Jumat, 17 Mei 2013

Mencari Guru di Bukhara


Bocah berumur lima tahun itu asik saja bermain – main di halaman rumahnya. Kemudian ibunya, Sattarah, berpikir, apakah yang dapat dikerjakan anak seumuran dia agar waktunya bermanfaat? Maka Ayahnya, Abdullah, mencarikan guru untuknya. Anak seusia lima tahun, daripada membuang – buang waktunya, lebih baik ia belajar Al Qur’an dan dasar – dasar agama pada Syekh Nahawi.

Lima tahun kemudian. Bocah itu, Abu Ali ibn Sina, melantunkan ayat Qur’an ketika Syekh Nahawi bertamu kerumahnya. Tau apa yang ingin dikatakan Syekh pada orang tua Abu Ali? Tak ada secuil ilmu pun yang berbeda antara dirinya dan diri muridnya. Al Qur’an pun sudah dihapal oleh Abu Ali. Betapa rasa syukur memenuhi rongga dada Abdullah. Sepuluh tahun, dan Abu Ali sudah mampu memahami ayat Qur’an. Karena tak ada apapun lagi yang dapat diajarkan oleh Syekh Nahawi, daripada waktu Abu Ali terbuang percuma, Syekh Nahawi menyarankan agar Abu Ali mencari guru lain selain dirinya.

Setelah belajar ilmu agama, Abu Ali selalu berpindah dari satu guru ke guru lainnya. Setelah belajar ilmu matematika, hasad dan aljabar, dilanjutkan ilmu filsafat dan logika, barulah kemudian waktu Abu Ali diisi dengan membaca buku kedokteran.

Pada saat itu, Bukhara penuh dengan guru, maka siapapun akan dengan mudah mencari guru sesuai bidang yang diingini.
Dikutip dari:
(Tawanan Benteng Lapis Tujuh, Husayn Fattahi, 2011:13-26)


Dari cerita diatas dapat ditangkap bagaimana cara menimba ilmu pengetahuan pada tahun 900M. Belajar pada guru mulanya memang untuk mengisi waktu kosong, dan yang menimba ilmu sedalam Abu Ali memang akan berakhir menjadi seorang ilmuwan ternama seperti Al Firdausi, Al Biruni, dll. Ilmu dan pendidikan pada masa itu memang tidak diwajibkan, kalaupun ada yang menimba, memang untuk menjadi ilmuwan atau kedokteran atau bidang keahlian lainnya.

Perbedaan yang sangat mencolok dengan sistem menimba ilmu pada zaman sekarang. Sekolah memang wajib, tapi karena penyeragaman serta pengkotak – kotakan yang kerap terjadi jsutru mampu membunuh kreativitas dan identitas kecerdasan alami subyek pendidikan kedua.
Pada cerita diatas juga didapatkan bahwa pendidikan terpenting yang mesti pertama kali diajarkan pada seseorang adalah pendidikan agama. Dengan mengenal Tuhannya, diaharpakan kedepannya orang ini mampu memaknai ilmu dengan bijak. Tidak terjebak filsafat sana – sini, apalagi sampai meragukan Tuhannya. Karena seperti yang dipaparkan Imam Al Gahazali, tujuan pendidikan adalah menjadi insan kamil, sebaik – baiknya manusia.

Further reading:
Bangsa terdidik atau tersekolah- Prof, Winarno
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan- Drs. Abidin Ibnu Rusn(pnrjmh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar