Bismillahirrahmaanirrahiim..
tujuan : share. Memenuhi janji
pada seorang teman diskusi yang asik. Yang tentunya berhalangan hadir pada
forum family day. Dia kepo ternyata.
Hari itu kamis, 15 November 2012,
atau 1 Muharram 1434 Hijriyah. Cemberut saya menaiki tangga busway
transjakarta, sambil ber dadah dadah pada ayah dan kakak yang batal mengantar
sampai taman suropati. Apa yang saya risaukan? Nyasar.
Taman suropati. Pernah saya
kesana untuk acara upgrading BEMJ, tapi diantar ayah. Kali ini, hem.. ibu
sempat bilang untuk membatalkan agenda hari ini, karena adik saya sudah pergi
dan rencananya akan pergi juga sekeluarga. Makin bertumpuklah keraguan bersua
bersama teman – teman fsi-ku.
Tapi kemudian saya meyakinkan
langkah untuk terus menaiki tangga busway. Saya yakin dan berdo’a untuk
dipermudah dalam perjalanan. Berbekal pesan dari kakak, “naik metro 49, pas dia
mau balik ke pulogadung, lewat taman suropati.” Saya bertanya, “pas didepan tamannya?”
“iya”, jawabnya singkat. Karena saya terbayang – bayang jauhnya berjalan kaki
dari taman suropati hingga bertemu kendaraan umum yang bisa dinaiki.
Satu jam kemudian, saya sukses
menjejakkan kaki di taman suropati. Alhamdulillah..
Hingga saya bertemu seorang
teman, yang pertanyaan-pertanyaannya tak saya jawab dengan pasti. Menggantung,
datar, abstrak. Bisa bocor mata ini bila diceritakan sedetail mungkin. Hehe
Naik apa aja? Sama siapa? Tapi
nanya – nanya jalan?
Dan keraguan, lelah, sesal,
terutama lapar hilang semua ketika mendapatkan semangkok bakso gratis. Hehe
Engga deng. Hilang semua ragu
saat semua sudah berkumpul dalam satu banner. Bercanda, cerita, guyon, lawak,
dan lain – lain.
QODHOYA
Malam sebelumnya Alhamdulillah
sudah saya tanyakan apa artinya qodhoya pada kadiv saya yang cantik (ehem).
Artinya adalah curhatan, cerita, isi hati, hem semacam itu yang saya ingat.
Jadi, saat sang mas’ul berkata, saya tidak bertanya lagi apa artinya qodhoya.
Kemudian satu persatu mulai
bercerita, mulai dari kabar (jasmani, ruhiyah, keluarga, kuliah, organisasi,
bahkan iklan untuk menjadi juri lomba) hehe
Betapa terbuka, santai, rileks
dan dekatnya kita semua saat itu. Walau jarak antara akhwat dan ikhwan yang
berseberangan mengurangi intensitas pendengaran, apalagi keakuratan, tapi itu
semua dapat diatasi, karena masing – masing kubu merekam sebagian besar
pernyataan, curhat, pertanyaan.
Pertanyaan penting
Pengumpulan puisi tak jadi
dilaksanakan saat itu juga seperti yang saya kira. Agenda curhat dilanjutkan
berbarengan dengan agenda isi rongga usus yang lapang. Tidak mengurangi
konsentrasi, focus tetap mampu dibagi dua.
Diantara sayup – sayup suara
ikhwan, satu yang paling diingat. Terdengar, tepatnya, karena mengalami
pengulangan berkali – kali hingga gema nya sampai ke kubu akhowat.
“menurut kalian, FSI-KU itu apa?”
Ada lagi yang saya ingin
ungkapkan secara jujur, “jangan – jangan ada yang baru tau wajah saudara
seperjuangannya di FSI-KU, misal : oh itu toh mas’ul nya fsi-ku”
Sesungguhnya itu sedikit berlaku
pada saya, tapi tidak sepenuhnya. Alhamdulillah yang hadir saat family day
kemarin, saya sudah tau nama masing – masing peserta. Menurut saya, tak apa
terlambat, asal memang ada usaha untuk mengejarnya.
2 poin penting yang
meluluhlantakan keragu – raguan saya dalam pemilihan agenda. Kado dan keinginan
mengejar (sebagai bentuk realisasi janji).
Selalu ada hikmah. Itu yang saya
yakini. Maka, goresan tajam pintu metromini yang sempat menegatifkan niat,
peluh bertanya sana – sini yang menggoyahkan keinginan memegang janji.
Kesendirian yang sempat mengajak untuk kabur dan lari. Semua lenyap karena satu
pernyataan dari seseorang yang kemudian menjadi pertanyaan beruntun untuk
giliran berikutnya : dulu masuk FSI-KU kenapa?
Kemudian ada sedikit pernyataan –
pernyataan yang menanggapi, dan yang saya ingat dan tangkap adalah dualisme
mendaftar sebagai pengurus FSI-KU. Satu, sebagai orang yang ingin dan
senantiasa rindu pada orang – orang soleh. Seperti penggalan sebuah lagu yang
dipopulerkan kembali oleh Opick, “..kaping limo, uwong soleh kumpulono.
Berkumpullah dengan orang soleh.” Kedua, FSI-KU adalah wadah atau perkumpulan
yang lebih fokus pada upaya mencetak kader – kader dakwah.
refleksi: mungkin seperti seorang
guru, apakah karena ingin belajar, atau mengajar. Solusi yang terpikirkan
adalah belajar sambil mengajar. Maka, jadilah pembelajar.
Seperti metromini 49 jurusan pulo
gadung – manggarai. Awal saya masuk FSI-KU adalah karena beberapa hal. Satu,
surat dari seorang saudari yang isinya menyemangati, sangat. “…jangan berhenti
buat dakwah ya dek.” Batere saya menjelma menjadi bertenaga surya setiap kali
membaca kembali surat itu saat lelah dan
keluh menyerang. Ajaib! Tanpa repot mencari terminal untuk isi ulang
batere.
Dua, ketika membantu salah satu
proker FSI-KU. Saya melihat keikhlasan seseorang disana. Dan memang, beberapa
teman yang sudah dari dulu bergabung dengan FSI-KU memiliki hal sama. Hingga
sekarang. Yaitu, senyuman yang menerima kembali walau berkali – kali dengan
atau tanpa sengaja di/ter tinggal-kan.
Tiga. Alasan ketiga adalah
dikarenakan alasan satu dan dua. Yaitu, penasaran. Stigma – stigma negatif yang
sempat tersematkan pada teman – teman LDF. Saya ingin sekali membuktikan bahwa
mereka salah, praduga mereka tak berlandaskan hal mutlak. Alias, negative thinking semata.
Kemudian, hati saya dirundung
hujan bulan November. Mendung. Saat baru saja tersadar, muktamar sebentar lagi.
Masya Allah. Belum sempat saya memenuhi janji saya untuk berkontribusi secara
serius pada FSI-KU tercinta. Jadilah saya pulang kerumah hari itu membawa bekal
: mulai dari penasaran, pulang dengan pemahaman dan tekad untuk terus bergerak,
menjadi pembelajar.
Rasanya ingin bilang, “kawan,
dakwahmu sampai padaku. Terimakasih”
walau itu hanya terang dalam
gelapnya jauh.
kuyakin do’aku pasti sampai
padamu.
Sering ku berputus asa padamu
Mengingkari janjiku, menuruti
lelah, mengulang maaf.
Tapi kau selalu tersenyum lembut
ketika kukembali dalam sesal,
terbakar semangat lagi,
itu FSI-KU yang kukenal
-mahasiswi biasa-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar