Senin, 07 Desember 2015

Adagium Istirja'

Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah
                                                   -sangkan--paraning dumadi

                Innalillahi wa innailaihi raaji’uun …
Rahasianya baru akan terkuak ketika Anda tiba di dua lembar akhir buku ini. Kubah mendapatkan perhatian lebih dari Gus Dur sebagai karya sastra novel pertama yang mengulas peristiwa G 30S/PKI tak lama sejak peristiwa tersebut pecah. Menarik sekali melihat fenomena tersebut dari sudut pandang seorang Ahmad Tohari yang dengan ciri khasnya, mengangkat kisah-kisah orang pinggiran namun juga sekaligus aktif menyuarakan kemanusiaan dalam posisinya yang bukan hanya sebagai insan, melainkan juga abdullah, bahkan khalifah. Tidak pernah rumit karena Ia selalu setia menceritakan sesuatu yang sederhana namun jarang menjadi perhatian lainnya.

Kisah ini tentang sebuah perasaan terasing yang mencoba menemukan identitasnya di tengah masyarakat setelah sekian lama menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Pulang. Hanya itu yang Karman inginkan untuk menebus segala perasaan bersalahnya pada warga kampung Pegaten. Menjejaki masjid di alun-alun kota pun terasa sangat istimewa baginya karena hanya dalam barisan shalat berjamaah lah ketidakpercayaan dirinya mulai bisa terkikis.

Pada masa lalu, dalam pelariannya dari TNI dan Polisi sejak meletusnya peristiwa berdarah, Karman sempat berpapasan dengan Kastagethek, seorang pria kurus kecil berkulit gelap yang menjadi wujud nyata karakter nrimo ing pangdum warga Pegaten. Kontradiksi doktrin yang ditanamkan kawan-kawan organisasinya makin terpukul keras sejak saat itu. Kasta menujukkan bahwa ia tidak pernah merasa dirinya adalah kelas bawah yang sengaja dimiskinkan oleh kalangan tuan tanah dan perlu untuk melakukan perlawanan berdarah demi lebih menyejahterakan dirinya secara materi. Kidung sangkan-paraning dumadi yang disenandungkan Kasta merupakan syair saduran atas adagium Innalillahi wa innailaihi raaji’uun (Tohari, hal. 170). Bahwa segala yang ada berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.

Di akhir cerita, masyarakat Pegaten dengan senyum ramahnya, dengan kesederhanaannya, dengan kejujurannya dan keberterimaannya menerima sosok Karman yang telah pulang dengan terbuka. Perbaikan Kubah masjid Haji Bakir yang sudah reyot dan tua pun ditangani oleh tangan Karman sendiri dengan sepenuh hatinya. Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu terus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali (Tohari, hal. 211).

Kaligrafi empat ayat terakhir dari surat Al- Fajr terukir rapi di leher kubah masjid tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar