Amal yang tiada berhenti
Bakti yang ikhlas diberi
Sebagai mahasiswa cagur
(calon guru), beberapa mungkin masih ada yang tidak yakin atau bangga dengan
profesi keguruan yang dipilih. Dan beberapa mahasiswa yang mendalami ilmu murni
mungkin merasa terbebas dan lega, bahkan merasa beruntung karena ‘calon guru’
tidak tersematkan dalam diri mereka. Dan Kampus hijau ini merupakan tempat yang
menjadi persinggungan antara keduanya karena fungsinya sebagai Universitas
sekaligus pencetak guru.
Ketidakbanggaan yang
menyerang sebagian mahasiswa profesi keguruan menjadi tidak beralasan saat
melirik kutipan Imam Al Ghazali berikut
“Seseorang
yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan
orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang
lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya
dinikmati orang lain, ia sendiripun harum…”
Dari kutipan diatas
tergambarkan betapa bahagia dan beruntungnya mereka yang menjadi pembelajar
sekaligus mengajar. Mempelajari ilmu demi kepuasan diri sekaligus
mengamalkannya. Kebaikannya untuk mendalami ilmu pengetahuan tidak dipendam
sendiri, melainkan senantiasa dialirkan kepada subyek didik lainnya, yaitu
murid.
Saya sendiri senantiasa
mengingat apa yang guru biologi saya katakan perihal ‘pendam sendiri’. Seperti
air pada laut mati. Kadar garamnya tinggi hingga mampu membuat makhluk hidup
sekarat bahkan mati. Akhirnya tak ada satupun makhluk yang mampu memanfaatkan
sumber air tersebut. Apa sebabnya? Air pada laut mati tak memiliki aliran ke tempat lain. Sehingga
mineral yang dijatuhkan langit lama kelamaan terpendam, menumpuk, hanya
ditempat itu saja. Air yang dikenal menyuburkan, dalam hal ini justru
mematikan. Itulah akibatnya bila memendam sendiri apa yang kita miliki,
termasuk ilmu pengetahuan.
Masih juga merasa malu dan
belum berbangga menjadi cagur? Baiklah.
Menjelang ujian Nasional,
disaat saudara, tetangga, keluarga bertanya mau jadi apa setelah SMA? Tidak
lain tidak bukan, kebanyakan akan menjawab profesi murni. Entah dalam bidang
pengetahuan alam, sosial, budaya, hukum, ekonomi, linguistic dll. Tapi, berapa
banyak yang mantap bertekad baja menyatakan akan menjadi guru? Tidak banyak.
Belum, semoga. Namun, taukah kau hai cagur, pada penggalan puisi ini?
Jika hari ini seorang
Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja
menaiki tahkhta
Jika hari ini Presiden
sebuah Negara
Jika hari ini seorang ulama
yang mulia
Jika hari ini seorang peguam
yang menang bicara
Jika hari ini seorang
penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja
menjadi dewasa
Sejarahnya dimulakan oleh
seorang guru biasa.
Dengan lembut sabarnya
mengajar tulis-baca.
-Usman Awang 1979-
Dan untukmu yang sudah
bangga dan sepenuhnya siap ikhlas menjadi cagur, hendaknya tak terlepas perangainya
dari tauladan kita, nabi besar, Muhammad saw. yang dinobatkan sebagai muallimul awwal fil Islam (guru pertama
dalam Islam). ‘Aisyah kerap dikunjungi ummat untuk dimintai pendapat dalam
memecahkan masalah. Diantara Ummul
Mukminin, memang ‘Aisyah lah yang hapal betul apapun yang nabi lakukan,
baik adab, maupun pemecahan masalah. Mengapa? Karena ‘Aisyah mengaplikasikan
apa yang Rasulullah sabdakan. Ilmu dan aplikasinya ternyata sangat berkaitan.
Pun diluar tujuan penghapalan,
ada sebuah petuah yang layak dijadikan pegangan. “Sebaik – baik nasihat adalah
teladan”. Hal ini sesuai dengan QS al Baqarah:44
“Mengapa kamu suruh orang
lain mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri..”
Guru, yang merupakan
pendidik akhlak murid, pengajar ilmu, serta pembimbing kekritisan dan kepekaan
kehidupan sekitar sudah selayaknya menyadari posisinya sebagai mitra belajar
sekaligus pusat dalam kelas. Keteladanan menjadi penting disaat murid menyerap
apapun yang hadir dalam benaknya.
Berbanggalah cagur. Pahala
sebagai pembelajar akan berkali lipat karena mengajar. Saya melihat keindahan
dan kemuliaan seorang guru dari kacamata saya sebagai mahasiswa non-pendidikan.
-mahasiswi biasa-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar