Pernahkah terbesit pertanyaan
mengapa ada yang namanya polisi tidur? Awalnya, polisi tidur ada karena
pengendara motor dan mobil kerap tak mengurangi kecepatannya dalam berkendara
meskipun berada di kawasan gang warga.
Maka, tergagaslah dibuatnya polisi tidur. Jika kita perhatikan lagi, awal mula
permasalahannya adalah pengendara yang membahayakan warga di gang karena tidak
mengurangi kecepatan dan kurang berhati – hati. Kalau begitu, mengapa tidak
diatasi dengan penyuluhan kepada para pengendara agar tidak memacu kendaraannya
dengan kecepatan tinggi? Atau pembenahan yang sangat selektif dibawah
pengawasan yang berwenang tanpa kongkalikong sama sekali ketika pembuatan Surat
Izin Mengemudi?
Sepertinya kita terbiasa atau
bahkan kecanduan dengan cara – cara instan, yang ketika suatu barang rusak,
lebih baik membeli barang lainnya yang serupa. Tanpa upaya memperbaikinya. Itulah
yang terjadi pada kebijakan – kebijakan pemerintah. Ketika mendeteksi
permasalahan, solusinya adalah pembuatan program yang baru. Tanpa ada upaya
evaluasi atau bahkan memperbaiki program yang lalu yang masih berjalan hingga
kini. Maka, tidak heran jika muncul istilah ganti pemerintahan, ganti
kebijakan. Berapa banyak dari kita yang benar – benar mendengar generasi tua? Yang
kembali menilik dan belajar dari sejarah?
Soal tambal sulam menjadi pijakan
utama saya ketika memandangi program – program dari pemerintah soal pendidikn. Pertama,
UN (Ujian Nasional). Sejak pertama kemunculannya, sudah diperdengarkan suara –
suara kritis yang meminta pemerintah untuk mencabutnya. Segelintir dari dosen –
dosen, guru, dan pengamat pendidikan melakukan protes, analisis, surat terbuka,
nasehat, bahkan mengajukan perkaranya ke Mahkamah Agung sejak tahun 2003. Namun
sampai tahun ini Ujian Nasional tetap dilaksanakan. Sedangkan kita lebih sering
tetap berputar – putar dengan menganalisis hal – hal teknis semata dimana itu
berarti secara tidak langsung menyatakan diri setuju dengan keberadaan
kebijakan, hanya saja teknisnya yang bermasalah. Tidak setuju dengan keberadaan
dan perannya, dengan mendukungnya melalui permohonan pembenahan teknis jelas
dua hal yang berbeda bukan?
Ujian Nasional kemudian menjelma
menjadi tujuan persekolahan. Sayangnya, kita terlanjur menelan bulat – bulat
bahwa persekolahan adalah juga pendidikan. Murid – murid sekolah yang duduk
manis di bangku ketika semester akhir pastilah lebih hapal apa yang akan keluar
atau menjadi kisi - kisi dari ujian
nasional ketimbang tujuan dari proses pendidikan yang terukir indah di
Sisdiknas: memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Ukiran Targetan – targetan yang mulia itu
kemudian ternodai dengan laporan – laporan segala tindak tanduk kecurangan yang
terjadi dalam tubuh Ujian Nasional. Meski tidak masuk perkara dan booming di
televisi, kecurangan Ujian Nasional adalah sebuah fakta yang bersuara hanya
dalam tiap hati nurani yang pernah menjalaninya.
Lebih dari satu dasawarsa, artinya
sudah lebih dari sepuluh generasi yang terbentuk pola pikirnya bahwa dalam
belajar ada kategori lulus dan tidak lulus. Dalam menempuh pendidikan ada yang
namanya peringkat 1,2,3 dan seterusnya. Dalam mengenyam dan menuntut ilmu
bertindak menodai nurani untuk berlaku jujur tidaklah apa – apa asal berramai –
ramai. Akhirnya, institusi pendidikan pemerintah justru mengantarkan anak
didiknya untul gagal dalam pengaplikasian dan mengamalkan apa yang telah
dilalui selama 12 tahun lamanya.
Kurikulum 2013 yang mulai 'menghantui' lewat wacana sejak akhir 2012 juga tidak kalah heboh menghentak kerepotan persekolahan. Selama guru masih menganggap sebuah kurikulum sebagai kitab suci (kaku dan tidak bisa diotak/ik atau diimprovisasi sama sekali), maka pergantian kurikulum berapa kalipun, akan tetap blunder. Triliunan yang habis demi kebijakan baru ini kemudian dinilai sebagai proyek karena jelas sekali terlihat karbitan. Mengapa kita tidak memberikan penyuluhan saja dan pelatihan guru - guru hingga pelosok demi menyukseskan reformasi pendidikan di ruang - ruang kelas kita? Jika memang Kurtilas adalah penyempurnaan dari KTSP, mengapa mengganti nama? Mengapa harus ada benda baru yang muncul diantara masalah kita?
“Maju atau mundurnya salah satu
kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku
dalam kalangan mereka itu. Tak ada suatu bangsa yang terbelakang menjadi maju,
melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan
pemuda-pemuda mereka.” itu kata M. Natsir.
Ketika ramai - ramai diberitakan di media bahwa guru - guru kita kurang kualitasnya, maka pemerintah menelurkan kebijakan sertifikasi dan PPG. Sebuah kebijakan baru demi memperbaiki kualitas guru - guru. Seperti adanya polisi tidur tadi, mengapa kita tidak membenahi pusat asal muasalnya calon guru? sebut saja LPTK. Ruang - ruang kelas kita sunyi dan kering karena terjadi pemisahan pemaknaan antara buku dengan sastra. Guru lebih suka anak - anaknya jago memecahkan soal daripada tepekur diam lama menyusun puisi dalam benaknya. Kebijakan yang baru saja muncul di salah satu LPTK di Jakarta adalah kewajiban mengambil mata kuliah prosa. Tidak sedikit teman - teman calon guru yang protes dan mengaku tak menyukainya karena merasa berbeda, 'saya bukan anak sastra'.
LPTK kita perlu pembenahan bukan saja dari kurikulumnya, melainkan juga dari tradisi akademik, hingga jalan berpikir. Kita bergaug di jejaring sosial media merayakan hari pendidikan nasional yang jatuh pada tanggal 2 mei. Namun, seberapakah dekat LPTK dengan sosok yang pada tahun meninggalnya turun Kepres untuk menjadikan hari lahirnya sebagai hari pendidikan nasional? Pernahkah di ruang - ruang tempat calon pendidik, penata peradaban bangsa mengulas pemikiran dan prinsipnya lebih mendalam?
Yang perlu dibangun kemudian adalah pemahaman kembali pentingnya pendidikan bagi bangunnya sebuah bangsa, seperti yang dikatakan M. Natsir diatas. Sehingga kaum yang katanya terpelajar (terutama di kawasan LPTK) mampu mendeteksi adanya kriminalisasi pendidikan dan secara penuh berkesadaran untuk menjadi pendidik - pendidik amatir (yang bergerak dengan cinta) bukan karena profesi dan mengejar sertifikat semata.
Ketika kaum yang katanya terpelajar tidak menyadari betapa mulia jalan masa depan mereka, pun gagal membaca kriminalisasi pendidikan yang ada, bahkan menolak untuk menjadi amatir demi profesionalitas, maka, pendidikan Indonesia harus bertahan beberapa massa lagi demi terhapusnya hegemoni rezim ijazah.
-> mari membaca sejarah
Nah.. ini yang dimaksud tadi kak ismi..
BalasHapusPemecahan masalah tanpa menyelesaikan permasalahan yg substansi
Ya. Mestinya langsung bidik di akar ya kalau sungguh - sungguh betul.. karakter yang kini sedang dibidik. Semoga saja melibatkan trisentra pendidikan secara utuh. Karena sekolah akan sulit jika terus sombong berdiri sendiri.
Hapus