Rabu, 15 Mei 2013


Paparan (retell)


Judul : Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Penerbit : Pustaka Pelajar
Penerjemah : Drs. Abidin Ibnu Rusn
Tahun Terbit : cetakan I 1998, Cetakan II 2009
Tebal Buku : 144 halaman

rangkuman:
Tokoh ini lebih terkenal dengan karya filsafatnya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf) yang kontroversial dan menganggap mematikan kekritisan umat Islam.  Al-Ghazali dilahirkan pada masa munculnya mazhab – mazhab dalam ummat Islam. Pemikirannya termasuk fenomenal karena ia merasa manusia dilahirkan sudah dalam keadaan fitrahnya sebagai muslim, sedangkan orang tua serta lingkungannyalah yang membuat kita terkotak-kotak. Nasrani, Yahudi, Hidu, Budha, termasuk penganut aliran atau mazhab – mazhab tertentu. Begitulah profil singkat Al-Ghazali.

Al-Ghazali sendiri telah banyak menghasilkan karya – karya bermanfaat bagi khalayak. Salah satunya adalah Ihya' 'Ulumiddin, karyanya sebagai tokoh pendidikan. Al Ghazali menjalani profesi terakhirnya sebagai ahli pendidikan yang kurang banyak disorot oleh orang – orang. Ihya' 'Ulumiddin kemudian menjadi dasar yang sebagian besar digunakan sebagai landasan pengulasan buku pemikiran tentang pendidikan menurut Al Ghazali ini.

Bab setelah pengenalan tokoh adalah pemikiran Al Ghazali tentang manusia, esensi, awal tercipta serta pengklasifikasiannya. Al Ghazali menglasifikasikan manusia sebagai umum, khusus, dan khusussul khusus. Dalam penjelasannya dapat diinterpretasikan bahwa penggolongan tersebut adalah berdasarkan Islam. Tentang bagaimana seorang manusia memandang dunia dan membandingkan pemahaman mereka akan akhirat.

Kemudian penjelasan tentang Ilmu. Dalam Ihya' 'Ulumiddin, Al Ghazali membagi Ilmu menjadi tiga cabang yaitu:
Epistemologis: cabang ilmu filsafat tentanh dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
Ontologis: cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup.
Dan Aksiologis: 1 kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia; 2 kajian tentang nilai, khususnya etika: (K
Dalam skema tersebut, terlihat bahwa Al Ghazali menghubungkan semua bidang ilmu hanya demi untuk kepentingan akhirat dan sesuai dengan kaidah Islami.

 Dalam bab selanjutnya, dipaparkan pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan. Pengertian pendidikan menurut Al Ghazali adalah
“Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.” (Rusn 2009: 56)
Dan tujuan dari pendidikan menurut Al Ghazali adalah untuk menjadi manusia shalih, menuntut ilmu hingga mencapai tingkat menyerupai malaikat dan tujuan jangka pendeknya adalah menjadi manusia yang bermanfaat di dunia.

SUBYEK DIDIK
Al Ghazali membagi subyek didik menjadi dua, yaitu Guru atau pendidik serta murid. Al Ghazali menerangkan bahwa sebagai guru, peran, kewajiban dan pahalanya lebih besar daripada orangtua. Karena orangtua adalah perantara seorang anak terlahir di dunia, sedangkan guru adalah perantara seorang anak mengenal dan berbekal di akhirat. Guru pun harus bersikap sebagai pengganti orangtua, bukan hanya orang asing yang dibayar untuk mentransfer ilmu semata. Karena kembali lagi pada tujuan pendidikan adalah demi mendekatkan diri pada Allah.

Murid dalam pandangan Al Ghazali mestinya seorang yang senantiasa tawadhu dalam belajar dan diajar. Bagai tanaman kering yang disiram oleh air yang menyejukkan, mesti senantiasa bersemangat dan sangat menjunjung tinggi seorang guru. Tawadhu dalam menuntut ilmu juga diartikan tidak sombong terhadap ilmu yang telah dimiliki atau sedang dipelajari. Juga, seorang murid mesti senantiasa memiliki pemahaman dasar sebelum bertukar pendapat. Agar tidak seenaknya mendebat atau menyanggah apalagi menyatakan sesuatu adalah salah.

 Pemahaman dasar itu penting.
Memahami tujuan serta manfaat pengajaran dan pendidikan pun penting bagi murid, agar senantiasa lurus tujuannya, akhlakul karimah.

KURIKULUM PENDIDIKAN
 Al Ghazali menyayangkan system pendidikan yang menerapkan system sekuler. Pemisahan aturan agama dengan duniawi. Pendidikan saat ini yang berlaku di Indonesia juga seperti itu, menganut pragmatism John Dewey. Yang sebetulnya menguntungkan kaum kapitalisme dan tidak lain tidak bukan, hasil dari pendidikan saat ini adalah calon – calon pekerja. Bukan pemikir.
         Maka, Al Ghazali menyarankan suatu system kurikulum yang kembali lagi menuju akhirat. Berpegangan pada dua peninggalan nabi besar Muhammad saw. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Al Ghazali meyakini bahwa manusia (ruh atau jiwa) pada awalnya adalah sama, akan senantiasa mendekatkan diri pada Allah. Namun setelah menyatu dengan fisik, manusia menjadi berbeda – beda. Tidak bisa dan tidak boleh disamakan. Maka, berdasarkan HR Ibnu Hibban dari Anas bin Malik, Al Ghazali membedakan tahap tahap pembelajaran berdasarkan usia dan psikologis seorang manusia sejak usia: 0-6 tahun, 6-9 tahun, 9-13 tahun, 13-16 tahun serta 16 tahun keatas.

Seluruh tahap disesuikan dengan peran serta bimbingan orang tua, serta tahap pertanggungjawabannya dihadapan Allah nantinya.

Terdapat empat bentuk pendidikan ala Al Ghazali; pendidikan akal, agama, akhlak, dan jasmani. Dengan menekankan pada pendidikan agama dan akhlak. Al Ghazali menekankan kurikulum yang berdasarkan Al Qur’an, yakni membaca, menghafal, memahami arti, dan mengkaji maksud. Maka Al Ghazali tidak memisahkan metode pendidikan seperti yang saat ini terjadi. Karena Al Qur’an memang tidak pernah memisahkan aspek satu dengan lainnya. System pendidikan yang terintegrasi.

Al Ghazali juga menerangkan tentang evaluasi. Apa pentingnya evaluasi bagi pemimpin, subyek didik, wali murid, dan tenaga administrasi.
Didukung oleh kutipan sebagai berikut;
Nabi Muhammad saw, bersabda: “Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya”

Inti: Al Ghazali bukan hanya ahli tasawuf, sedikit orang yang telah mengenalnya sebagai ahli pendidikan.  Ia dipahami memandang pendidikan dengan sistem integrasinya. Hal ini diterapkan dalam system pendidikan di pesantren. Integrasi antara iman, ilmu, dan amal. Ia juga mengritik pemisahan yang dilakukan oleh pemikir – pemikir Barat yang berorientasi pada pragmatism. Hal yang justru memporakporandakan tujuan pendidikan sesungguhnya: mendekatkan diri pada Allah.

Kesimpulan: Buku ini sangat padat, ringkas dan lengkap. Karena membahas secara detail dari awal mula, tokoh yang dibahas, pandangannya tentang manusia, pendidikan, aktualisasinya terhadap pendidikan dewasa ini.

Untukmu yang ingin tau lebih banyak asal – usul tercetusnya integrated learning, buku ini sangat direkomendasikan.

-pandang yang baik, tak usah terlalu
dipusingkan yang tak dianggap benar-
(KIT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar