Aku berjilbab, 22 th,
tinggi 145 cm, massa 46 kg, seorang miopi dengan minus 1.5 untuk mata kanan dan
2 untuk mata kiri, sendirian menunggu Kopaja 502 yang lewat Jalan Kebon Sirih.
Ketika itu sekitar pukul 20.00 WIB lewat.
Karena pernah memiliki
pengalaman dimarahi orang rumah akibat tidak memberi kabar lokasi keberadaan
dalam perjalanan pulang, maka aku sesekali mengeluarkan hand phone untuk
mengecek baterai dan whats app.
Kopaja yang datang
kemudian setelah aku menunggu cukup lama memiliki sorot lampu yang redup bahkan
bisa saja disebut padam. Kondisi lampu di dalamnya pun sama saja, gelap. Dalam
kondisi cahaya yang seperti itu, penumpang kopaja tersebut memang tidak banyak.
Bisa saja sekitar tujuh orang yang masuk bebas memilih tempat duduk di mana
saja yang masih kosong.
Dengan santai kupilih
kursi di seberang pintu keluar sebelah depan. Kutempati tempat itu seorang diri
di sebelah luar. Hand phone yang ku isi dayanya dengan menggunakan power bank
kusimpan di kantung bagian bawah luar tas ranselku. Kantung bagian itu memang
tidak menggunakan ritsleting melainkan menggunakan busa rekat. Ketika asyik
mengamati, kuperhatikan ada satu kernet tambahan yang baru saja naik menjelang
Tugu Tani.
Lama-lama, seiring berjalannya
waktu, bangku-bangku yang kosong pun mulai terisi. Ketika aku beranjak berdiri
hendak turun di tujuan, seseorang di seberang samping ikut berdiri
mendahuluiku. Seperti hendak lebih dulu turun. Kami agak bertubrukan depan
belakang beberapa detik akibat ulah supir. Dan dalam keremangan akhirnya aku
menyadari ada sesuatu yang menghubungkan antara tasku dengan tasnya. Tasku
kugendong di sebelah depan sedangkan tasnya diletakkan di belakang.
Tanpa kaca mata dan dalam
keremangan kupegang benda tersebut yang seolah mirip seutas benang. Ternyata
itu adalah kabel. Kabel power bank. Kenapa kah ia menggantung ke luar?
Kutelusuri kabel tersebut dan voila! Putus. Tidak terhubung pada apapun. Maka
kutelusuri lagi pangkal yang satunya dan kutemukan power bank di sana. Masih
dalam satu wadah mestinya aku bisa merasakan keberadaan hand phone ku tapi
nihil. Penemuan kabel, penelusuran, dan pencarian hape hanya berjalan beberapa
detik saja sampai ku tepuk pundak seseorang di depanku tersebut.
“Mas, maaf, boleh duduk
sebentar? Hape saya enggak ada.” Tanyaku.
Ia mengaku tidak
tahu-menahu di mana keberadaan hapeku. Namun protesnya tidak keras, seperti
demokratis. Maka kulanjutkan untuk menginterogasinya sambil mengumpulkan
ketenangan.
“Bu, mohon jadi saksi saya,
ya. Kabel ini tadi saya temukan di luar tas dalam keadaan menggantung tanpa ada
hand phone-nya.” Kataku tegas dan memohon kepada dua-tiga ibu-ibu yang duduk di
belakang ku.
Seorang ibu mengiyakan dan
mendukung kecurigaanku dengan mengatakan menjadi saksi bahwa tangan orang itu
memang ke mana-mana.
Sudah kubilang kan
tinggiku hanya 145 cm? sedangkan ia adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk dan
lebih tinggi dari aku. Bagaimana caranya untuk menggeledahnya (orang itu masih
saja menurut ketika ku meminta izinnya untuk menahan tas dan jaketnya untuk
kuperiksa)? Maka, kuputuskan untuk melibatkan warga penumpang kopaja entah
untuk menjadi saksi atau untuk menjadi rekanku dalam penggeledahan.
Ketika ku bertanya adakah
yang bersedia untuk menggeledah? Semua diam. Sebenarnya aku mengharapkan
bantuan kernet untuk kooperatif. Karena ini kan busnya. Sesekali juga kupandang
kernet utama serta supir yang hanya sesekali menengok ke arahku.
Seorang kernet yang baru
saja naik justru mengatakan bahwa tidak mungkin ada pencopetan di sana. Oke,
baiklah. Ku pandang lekat-lekat mata orang itu. Alisnya tebal dan bertaut namun
sorot matanya tampak agak takut. Jika dia benar, pasti sorot matanya tidak akan
seperti itu. Kukatakan bahwa aku akan mengajaknya turun ke polsek terdekat
yaitu polsek matraman untuk penggeledahan. Karena dengan kondisiku yang
sendirian tanpa dukungan bantuan fisik, aku membutuhkan pertolongan walaupun
hanya sekedar penggeledahan. Penting karena ini menyangkut siapa yang bicara
benar dan siapa yang bicara bohong.
Orang tersebut tetap diam
dan membela diri dengan meracau opsi kemungkinan lain atas raibnya handphoneku.
“Mungkin jatuh sewaktu
Mbak duduk.” Ujarnya.
Maka aku bilang itu tidak
mungkin karena kutemukan kabelnya keluar dan menegang ke depan dan ketika ku
tarik, hand phonenya yang raib.
Ajaib. Ia mengeluarkan
hand phoneku dari sebelah kanannya dan mengatakan itu ia temukan dalam kondisi
terjatuh. Ketika ku perhatikan memang itu hand phone ku. Dengan cepat untuk
menghindari fitnah atasku, aku mengajukan opsi lagi padanya. Ke Polsek Matraman
untuk tes sidik jari, masuk sosial media, atau mengakui perbuatannya.
Kutekankan pada opsi mengenai sosial media. Aku membayangkan betapa
menakutkannya opsi itu karena beberapa hand phone menyorotkan lampu senternya
ke arah kami. Seramkah ketika mendapatkan suasa tetangga, adik, kakak, orang
tua mengetahui wajah dan perilaku kriminal memalui media sosial? Ya. Itu seram
di zaman candu teknologi seperti ini.
Ia tetap bungkam dan
memandang lurus ke depan. Dengan perasaan berkecamuk, sedih, iba, marah, ku
katakan sekali lagi pada matanya dengan nada halus meminta kepercayaan. Aku
akan memaafkannya jika ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Karena aku
masih berharap sosok kebaikan dari dirinya. Dia tetap bungkan dan memandang
lurus ke depan. Oke, ku katakan dengan tegas dengan perasaan kecewa. Baiklah,
kita ketemu saja ya nanti di akhirat untuk masing-masing memberi kesaksian yang
sebenarnya.
Maka kugenggam erat hand
phone dan kuteriakkan password agar kopaja berhenti dan meminggir ke kiri.
Ketika aku turun, bocah pengamen yang sebelumnya sempat kuberikan receh ikutan
turun dan menyapa serta mengajakku bercakap-cakap sedikit.
Setengah gemetar aku
merasa sangat senang karena sempat memiliki teman mengobrol menceritakan yang
baru saja terjadi. Dan ku lihat bocah pengamen itu mengobrol sambil tersenyum.
Apakah aku kapok naik
kendaraan umum? Tidak. Karena dibalik semua rencana jahat yang mungkin saja
terjadi, masih ada kemungkinan lain, dan selalu ada kesempatan untuk
mendapatkan secuplik hal-hal baik dari sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar