Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah
-sangkan--paraning
dumadi
Innalillahi
wa innailaihi raaji’uun …
Rahasianya baru akan terkuak
ketika Anda tiba di dua lembar akhir buku ini. Kubah mendapatkan perhatian
lebih dari Gus Dur sebagai karya sastra novel pertama yang mengulas peristiwa G
30S/PKI tak lama sejak peristiwa tersebut pecah. Menarik sekali melihat
fenomena tersebut dari sudut pandang seorang Ahmad Tohari yang dengan ciri
khasnya, mengangkat kisah-kisah orang pinggiran namun juga sekaligus aktif
menyuarakan kemanusiaan dalam posisinya yang bukan hanya sebagai insan,
melainkan juga abdullah, bahkan khalifah. Tidak pernah rumit karena Ia selalu
setia menceritakan sesuatu yang sederhana namun jarang menjadi perhatian
lainnya.
Kisah ini tentang sebuah perasaan
terasing yang mencoba menemukan identitasnya di tengah masyarakat setelah
sekian lama menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Pulang. Hanya itu yang Karman
inginkan untuk menebus segala perasaan bersalahnya pada warga kampung Pegaten.
Menjejaki masjid di alun-alun kota pun terasa sangat istimewa baginya karena
hanya dalam barisan shalat berjamaah lah ketidakpercayaan dirinya mulai bisa terkikis.
Pada masa lalu, dalam pelariannya
dari TNI dan Polisi sejak meletusnya peristiwa berdarah, Karman sempat
berpapasan dengan Kastagethek, seorang pria kurus kecil berkulit gelap yang
menjadi wujud nyata karakter nrimo ing pangdum warga Pegaten.
Kontradiksi doktrin yang ditanamkan kawan-kawan organisasinya makin terpukul
keras sejak saat itu. Kasta menujukkan bahwa ia tidak pernah merasa dirinya
adalah kelas bawah yang sengaja dimiskinkan oleh kalangan tuan tanah dan perlu
untuk melakukan perlawanan berdarah demi lebih menyejahterakan dirinya secara
materi. Kidung sangkan-paraning dumadi yang disenandungkan Kasta merupakan
syair saduran atas adagium Innalillahi wa innailaihi raaji’uun (Tohari, hal.
170). Bahwa segala yang ada berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Di akhir cerita, masyarakat
Pegaten dengan senyum ramahnya, dengan kesederhanaannya, dengan kejujurannya
dan keberterimaannya menerima sosok Karman yang telah pulang dengan terbuka. Perbaikan
Kubah masjid Haji Bakir yang sudah reyot dan tua pun ditangani oleh tangan
Karman sendiri dengan sepenuh hatinya. Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu
terus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada setiap manusia
yang sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali (Tohari,
hal. 211).
Kaligrafi empat ayat terakhir dari
surat Al- Fajr terukir rapi di leher kubah masjid tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar