Sabtu, 25 Juli 2015

Surga. Kado. Terminal.

Surga Yang Tak Dirindukan


Sudahkah anda menyaksikan film ini? Kemarin saya berkesempatan untuk menyaksikan film ini secara gratis. Alhamdulillah..

Jika belum, izinkan saya mengulas poin - poin yang saya catat dari hasil menonton film ini.
Kisah ini dari sudut pandang perempuan. Penggambaran rasa sakitnya begitu terenyuh. Maka tidak heran jika perempuan yang menyaksikan akan menitikkan air matanya. Perempuan sederhana yang begitu menghayati kehidupan rumah tangganya mesti menghadapi situasi yang menantang ia untuk berikhlas berpasrah dan percaya kepada suaminya yang memiliki hati baik dan ingin merengkuh segala kesusahan orang lain dengan kedua tangannya sendiri namun dengan pengambilan keputusan yang tidak bijaksana kala itu. Atas nama pertolongan, maka sang suami menikahi secara mendadak dan tiba - tiba perempuan yang asing demi menyelamatkan nasib bayi yang nyaris saja bernasib sama dengan dirinya. Ia merasa begitu dekat dengan si bayi melalui ikatan bayangan masa lalu. Disamping perihal menyelamatkan bayi, sang suami ini juga bermaksud mengenalkan ibu dari si bayi tentang Allah. Jadilah, ia menjadi seorang imam untuk makmum yang baru. Ia menjadi seperti jembatan perantara pengenalan seorang perempuan yang terrundung hatinya sekian lama dengan Allah. Mulanya satu, keinginan besar si pemeran utama laki - laki sebagai penolong bagi yang lemah.

Hikmah pelajaran yang baru mampu saya tangkap adalah, hal baik mesti dilakukan dengan cara yang baik. Kalau caranya salah, bisa jadi ada pelanggaran kesepakatan yang terlanggar hingga menyisakan rasa sakit bagi pihak yang bersepakat. Hal baik yang dihiasi kebohongan apalagi lebih dari satu kali (karena memang itu konsekuensi dari menyembunyikan aroma busuk), akan menimbulkan rasa ketergantungan untuk berbohong dan keruwetan yang menyambar ke hal - hal lainnya. Dalam film Rayya pernah dikatakan bahwa berbohong itu ada seninya dan ilmu serta latihannya. Dan Buya Hamka pernah menyatakan syarat - syarat sebelum melakukan kebohongan: mesti seseorang yang berani, kreatif mengarang, dan tidak pelupa. Jika tidak pintar, konsekuensinya adalah rasa malu dan masalah yang datang justru berkali lipatnya. Apalagi berbohong untuk keselamatan fana diri sendiri. Toh rasa malu nantinya akan tetap datang karena tak ada kebohongan yang tak terungkap. Tinggal perkara Sang Waktu saja kapan akan membuka terpalnya dan keturunan berapa yang mesti menanggung konsekuensi dari rasa malu tersebut.

Dalam film ini rasa sakit yang tergambarkan seolah sangat jelas sebagai konsekuensi tindakan spontan bermaksud baik. Meskipun sebenarnya rasa sakit bisa jadi adalah cara Allah untuk menaikkan derajat keimanan seorang manusia agar dari insan menjadi mukhlisin. Agar juga manusia begitu dekat dengannya dalam khusyuk berwudhu hingga bersujud dalam shalat. Sujud yang dalam seperti mengadu ke haribaan Ibu.

Beberapa pasangan yang sedang dirundung kasmaran sering berjanji untuk selalu ada. Padahal sering lupa, tangan pertolongan terbaik bukan dari tangan kita, melainkan dari tangan Allah. Jadi bukan dengan menjanjikan bahwa diri akan selalu ada tanpa 'in syaa Allah', karena tameng terbaik adalah pembekalan diri, bukan niat atau usaha orang lain untuk selalu ada untuk orang2 yang disayangi. Bagaimanpun inginnya untuk selalu mendampingi.

Bagaimanapun rasa sayang ibu kepadamu, jasadi ibu tidak akan pernah selalu ada didekatmu sepanjang hayat misal ketika kau di metromini, kereta, jalan sepi, bersakit lelah dirundung su'udhon, atau kala merasakan pengkhianatan. Tapi ibu hadir dalam ingatan akan pesannya bahwa bawalah Allah kemanapun hati pikiran dan perbuatanmu melangkah. Kala bahaya, tangguhlah dalam membela harga dan kemuliaan diri, berbuat adillah, yang terpenting: berdzikirlah.

Ihsan. Jika diri selalu ingat bahwa Al Khaliq ada dimana - mana, maka tiada yang lain selain-Nya. Syahadatnya diulang. Diperbaharui lewat sujud - sujud dalam shalat.

Seorang perempuan yang kuyu hidupnya karena sekian lama su'udhon dan tanpa cahaya mengenal-Nya, begitu tersentuh ketika mendapat sedikit cahaya dari seorang laki - laki baik penolongnya, bisa jadi akan ia rengkuh erat bagaikan berhala baru. Hingga ia bisa tahu dan paham satu hal bahwa rasa kehilangan hanya ada jika kita merasa memiliki. Karena padahal, semua hal hanyalah titipan dari-Nya. Jadi, manakah yang kekal?

Akhir dari cerita cukup baik bahwa ujungnya adalah perihal perolehan dan latihan untuk ikhlas dan pengendalian rasa cinta selain kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar