Menemui Para Pendengar
dokumentasi oleh Reza Wulandari
Awalnya sampah
Kawan
seperjalanan saya mual karena Kerapu yang terombang-ambing di bawah langit
mendung dan gerimis pagi itu. Ia memuntahkan rasa mualnya ke dalam kantong
plastik kresek ukuran kecil. Anehnya, itu terjadi justru ketika kapal merapat
ke dermaga dan sebagian penumpang tengah melompat ke luar. "Ada bau
bensin", begitu pengakuannya saat saya tanya apa sebab hingga ia mual
ketika kapal tiba di dermaga. hehe Sembari menungguinya, saya menjawab sapaan
dan pertanyaan dari kapten kapal.
"Kenapa
temannya? Nangis ya karena pengen ketemu orang tua?" candanya. Kapten baik
hati yang bersedia menunggu kami siap keluar kapal kemudian menyarankan untuk
membuang saja sampahnya ke jendela kapal. Dua-tiga kali sarannya itu kami
pertimbangkan sepersekian detik sambil saling tatap. Kekeuh, kami jawab,"
hehe tidak, terima kasih. Biar nanti ketika bertemu tong sampah saja,
Pak."
Ucap salam
sambil terima kasih karena telah menunggui kami, kami pamit keluar kapal. Ah,
andai ia tahu, sampah lah yang membuat kami saling bertemu dan berkenalan
hingga akhirnya sepakat untuk bermimpi bareng-bareng.
KI dan hujan
Kelas iklim
tidak terlaksana hari itu karena dua anak yang tengah menunggu dalam gerimis
sudah keburu pulang sebab belum muncul kawan-kawan lainnya dan juga
fasilitator. Anak-anak dari Pulau Panggang yang sudah menyeberang pun dalam
perjalanan memutar balik karena kondisi cuaca sedang ingin meluruhkan airnya ke
bumi bersama angin. Buat kami yang berjalan menerabas gerimis, hal itu jadi
peluang memetakan sekilas daerah mana saja yang baiknya ada LRB agar tidak ada
lagi genangan air.
Taman Botol
Berempat
bersama Bu Mahariah (biasa kami panggil Ibu) dan Bu Ratna kami mengeksekusi
taman botol di kawasan hutan widu. Dimulai dengan saya menggambar pola bunga
yang diingini di lahan samping kiri Rumah Hijau Mart. Kemudian, berdua bersama
Bu Ratna, kami memindahkan pot-pot tanaman talas ke seberang. Kami menemukan
ada lima-enam kawan sejenis cacing tetapi bukan cacing tanah di setiap pot yang
dipindahkan. Seperti keluwing tapi merah dan besar hingga rasanya mata dan
mulut senyumnya bisa saya lihat (oke ini berlebihan, tapi soal matanya, benar.
Cek sendiri kalau ragu). Juga ada tiga-empat bekicot besar diantara seluruh pot
yang dipindahkan. Saya memilih mantap mengangkat pot-pot yang ada cacingnya,
dan Bu Ratna bersedia mantap mengangkat pot-pot yang ada bekicotnya. Bekicot
itu hewan paling tidak setia setelah lintah karena mereka menempel pada apa
saja. haha Oke, kembali pada kegiatan. Lalu agar lahan siap, kami menemukan ada
empat pohon di sekitar lahan. Dua tanaman jahe, satu jenis rimpang lain, dan
calon pohon sukun. Ada juga satu pohon yang batang besarnya masih tertanam
menghujamkan akarnya ke bawah tapi saya lupa bertanya pada Mbok Mbun itu pohon
apa. Berdasarkan keterangan Mbok Mbun dan Ibu, jahe itu panas, maka
pertumbuhannya baiknya tidak berdampingan dengan tanaman yang rencananya akan
ada di taman botol. Disepakatilah untuk memindahkan dua jahe tersebut ke polybag. Saya yang bertugas mengeksekusi
itu merasa deg-degan juga. Semoga tidak mengganggu pertumbuhan dua jahe
tersebut nantinya karena proses pemindahannya. Hati-hati menyekop akar.
Berikutnya,
kami membantu Eja menyiapkan botol-botol air mineral bervolume 1,5 liter dan
mengisinya dengan air berwarna dicampur cuka. Lumayan butuh perjuangan karena
menimba air dari sumur itu butuh teknik agar embernya terisi penuh. Eksperimen
warna juga hal yang seru ketika mendapati air racikan jadi mirip sirup
temulawak, sirup jeruk, teh, atau daun cincau. Karena ada lima kelopak bunga,
kami berhitung satu kelopak membutuhkan 44 botol. Jadi, agar kelopaknya
sempurna mewujudkan taman botol, kami butuh 200 lebih botol! Baiklah, kami
manfaatkan sampah yang ada di bank sampah. Setelah usai menyiapkan botol-botol
berwarna, kami mulai mengerjakan lahan, yakni mulai menggali untuk menempatkan
botol-botol tersebut ke dalam tanah sedalam 1/4 bagian botol. Kami menggunakam
tiga perkakas saja untuk ini: sekop, golok, dan cangkul kecil (entah nama
aslinya apa, gathuk, sepertinya).
Yang paling cepat pengerjaannya adalah Ibu yang menggunakan golok karena butuh
lubang yang berbentuk balok tanpa atap untuk dapat dimasuki botol-botol air
mineral. Golok sangat baik untuk mencacah sekaligus memahat permukaan tanah.
Ketika menggarap, tidak jarang kami berpapasan dengan akar dari tumbuhan lain.
Kami mengikuti saja pola yang ada di dalam tanah dengan membiarkan jalur akar
tetap berada di tempatnya.
Malam mikir, pagi aksi
Entah kenapa
saya rasa, malam selalu menghadirkan gelora candu aneh untuk membuka ruang
diskusi seluasnya untuk berpikir, merancang angan, atau bertukar ide. Pengganti
yang cukup imbang dari ketiadaan anak-anak mengaji seperti biasa ketika saya
menjadi tamu di rumah Ibu.
Dibuka dari
sebuah buku tentang pencarian harta VOC yang kemudian mengawali diskusi tentang
kolonialisme, nasionalisme, kapitalisme, tumbal modernisasi, hedonisme,
konsumtif, hingga grass-root movement.
Permintaan dan
penawaran vs kebutuhan dan ketersediaan.
Kini, kita
didikte untuk menjadi orang lain. Sedangkan orang lain tersebut sesungguhnya
tengah mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan. Ibu bilang bahwa Gus Dur suka sekali
dengan sirkulasi. Sirkulasi titipan. Bahwa kita memiliki sesuatu yang melampaui
kebutuhan kita, kita mesti memutar atau membagikannya kepada orang lain agar
titipan tersebut mengalir. Petaka terjadi awal mula sejak ada ide untuk
menyimpan atau menggudangkan apa yang kita miliki. Nabi Yusuf a.s juga
mengajarkan, penyimpanan terbaik adalah dengan menanam. Bukan menahannya. Untuk
memenuhi kebutuhan di masa depan, perlu untuk terus menanam. Bukan menyimpan
dalam gudang. Agaknya, hal ini mirip dengan kulkas.
Sejak munculnya kulkas, pembagian
makanan antar tetangga berkurang atau hilang. Orang akan lebih senang menyimpan
untuk cadangan. Padahal, barang yang disimpan lama di kulkas besar potensinya untuk menumpuk kuman. Paman saya di desa
pernah bilang jika pohon mangganya sedang berbuah banyak, ia memilih untuk
membagikannya kepada siapa saja yang lewat. Ketimbang menyimpannya dalam rumah
atau kulkas. Padahal, dalam sistem sharing food ada silaturahim dan ada
kegiatan bertani. Itu tradisi yang kini mulai hilang.
Masyarakat
pedalaman dan tradisional indonesia dulu menerapkan hukum kebutuhan dan
ketersediaan yang melambangkan perilaku hidup sederhana dan imbang dengan alam.
Menginginkan lebih untuk memperkaya diri adalah tanda kerakusan dan keserakahan
yang merupakan awal petaka kesejahteraan manusia lewat kekayaan yang hanya
dikuasai segelintir orang saja. Dan ujungnya adalah, munculnya mata uang yang
sesungguhnya adalah alat tukar. Hanya alat tukar. Ibu menyontohkan, jika suatu
hari seseorang membawa uang milyaran tapi tersesat di tengah hutan belantara. Useless.
Kemudian,
sebagai bentuk kesadaran dan keinginan untuk perubahan, ada sebuah desa yang
menerapkan sistem barter sebagai sistem jual belinya. (Ibu lupa nama desanya).
Mungkin, suatu hari, kita bisa juga menerapkan sistem barter atau sharing tools. Untuk menekan laju
konsumsi yang dapat mengurangi sampah, hidup lebih sehat, dan angka water footprints yang lebih sedikit.
Lalu, Ibu
memaparkan poin yang kemudian menjadi favorit saya malam itu. Pernahkah kita
berhitung dalam rupiah berapa besar yang telah dikeluarkan orang pulo sebagai
modal untuk menjalankan roda pariwisata dan berapa besar keuntungan orang pulo
yang didapatkan dari jalannya si pariwisata tersebut? Untuk menikmati karang
indah, misalnya, butuh sense of art.
Doesn't make sense kalau pengaku pencinta keindahan justru merugikan karang
seperti menjadi penyebab karang yang patah atau rusak. Padahal, 1cm karang yang
patah membutuhkan waktu sekian tahun untuk dapat tumbuh kembali. Itu pun perlu
kondisi air yang memenuhi syarat agar karang tumbuh dengan baik. Sedangkan
resiko kerusakan karang menjadi besar oleh karena pariwisata. Berikutnya,
pohon-pohon yang ditebang untuk diambil lahannya guna mendirikan
bangunan-bangunan baru seperti penginapan. Lalu, air tanah yang terus disedot
untuk kemudian memenuhi kebutuhan wisatawan dalam penginapan. Ada lagi,
pohon-pohon yang diambil kayunya untuk kemudian dijadikan bahan baku pembuatan
kapal. Bahan bakar yang digunakan untuk hilir mudik kendaraan angkut. Dan
akhirnya, masuk ke ranah dampak sosial untuk kebudayaan masyarakat lokal
seperti pandangan, gaya, dan orientasi hidup. Rasanya tidak akan sebanding apa
yang dikeluarkan dengan apa yang diterima sebagai gantinya. Padahal, orang
pulolah yang paling cepat mesti menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi
akhir-akhir ini, secara geografis dan juga sosial.
Jika
kepariwisataan kita kini tengah berada di titik jenuh, sepertinya memang mesti
ada gebrakan pandangan baru untuk sekaligus mengatasinya. Untuk ini, Ibu
menyarankan segmentasi pengunjung. Karena level penikmat keindahan bisa jadi
berbeda-beda dan tidak berbanding lurus dengan modal yang dimiliki. Jika
dilakukan riset lebih lanjut, motif orang untuk mengadakan perjalanan wisata ke
pulau pasti berbeda-beda ragamnya, seperti berenang, menyelam, menikmati bau
laut, kuliner, menikmati budaya orang pulo, dlsb. Dan itu bisa dibuat
segmentasi atau level agar lebih
sinergi dengan konservasi yang sedang dilakukan.
Dulu, home stay dan tamu adalah sematan
bermakna harfiah yang merujuk pada tempat tinggal warga sebagai induk semang
dan siapa saja yang datang untuk berkenalan dengan apa yang ada di pulau,
termasuk masyarakat dan budayanya. Bukan hanya alam. Tamu tinggal di rumah
penduduk sekitar untuk belajar banyak. Dengan begitu, kontrol dan filter budaya
lebih bisa dijaga ketimbang penggunaan konsep seperti yang ada saat ini. Dan
budaya otomatis akan juga berdampak pada perilaku kita terhadap alam. Gerakan
budaya yang lainnya adalah melalui pendidikan. Kini, di Pulau juga sudah
digaungkan gerakan memasak di rumah unuk ibu-ibu agar setiap anak ke sekolah membawa
bekalnya masing-masing. Upaya nyata mengurangi sampah dengan mengurangi jajan dan asupan nutrisi anak bangsa
yang lebih baik.
Two hands in 15
Pagi sekali,
kami coba melakukan two hands project selama 15 menit dekat panggung di sebelah
barat laut pulau. Hasilnya, banyak sekali plastik kemasan ditemukan. Dan dipastikan sampah-sampah tersebut adalah
sampah hanyutan yang terbawa air saat pasang. Jaket, popok, balon, kresek,
kemasan, botol plastik, botol bening, kayu, tongkat besi, dlsb. Itu saja hasil
pengamatan sementara.
Selanjutnya,
kami bersiap untuk keliling bersama pengurus rumah hijau mengeksekusi LRB dan
kontrol hidroponik di beberapa titik.
Ar Rahiim, Al Lathif, Ash Shobur,
Jika Anda
menengok time line akun sosial media
VB, bisa dilihat bahwa tangan-tangan halus ibu-ibulah yang dominan muncul dalam
eksekusi di tiap rumah. Hehe mungkin karena naluri sabar, memelihara,
menyayangi, dan lembut yang dipunya kaum ibu untuk bergerak. Terampil, mantap,
semangat mengaduk semen untuk bahan plesteran dan aci serta melubangi tanah
dengan bor. Asyik dan seru! Anak-anak juga turut serta ikut belajar sambil
menghibur. Biusan semangat. Bertani, hidup sehat, dan menjalin komunikasi yang
baik dengan alam adalah mimpi indah ibu-ibu ini untuk rumah diri yang lebih hijau.
Superwomen.
:)
27-28 Agustus 2016
/kit