Juli 2016

tatap muka



"Zaman sekarang, orang-orang jarang saling bertatap muka, dan kalau mereka tidak saling bertatap muka, mereka tidak akan bertumbuh. Saya mesti langsung datang dan menunjukkan pada Anda bahwa saya terbuat dari darah dan daging."

Itu kurang lebih kutipan Paulo Coelho dalam sebuah bukunya. Menjelaskan pada pembaca bahwa bertemu muka dengan orang-orang yang memiliki maksud untuk mencapai tujuan adalah sebuah keharusan. Mewakili keseriusan dalam mencapai tujuan tersebut. Mungkin terkesan agak memaksa mengingat orang yang menyampaikan tujuannya barangkali memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam bertatap muka. Namun, bukannya Tuhan memiliki sejuta keajaiban-keajaiban untuk mendobrak keterbatasan-keterbatasan tersebut, tergantung dari usaha dan tekad orang-orang yang berniat?

Pada masa dimana teknologi menyita peran kita hampir setiap saat. Ketimbang berkata-kata lewat suara sambil menatap mata lawan bicara, kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan menatap layar gadget dan menggunakan media sosial. Sebuah sulap sihir yang mengubah pola komunikasi langsung kita. Memangkas penghargaan terhadap intonasi atau pemaknaan terhadap gesture.


Ada rezeki tersendiri dari tatap muka.
ada hal kecil tapi penting yang terkonfirmasi.
tawa, senyum, dan kesalnya bukan emotikon belaka.
asli, apa adanya, tanpa rencana.

Minggu, 03 April 2016

Seblak Ceker Ayam Connecting People

Long time ago, kalau bikin seblak, saya pakai kemiri biar ada kesan lengket dan juicynya. Tapi kali ini karena bermain ceker ayam, rasanya gak perlu pakai kemiri karena ceker ayam sendiri sudah akan mengeluarkan zat kolagennya ketika diolah di atas wajan. Ini adalah seblak ceker ayam yang menurut saya masih kurang dari target rasa yang ada di benak saya, yaitu kesan empuk, meresap, dan pedas asam asin manis yang pas. Hehe

Well then, postingan ini tentang hal-hal yang tadi saya siapkan dan kerjakan. Durasi totalnya ternyata enam jam karena membersihkan kulitnya lama banget.

Alhamdulillah dari mas sayurnya sudah dibersihkan kuku cekernya terlebih dahulu. Karena saya enggak tegaan kalau harus memotong-motong bagian tubuh hewan yang masih kentara bentuknya. Maaf ya, ayam ...

Sedikit cerita, ketika membersihkan kulit ceker ayam di air hangat kuku, saya beberapa kali merasa seperti memahami betapa dalam makna dari iklan Nokia: Connecting People yang diikonkan dengan adegan genggaman tangan. Berarti 35 kali saya bergenggaman dengan ceker ayam (saya betul-betul menghitung jumlah ceker ayamnya ternyata) dan merasa betul bahwa genggaman tangan itu menghangatkan dan membuat perasaan jadi lebih bonding satu sama lain (jan ... iki opo toooh).

Kebanyakan bengong saat memasak ya resikonya begini ini. Ckck

Berikut alat, bahan, dan stepnya. Selamat mencoba untuk Anda yang sempat mampir (biasanya pengunjung blog saya accidently mampir hehehe). Nuhun.

Seblak Ceker Ayam
alat:
1. lumpang+alu
2. sodet kayu
3. kuali
4. talenan
5. pisau
6. lampin


bahan:
1. ceker ayam
2. daun bawang (1 batang)
3. lada (satu sendok makan)
4. bawang putih (3 besar)
5. bawang merah (8 sedang)
6. cabai merah (5)
7. kencur (2 ukuran ibu jari)
8. cabai rawit (5)
9. tomat (1)
10. saus (1 sdm)
11. penyedap (1/4 bungkus)
12  gula pasir (1 sdt)


step terlama yaitu ketika mempersiapkan ceker ayamnya.

Pertama, cuci sambil hilangkan kulit luar yang berwarna kekuning-kuningan mirip sisik. Gunakan pisau sebagai bantuan. Jika masih sulit, coba rendam air panas, tunggu beberapa lama, baru coba untuk membersihkan kulitnya lagi.

Kedua, rebus ceker ayam bersama air garam (1 sdm garam+air secukupnya) dalam panci besar. Tunggu sampai empuk. Ciri-ciri empuk versi saya adalah ketika daging dan kulit ceker bagian pangkal sudah ada yang mengelupas atau mau lepas atau urat-uratnya yang terlihat, tampak menghitam. Ketiga, tiriskan.


Langkah kerja:
1. haluskan semua bumbu dapur yang disebutkan di atas dengan lada sebagai yang pertama dihaluskan dan tomat yang terakhir dihaluskan. Alasannya, karena sebagai biji-bijian, lada butuh space yang luas untuk dihaluskan. Dan tomat begitu mudah dihaluskan kecuali kulitnya.
2. iris daun bawang. potong dadu.
3. panaskan 1-2 sdm minyak goreng.
4. tumis bumbu dalam api kecil-sedang. Aduk terus kecepatan stagnan agar bumbu tidak lengket di wajan dan matang secara adil dan merata (apadah ...)
5. begitu ada indikasi harum dan kematangan bumbu (yaitu terjadi perubahan warna dan tekstur yang semula lembut menjadi agak menggumpal kecil-kecil alias ngegank), tambahkan saus, garam, gula, dan penyedap. Aduk lagi.
6. tambahkan sedikit air (1/2-1 gelas)
7. ketika mendidih, cicipi kuahnya. Tambahkan bumbu yang dirasa kurang sesuai selera.
8. masukkan ceker ayam. aduk. Biarkan mendidih dan meresap kurleb 3 menit.
9. matikan api.
10. taburkan daun bawang. Aduk.


Ambil sejumput kuah dalam sendok lalu tanyakan pada kakakmu, adikmu, Ibu, bapak, tetanggamu, atau kucing di rumahmu: "Kurang apa gitu, enggak?"

sekian.
/kit

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLLzQI17Q7h_vPOpK6UXjE7kzEemCCScgwiwMd7lbdZDX3zMcbVYlJyMybnqAh8GYOtxtB-FByO_oF59gtp7-TezT6UtZ5J99K9BK4RbhmFXg_6ka-J6vH4006lLY8CIyi5KHBwJAha3k/s640/20160403_182106.jpg


Minggu, 06 Maret 2016

Pernah





Padanya, aku pernah mendapati sesuatu yang dalam, yang mungkin telah banyak membaca sekitar. Tempat yang hanya sesekali aku berani untuk mencuri dengar, mengintip sibakkannya walau samar, sekejap. Yang dapat terlihat dengan mudah apakah sedang terundang tawanya atau terpancing kesedihannya untuk pertanyaan-pertanyaan yang barangkali urung ia temukan jawabannya, tanpa perlu aku melihat guratan pada bibir atau lekuk alisnya. Ini juga adalah sesuatu yang tiada dari Abdullah bin Ummi Maktum, namun jika boleh kutaksir, cerminnya tidak pernah khianat, tetap indah bahkan boleh jadi lebih gemilang oleh karena syukurnya atas nikmat yang lebih besar yang tersembunyi dibalik tiada dapat dinikmatinya salah satu inderanya itu.


Tidak, aku pun belum mengerti betul apa sebab ketika suatu kali temanku berkata bahwa ia tak pernah sanggup melihat sorot orang lain untuk waktu yang lama. Sehingga aku tersadar bahwa ada Yang Maha dari apa yang sedang kumahakan dalam benak. Itu sepertinya adalah sebab mengapa Angku Haji menikmati waktu berjam-jam di tepi dipan untuk mengenangkan mendiang istrinya dengan menafakuri ayat-ayat suci. 


Tempat yang paling indah? Ya, pernah kudapati dalam suatu masa, sorot dalam matanya.