Paparan (retell)
Judul : Pemikiran Al-Ghazali
Tentang Pendidikan
Penerbit : Pustaka Pelajar
Penerjemah : Drs. Abidin Ibnu
Rusn
Tahun Terbit : cetakan I 1998,
Cetakan II 2009
Tebal Buku : 144 halaman
rangkuman:
Tokoh ini lebih
terkenal dengan karya filsafatnya, Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf) yang kontroversial dan menganggap
mematikan kekritisan umat Islam. Al-Ghazali dilahirkan pada masa munculnya
mazhab – mazhab dalam ummat Islam. Pemikirannya termasuk fenomenal karena ia
merasa manusia dilahirkan sudah dalam keadaan fitrahnya sebagai muslim,
sedangkan orang tua serta lingkungannyalah yang membuat kita terkotak-kotak.
Nasrani, Yahudi, Hidu, Budha, termasuk penganut aliran atau mazhab – mazhab
tertentu. Begitulah profil singkat Al-Ghazali.
Al-Ghazali
sendiri telah banyak menghasilkan karya – karya bermanfaat bagi khalayak. Salah
satunya adalah Ihya' 'Ulumiddin, karyanya
sebagai tokoh pendidikan. Al Ghazali menjalani profesi terakhirnya sebagai ahli
pendidikan yang kurang banyak disorot oleh orang – orang. Ihya' 'Ulumiddin kemudian menjadi dasar yang sebagian besar digunakan
sebagai landasan pengulasan buku pemikiran tentang pendidikan menurut Al
Ghazali ini.
Bab setelah
pengenalan tokoh adalah pemikiran Al Ghazali tentang manusia, esensi, awal
tercipta serta pengklasifikasiannya. Al Ghazali menglasifikasikan manusia
sebagai umum, khusus, dan khusussul khusus. Dalam penjelasannya dapat
diinterpretasikan bahwa penggolongan tersebut adalah berdasarkan Islam. Tentang
bagaimana seorang manusia memandang dunia dan membandingkan pemahaman mereka
akan akhirat.
Kemudian
penjelasan tentang Ilmu. Dalam Ihya' 'Ulumiddin, Al Ghazali membagi Ilmu menjadi tiga cabang yaitu:
Epistemologis: cabang ilmu
filsafat tentanh dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
Ontologis: cabang ilmu
filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup.
Dan Aksiologis: 1 kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia; 2 kajian tentang nilai, khususnya
etika: (K
Dalam skema tersebut,
terlihat bahwa Al Ghazali menghubungkan semua bidang ilmu hanya demi untuk
kepentingan akhirat dan sesuai dengan kaidah Islami.
Dalam
bab selanjutnya, dipaparkan pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan. Pengertian
pendidikan menurut Al Ghazali adalah
“Proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju
pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.” (Rusn 2009:
56)
Dan
tujuan dari pendidikan menurut Al Ghazali adalah untuk menjadi manusia shalih,
menuntut ilmu hingga mencapai tingkat menyerupai malaikat dan tujuan jangka
pendeknya adalah menjadi manusia yang bermanfaat di dunia.
SUBYEK DIDIK
Al
Ghazali membagi subyek didik menjadi dua, yaitu Guru atau pendidik serta murid.
Al Ghazali menerangkan bahwa sebagai guru, peran, kewajiban dan pahalanya lebih
besar daripada orangtua. Karena orangtua adalah perantara seorang anak terlahir
di dunia, sedangkan guru adalah perantara seorang anak mengenal dan berbekal di
akhirat. Guru pun harus bersikap sebagai pengganti orangtua, bukan hanya orang
asing yang dibayar untuk mentransfer ilmu semata. Karena kembali lagi pada
tujuan pendidikan adalah demi mendekatkan diri pada Allah.
Murid
dalam pandangan Al Ghazali mestinya seorang yang senantiasa tawadhu dalam
belajar dan diajar. Bagai tanaman kering yang disiram oleh air yang
menyejukkan, mesti senantiasa bersemangat dan sangat menjunjung tinggi seorang
guru. Tawadhu dalam menuntut ilmu juga diartikan tidak sombong terhadap ilmu
yang telah dimiliki atau sedang dipelajari. Juga, seorang murid mesti
senantiasa memiliki pemahaman dasar sebelum bertukar pendapat. Agar tidak
seenaknya mendebat atau menyanggah apalagi menyatakan sesuatu adalah salah.
Pemahaman dasar itu penting.
Pemahaman dasar itu penting.
Memahami
tujuan serta manfaat pengajaran dan pendidikan pun penting bagi murid, agar
senantiasa lurus tujuannya, akhlakul karimah.
KURIKULUM PENDIDIKAN
Al Ghazali menyayangkan system pendidikan yang
menerapkan system sekuler. Pemisahan aturan agama dengan duniawi. Pendidikan
saat ini yang berlaku di Indonesia juga seperti itu, menganut pragmatism John
Dewey. Yang sebetulnya menguntungkan kaum kapitalisme dan tidak lain tidak
bukan, hasil dari pendidikan saat ini adalah calon – calon pekerja. Bukan
pemikir.
Maka, Al Ghazali menyarankan suatu system kurikulum
yang kembali lagi menuju akhirat. Berpegangan pada dua peninggalan nabi besar
Muhammad saw. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Al Ghazali meyakini bahwa manusia
(ruh atau jiwa) pada awalnya adalah sama, akan senantiasa mendekatkan diri pada
Allah. Namun setelah menyatu dengan fisik, manusia menjadi berbeda – beda.
Tidak bisa dan tidak boleh disamakan. Maka, berdasarkan HR Ibnu Hibban dari
Anas bin Malik, Al Ghazali membedakan tahap tahap pembelajaran berdasarkan usia
dan psikologis seorang manusia sejak usia: 0-6 tahun, 6-9 tahun, 9-13 tahun,
13-16 tahun serta 16 tahun keatas.
Seluruh tahap disesuikan
dengan peran serta bimbingan orang tua, serta tahap pertanggungjawabannya
dihadapan Allah nantinya.
Terdapat empat bentuk pendidikan ala Al Ghazali; pendidikan akal, agama, akhlak, dan jasmani. Dengan menekankan pada pendidikan
agama dan akhlak. Al Ghazali menekankan kurikulum yang berdasarkan Al Qur’an,
yakni membaca, menghafal, memahami arti, dan mengkaji maksud. Maka Al Ghazali
tidak memisahkan metode pendidikan seperti yang saat ini terjadi. Karena Al
Qur’an memang tidak pernah memisahkan aspek satu dengan lainnya. System
pendidikan yang terintegrasi.
Al Ghazali juga menerangkan tentang evaluasi. Apa
pentingnya evaluasi bagi pemimpin, subyek didik, wali murid, dan tenaga
administrasi.
Didukung oleh kutipan
sebagai berikut;
Nabi Muhammad saw,
bersabda: “Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan
satu bagian waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya”
Inti: Al Ghazali bukan
hanya ahli tasawuf, sedikit orang yang telah mengenalnya sebagai ahli
pendidikan. Ia dipahami memandang
pendidikan dengan sistem integrasinya. Hal ini diterapkan dalam system
pendidikan di pesantren. Integrasi antara iman, ilmu, dan amal. Ia juga
mengritik pemisahan yang dilakukan oleh pemikir – pemikir Barat yang
berorientasi pada pragmatism. Hal yang justru memporakporandakan tujuan pendidikan
sesungguhnya: mendekatkan diri pada Allah.
Kesimpulan: Buku ini
sangat padat, ringkas dan lengkap. Karena membahas secara detail dari awal
mula, tokoh yang dibahas, pandangannya tentang manusia, pendidikan,
aktualisasinya terhadap pendidikan dewasa ini.
Untukmu yang ingin tau
lebih banyak asal – usul tercetusnya integrated learning, buku ini sangat
direkomendasikan.
-pandang yang baik, tak
usah terlalu
dipusingkan yang tak dianggap benar-
dipusingkan yang tak dianggap benar-
(KIT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar